Christie memberikan selembar uang sepuluh ribu rupiah dan juga satu kotak makan berisi roti tawar dengan selai coklat kepada Clara. Mulai hari ini, Clara akan diberikan uang saku sepuluh ribu rupiah saja dan juga bekal roti tawar selama seminggu kedepan.
"Clara, ini uang jajan kamu hari ini, ya. Sesuai dengan perintah Papa barusan, Mama cuma kasih kamu uang saku sepuluh ribu."
Clara mengambil uang dan juga kotak bekal tersebut, lalu menyalami tangan ibunya sebelum berangkat sekolah tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Melihat Clara yang hanya diam tanpa berpamitan kepadanya, Christie hanya geleng-geleng kepala. Putri satu-satunya itu memanglah keras kepala dan juga bersifat ceroboh. Sangatlah berbeda dengan kakak laki-lakinya–Dave–yang sifatnya baik dan juga penurut.
Christie paham bahwa putrinya merasa kecewa. Ini adalah kali pertama ia mendapatkan uang saku hanya sepuluh ribu. Uang saku Clara kali ini bahkan lebih sedikit jika dibandingkan dengan uang sakunya ketika duduk di Sekolah Dasar.
Clara masuk ke dalam mobil yang akan membawanya menuju sekolah. Rizal–supir pribadi yang mengantar jemputnya sekolah menyapa dengan ramah sebelum ia melajukan mobil.
"Selamat pagi, Non."
Clara bergeming dan langsung masuk ke dalam mobil tanpa segaris pun senyuman di bibirnya mungilnya yang merah.
Selama di perjalanan, matanya menatap kaca mobil sembari melamun. Gadis itu kini mulai menyesali perbuatan yang akhirnya berimbas pada dirinya sendiri. Seharusnya waktu itu, ia tak menuruti hawa nafsu yang ingin mempermalukan Luna.
Selain itu, Clara juga merasa malu atas sikap dan juga perbuatannya sendiri. Ia malu kepada Luna karena orang yang selama ini ia benci dengan besar hati mau meminta maaf terlebih dahulu walaupun sebenarnya bukan dia yang bersalah.
Mobil Fortuner hitam yang mengantarkan Clara kini telah berhenti di depan sekolah. Karena Clara tak kunjung turun, sang sopir melihat ke kaca dasboard. Lelaki itu tersadar bahwa anak majikannya itu tengah melamun. Lamunan Clara pun seketika terhenti saat sang sopir tiba-tiba saja berbicara.
"Non, kita sudah sampai."
"Eh, iya, Pak Rizal. Terima kasih, ya."
Gadis itu membuka pintu mobil dan bergegas turun karena sebentar lagi bel akan berbunyi dan pintu pagar akan ditutup. Ia kemudian berlari menuju kelasnya yang terletak di lantai dua.
Dengan napas tersengal-sengal, Clara masuk ke dalam kelas yang telah ramai oleh teman-temannya yang tengah mengobrol, bahkan ada juga yang tengah mengerjakan PR.
Tak lama setelah ia sampai dan mendudukkan diri di kursinya, guru mata pelajaran fisika yang terkena killer pun datang. Clara merasakan mood-nya saat ini tak karuan. Selain karena jatah uang jajan yang harus dipotong sebanyak empat ratus persen, ia juga harus belajar mata pelajaran yang paling ia tidak sukai, yaitu fisika.
Selama pelajaran berlangsung, ia sama sekali tak bisa berkonsentrasi saat materi tengah dijelaskan. Ia juga tidak menangkap apa yang diajarkan oleh Bu Eka di depan kelas.
Seperti biasa, Bu Eka akan memberikan lima soal untuk dikerjakan oleh beberapa siswa yang ia pilih secara acak di depan kelas. Kali ini, Clara menjadi siswa pertama yang dipanggil oleh Bu Eka. Alasan wanita itu menyuruh Clara yang maju terlebih dahulu karena ia melihat sang murid itu seperti tidak memperhatikan apa yang ia ucapkan walaupun mata dan juga pandangannya tertuju ke arahnya.
"Clara, ayo kamu maju kerjakan soal nomor satu," perintah Bu Eka dengan suaranya yang lantang.
"Eh, i–iya, Bu." Clara pun tersentak saat suara nyaring sang guru tiba-tiba saja memanggil namanya.
Clara menengok ke arah Hilda dengan raut wajah sedih. Ia merasa berat untuk bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke depan kelas untuk mengerjakan soal di papan tulis.
Clara terdiam saat melihat soal-soal yang tertulis di papan tulis. Ia tidak tahu bagaimana cara mengerjakannya karena saat dijelaskan oleh Bu Eka, ia sama sekali tidak menyimak.
Clara sempat menengok ke arah Hilda, berharap ia dapat membantunya untuk mengerjakan soal di papan tulis. Namun, Bu Eka segera menegurnya.
"Clara, ngapain kamu nengok-nengok ke belakang? Papan tulis dan soalnya ada di depan."
"I–iya, Bu," jawab gadis itu yang kemudian membalikkan kepalanya ke papan tulis.
Clara membuka spidol, lalu mencoba untuk mengerjakan soal tersebut secara asal. Namun, hal tersebut justru membuat Bu Eka murka.
"Jawaban apa ini?! Ngaco sekali jawabannya! Kamu dari tadi dengerin Ibu jelasin di depan kelas atau tidak?" tanya Bu Eka dengan nada membentak.
Jantung Clara berpacu lebih cepat saat dibentak oleh guru fisika. Rasanya ia ingin berlari keluar kelas dan menangis sekencang-kencangnya. Baru kali ini ia dibentak hanya karena tak bisa mengerjakan soal di depan kelas.
"Ya sudah, sana kembali lagi ke mejamu," perintah Bu Eka. "Luna, ayo maju kerjakan soal nomor satu," pintanya.
Dengan penuh percaya diri, Luna maju ke depan kelas. Ia meraih spidol dan juga penghapus yang ada di atas meja guru. Gadis itu menghapus jawaban Clara, lalu mulai mengerjakan soal yang diperintahkan oleh guru fisikanya. Ia mengerjakan soal fisika tersebut dengan cepat dan tepat.
"Bagus, ini jawabannya yang benar, ya."
***
Bel istirahat terdengar, Hilda menarik tangan Clara dan mengajak sahabatnya pergi ke kantin untuk makan siang.
"Ke kantin, yuk!"
"Hum? Enggak, deh, gue bawa bekal."
"Hah? Tumben banget lo bawa bekal." Hilda terkejut mendengar sahabatnya membawa bekal dari rumah. "Ya udah, gue ke kantin dulu, ya," ujarnya.
Clara mengambil kotak bekal berwarna ungu tua di dalam tas, kemudian membuka tutupnya. Perutnya yang mulai terasa lapar membuatnya segera memakan roti tawar selai cokelat yang telah disiapkan oleh sang ibunda.
Hilda kembali ke kelas membawa nasi goreng yang dibungkus dengan mika agar ia bisa makan bersama dengan Clara di kelas, tetapi Clara sudah terlebih dahulu menghabiskan bekalnya.
"Lo udah selesai makannya?" tanya Hilda bingung.
"Udah. Barusan selesai."
"Cepet banget, padahal sengaja gue beli nasi goreng pakai mika biar gue bisa makan bareng lo di kelas," ucap Hilda, "Emang lo bawa bekal apa?" tanya Hilda penasaran.
"Cuma roti aja, kok."
"Hah? Cuma roti doang?" tanya Hilda kaget.
"Iya," jawab Clara sembari menganggukkan kepalanya. "Sebenarnya, gue lagi dihukum sama orang tua gue gara-gara gue dipanggil guru BK," terangnya pada Hilda.
"Hukumannya apa aja emang?"
"Gue cuma dikasih uang saku sepuluh ribu sama dibekalin roti tawar selama seminggu."
"Hah? Ya ampun. Gara-gara si Luna lo jadi di hukum kaya gini." Hilda merasa kesal.
"Bukan salah Luna, kok, gue yang salah. Gue yang udah mempermalukan dia satu sekolah, dan ini adalah hukuman buat gue." Clara menjelaskan saat sahabatnya mulai menyalakan Luna
"Tumben lo belain dia. Apa sekarang lo udah berteman sama dia?" tanya Hilda menyelidik.