"Apa, Bu, Clara kemarin berbuat seperti itu ke temannya?" Christie masih belum percaya bahwa putrinya melakukan hal yang memalukan seperti itu.
"Mungkin nanti kita bisa menanyakan masalah ini langsung pada Clara dan juga temannya," jelas Bu Dwi, "Sebentar, ya, Bu, saya panggilkan dulu mereka berdua," ujarnya sebelum pergi menuju kelas meninggalkan Christie.
Bu Dwi kini tengah berdiri di depan kelas. Ia kemudian mengetuk pintu beberapa kali sebelum meminta izin pada guru kelas untuk memanggil Clara dan juga Luna.
"Assalamualaikum, Pak Rahmat, saya mau memanggil Luna dan juga Clara ke ruang BK."
"Wa'alaikumsalam. Iya, Bu, silakan."
"Clara, Luna, ayo ikut Ibu ke ruang BK," perintah Bu Dwi seraya melambaikan tangannya.
Luna segera bangkit dari duduknya, begitu juga dengan Clara. Mereka berdua berjalan keluar dari kelas mengikuti Bu Dwi dari belakang.
Mereka bertiga kini telah sampai di depan ruang BK. Ketiga orang tersebut melepas alas sepatu sebelum masuk ke dalam ruangan tersebut. Ini adalah kali pertama untuk Luna menyambangi ruang BK yang dicap sebagai tempat bagi anak-anaknya bermasalah di sekolah.
Suara derit pintu mengalihkan pandangan Christie ke arah pintu yang dibuka secara perlahan oleh Bu Dwi. Sang guru BK masuk lebih awal, kemudian diikuti oleh Clara, sedangkan Luna masuk ke dalam ruangan paling akhir. Ketika Christie melihat Luna, ia pun terkejut. Wanita borju tersebut tidak menyangka bahwa teman yang dijahili oleh putrinya adalah temannya yang kemarin bertandang ke rumah mereka.
"Luna?" Christie menyebut nama Luna saat gadis malang itu telah masuk ke dalam ruang BK.
"Jadi kamu teman yang sudah dijahili Clara?"
"Iya, betul, Bu. Dia anak yang dijahili oleh putri Ibu kemarin."
Christie menggelengkan kepalanya, lalu menarik nafas panjang. Martabatnya beserta sang suami harus turun hanya karena ulah putrinya yang kekanak-kanakan.
"Sini Luna, Clara, duduk dulu," panggil Bu Dwi sembari mengayunkan tangannya, kemudian mempersilakan mereka berdua duduk di kursi lipat besi. "Jadi, maksud Ibu memanggil kalian berdua itu karena Ibu ingin menjadi penengah bagi kalian jika memang kalian berdua memiliki masalah. Jangan sampai salah satu dari kalian melakukan suatu hal yang jelas-jelas merugikan bagi yang lainnya," sambungnya lagi.
"Clara, memangnya kamu ada masalah apa sama Luna?" tanya Christie penasaran.
"I–itu, Bu, Clara ...." Gadis itu tak dapat melanjutkan ucapannya karena ia tak tahu apa yang harus ia katakan, dan alasan apa yang harus ia berikan.
"Clara gak salah apa-apa, Bu. Hari Minggu waktu kerja kelompok kemarin saya sempat rusakin barang kesayangannya Clara," dalih Luna yang sadar bahwa Clara tak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Selain itu, ia tidak mau jika Clara dihakimi oleh ibunya dan juga guru BK. Mendengar pernyataan Luna, Clara menengok ke arahnya seraya mengernyitkan dahi.
"Benar itu, Clara?" tanya Christie memastikan kebenaran ucapan Luna.
"I–iya, Ma, benar." Clara mengamini pernyataan dusta dari Luna.
Christie geleng-geleng kepala saat mendengar pengakuan dari Luna. Tidak seharusnya masalah sepele seperti itu dibesar-besarkan oleh sang putri yang alhasil membuatnya harus memenuhi panggilan dari guru Bimbingan Konseling sebab ulahnya yang tak pantas untuk dilakukan.
"Huft ... oke, kalian janji, ya, gak akan melakukan hal konyol seperti ini di kemudian hari," pinta Christie.
"Iya, Tante, kami berdua janji," sahut Luna berikrar mewakili Clara.
"Bagus. Ibu berharap kalian bisa saling akur satu sama lain. Ayo, sekarang kalian salaman dulu," perintah guru Bimbingan Konseling.
"Iya, Bu." Luna mengiyakan permintaan sang guru.
Tanpa ragu, gadis itu berjalan menghampiri Clara. Sembari tersenyum, ia mengulurkan tangannya untuk meminta maaf kepada Clara tanpa ada rasa gengsi.
"Clara, maafin gue, ya." Tanpa ragu, ia mengucapkan kata maaf terlebih dahulu walaupun ia merasa tak melakukan kesalahan apa-apa kepada Clara.
Clara pun menyambut uluran tangan Luna. Ia pun meminta maaf kepada Luna atas perilakunya kemarin yang sempat membuat Luna malu.
"Iya, gue juga minta maaf sama lu, ya,"
"Nah, gitu, dong, akur." Christie menyambut baik perdamaian di antara mereka berdua.
"Kalau begitu masalah kalian sudah selesai. Sekarang kalian berdua sudah boleh kembali ke kelas," ucap Bu Dwi.
"Baik, Bu," jawab Clara dan Luna serempak.
Kedua gadis yang duduk di kelas 10 itu kemudian mencium tangan Christie dan juga Bu Dwi sebelum kembali ke kelas. Mereka berdua keluar dari ruang BK kemudian melangkahkan kaki kembali menuju kelas. Mereka tak berjalan beriringan karena Clara telah berjalan terlebih dahulu di depan Luna.
Sebenarnya, bukan tanpa alasan Clara memilih untuk tidak berjalan beriringan bersama Luna karena ia merasa malu kepadanya. Ia yang sudah berbuat salah, tetapi malah Luna yang berinisiatif untuk meminta maaf terlebih dahulu.
Sementara itu, Christie segera berpamitan kepada guru BK karena masalah putrinya dengan Luna telah selesai, ia pun menitip pesan kepada guru BK.
"Saya titip Clara, ya, Bu. Kalau anak saya itu berperilaku kurang baik di sekolah, tolong tegur dia," cintanya pada sang guru BK.
"Baik, Bu Christie."
***
"Pa, hari ini Mama ke sekolahnya Clara," tutur Christie memulai percakapan dengan sang suami.
"Loh, ngapain Mama ke sana?"
"Iya, kemarin itu Mama dikasih sama Clara surat panggilan dari guru Bimbingan Konseling. Pas Mama ketemu sama guru BK, dia bilang kalau Clara sempat isengin temennya di kelas. Clara numpahin tinta merah di atas kursi temannya, dan temannya itu ternyata hari Minggu kemarin sempat ke sini buat kerja kelompok. Anaknya dari keluarga gak mampu, Pa," Christie mulai bercerita tentang perilaku anak mereka di sekolah tempo hari.
"Apa? Clara berbuat seperti itu ke temannya?" Robert tersentak saat mendengar penuturan sang istri.
"Iya, Pa, Clara nya sendiri juga ngaku kalau dia berbuat seperti itu ke temannya."
"Benar-benar anak itu, bikin malu aja. Besok akan Papa kasih pelajaran buat Clara."
***
Pagi itu Clara Robert Christie dan juga kakak Clara–Dave tengah menikmati sarapan mereka Robert yang hampir setiap hari sibuk menggunakan kesempatan ini untuk menasihati putrinya.
"Clara, apa benar tempo hari kamu bermasalah di sekolah?"
"Iya, benar, Pa," jawab Luna dengan wajah tertunduk.
"Kenapa kamu isengin temen kamu yang dari keluarga nggak mampu itu?" Robert ingin mendengar alasan putrinya.
Clara hanya terdiam. Kali ini, ia tidak menjawab pertanyaan ayahnya.
"Jujur saja, Papa kecewa sekali sama kamu. Papa malu dengan kelakuan kamu itu. Pokoknya, selama seminggu ini, Papa hanya akan kasih kamu uang jajan sepuluh ribu supaya kamu merasakan rasanya punya uang sedikit."
"Ta–tapi, Pa."
"Nggak ada tapi-tapian! Nanti Papa minta ke Mama untuk kasih kamu uang sepuluh ribu selama seminggu kedepan," ujar Robert dengan suara lantang.