Chereads / The Dream High / Chapter 10 - Surat Panggilan

Chapter 10 - Surat Panggilan

"Oke, sekarang kamu boleh kembali lagi ke kelas."

Clara mengangguk, lalu meninggalkan ruang Bimbingan Konseling dengan tertunduk lesu. Ia kini berdiri di luar di depan pintu ruang BK sembari menatap amplop yang ada di tangannya saat ini. Gadis itu menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar.

Gadis itu kini tengah dilanda kebingungan. Ia tidak tahu bagaimana caranya untuk menyampaikan pada sang ibunda perihal surat panggilan dari guru Bimbingan Konseling.

"Duh, gimana caranya gue ngomong ke nyokap. Clara ... lo itu bodoh banget, sih, melakukan ini gak pakai pikir panjang," ucap gadis itu seraya memukul kepalanya sendiri.

Clara melangkahkan kaki menuju ruang kelas yang terletak di lantai 2. Sebelum masuk, ia menarik nafas dan mengembuskannya, kemudian mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam kelas yang saat ini masih ada guru yang tengah mengajar.

Saat Clara menampakkan diri, seluruh teman sekelas spontan menengok ke arahnya. Clara pun merasa malu. Ia berjalan tertunduk menuju tempat duduknya.

Dari gerak-gerik Clara–Hilda–teman sebangkunya merasa bahwa saat ini, Clara tengah dalam masalah yang besar. Ia ingin bertanya apa yang terjadi di ruang Bimbingan Konseling. Namun, ia menahan nya hingga jam pelajaran usai.

Sementara itu, Clara tidak bisa fokus mengikuti pelajaran yang telah terlewat separuhnya. Apa yang dijelaskan oleh guru di depan kelas hanya masuk ke kuping kiri, lalu keluar di kuping kanan karena saat ini, pikirannya sedang kacau balau.

Seusai jam pelajaran selesai dan guru telah keluar dari kelas, Hilda segera menodong Clara dengan rentetan pertanyaan yang sedari tadi sangat ingin ia tanyakan ketika jam pelajaran tengah berlangsung.

"Tadi lo ngapain aja di ruang BK?" tanya Hilda dengan penuh rasa penasaran.

"Cuma ditanya-tanyain aja," jawabnya datar.

"Terus, lo dapat surat panggilan buat orang tua gak?"

"Iya, dapet. Tapi gue bingung gimana ngomongnya nanti sama nyokap gue." Clara mulai menyampaikan kegundahannya pada Hilda.

"Gimana kalau lo nggak usah kasih surat itu ke nyokap lo?" Hilda memberikan saran.

"Nggak bisa, soalnya Bu Dwi mau ketemu nyokap gue besok dan gue bilang kalau nyokap itu ibu rumah tangga, jadi nggak ada alasan buat gak dateng."

"Ya, berarti mau nggak mau lo harus kasih surat itu ke nyokap. Lo kasih aja suratnya tanpa kasih tau itu surat apa, biar guru BP aja yang ngomong tentang masalah lo di sekolah besok." Hilda menyampaikan usulnya.

"Ya udah, deh, nanti gue coba lakuin apa yang lo saranin."

***

Sore hari menjelang makan malam, Clara duduk di pinggir ranjangnya sembari memegang amplop berisi surat panggilan untuk ibunya. Ia sedang menimbang kapan waktu yang tepat untuk menyerahkan surat tersebut.

"Apa gue kasih nanti aja, ya, mumpung bokap belum pulang."

Clara akhirnya memutuskan turun ke bawah untuk memberikan surat dari guru Bimbingan Konseling kepada ibunya. Tiap sore hari sebelum makan malam, sang ibunda biasa menonton sinetron di televisi.

Clara mulai menuruni anak tangga, matanya mengarah ke ruang keluarga tempat di mana sang ibu kini berada yang tengah menonton televisi. Gadis itu berjalan perlahan mendekati ibunya yang tengah duduk santai di sofa.

Gadis itu menarik nafasnya terlebih dahulu sebelum akhirnya berbicara dan memberikan surat panggilan pada sang ibu. Ia kemudian berjalan mendekat, lalu mendudukkan diri tepat di sebelah ibunya.

"Eh, tumben kamu udah turun jam segini. Kamu mau temenin mama nonton sinetron, ya?" seloroh Christie.

"I–iya, Ma," jawab Clara terbata. Ia belum siap untuk berbicara pada ibunya tentang maksud dan tujuannya.

Sang ibu kembali mengarahkan pandangannya ke televisi untuk melanjutkan menonton sinetron yang sempat terjeda.

Sementara itu, Clara melirik ke arah ibunya yang begitu fokus menatap layar kaca. Ia menunggu momen yang tepat untuk berbicara.

Ketika sinetron telah selesai tayang, Clara menahan ibunya yang akan bangkit dari sofa dengan tangan.

"Ma, Clara mau ngomong sebentar."

"Kamu mau ngomong apa, Nak?"

"Hmm .... itu, Ma, Clara mau kasih surat ini buat Mama," ujar gadis itu sembari menyodorkan amplop di tangannya.

"Surat apa ini?" tanya Christie bingung.

"Mama baca aja sendiri isi suratnya."

Christie membuka amplop putih dengan cap dan logo sekolah tempat di mana putrinya menimba ilmu. Ia kemudian membuka surat yang terlipat untuk membaca isinya. Alangkah terkejutnya wanita itu ketika tahu bahwa surat itu adalah surat panggilan dari guru bimbingan konseling.

"Surat dari guru Bimbingan Konseling? Memangnya kamu ada masalah apa di sekolah sampai Mama dipanggil sama guru BK kamu?" tanya Christie pada putrinya.

"Mama datang aja besok ke sekolah biar Bu Dwi yang jelasin semuanya."

"Ya sudah kalau begitu, besok Mama tanya langsung ke guru kamu," jawabnya, "Kira-kira besok Mama datang ke sekolah kamu jam berapa?"

"Pagi-pagi aja kali, Ma, sekitar jam 10." Clara memberikan saran.

"Oke, besok Mama datang jam 10."

***

Christie mematut diri di depan cermin untuk berhias sebelum pergi ke sekolah Clara. Wanita itu memoleskan wajahnya dengan makeup tipis agar wajah putihnya tidak terlihat pucat dan juga mengoleskan bibirnya dengan lip cream berwarna bold.

Christie beralih untuk berkaca pada cermin panjang di sisi samping meja riasnya guna melihat penampilannya secara keseluruhan. Setelah memastikan bahwa penampilannya telah rapi, ia pun keluar dari dalam kamar. Wanita itu lalu mencari sang supir untuk mengantarkannya ke sekolah Clara.

"Pak Rizal, tolong antarkan saya ke sekolahnya Clara," pinta Christie pada sang supir yang tengah merokok di parkiran basement.

"Oh, baik, Bu," ujar Rizal yang kemudian mematikan rokoknya. Ia kemudian membuka pintu mobil, lalu menyalakan mesin sebelum berangkat.

Tiga puluh menit lamanya Christie berada di perjalanan, ia pun akhirnya sampai di sekolah sang putri. Setelah turun dari mobil, wanita itu kemudian menghampiri dua orang guru yang tengah piket untuk bertanya letak ruang BK.

Setelah diarahkan oleh salah satu guru piket, Christie pun berjalan menuju ruangan yang terletak di samping ruang guru. Wanita itu pun mengetuk pintu yang sedikit terbuka.

"Permisi ...."

Bu Dwi yang tengah menangani siswa yang bermasalah segera keluar dari ruangannya dan menghampiri Christie.

"Selamat pagi, Bu. Saya orang tua Clara ingin bertemu dengan Bu Dwi," sapa Christie yang kemudian menyampaikan maksud dan tujuannya.

"Oh, Ibu ini Ibunya Clara. Mari silakan masuk, Bu."

Bu Dwi meninggalkan sementara siswa-siswa yang tengah dalam bimbingannya untuk kemudian berbincang dengan Christie.

"Maaf, Bu, kalau boleh tau, kenapa saya dipanggil ke sini?" tanya Christie penasaran.

"Jadi, kemarin itu Clara sempat buat masalah di sekolah. Dia menumpahkan tinta berwarna merah di atas kursi salah satu teman di kelasnya dengan sengaja," terang Bu Dwi.

Christie pun shock. Ia seakan tak percaya bahwa putrinya tega melakukan hal tersebut terhadap temannya.