"Kenapa? Papa udah lapar sekali ini mau makan." Spontan Rendra menengok ke arah putrinya yang tengah berdiri di ambang pintu kamar.
"Luna punya sesuatu buat Papa dan Mama," ujar gadis itu sembari berjalan menghampiri kedua orang tuanya dengan membawa sebuah bungkusan plastik berisi lauk-pauk dari Christie. "Ini, Luna punya lauk enak buat Papa dana Mama." Lanjut gadis itu sembari menyodorkan bungkusan itu pada ibunya.
"Kamu dapat dari mana ini?" tanya sang ibu seraya membuka plastik untuk melihat isinya.
"Luna tadi dikasih sama mamanya Clara. Ibunya baik banget, deh, sama Luna." Luna bercerita dari mana ia mendapatkan lauk tersebut.
"Kok, bisa kamu dikasih makanan sebanyak ini sama mamanya temanmu itu?" tanya sang ibu penasaran.
"Jadi, tadi siang Luna kelaparan, terus diajakin makan bareng sama mamanya Clara. Luna bilang kalau Luna jarang makan enak seperti di rumah Clara. Makan daging pun cuma setahun sekali pas hari raya idul kurban. Gara-gara Luna ngomong kayak gitu akhirnya dikasih makanan ini," jelas gadis itu panjang lebar.
"Wah, baik banget, ya. Padahal teman kamu itu orang kaya raya sekali, tapi gak sombong dan perhatian sama kamu," tutur Rendra.
Mendengar ucapan ayahnya, Luna terdiam sejenak sembari tersenyum getir. Pasalnya, teman yang dimaksud oleh sang ayah sifatnya amat bertolak belakang dengan ibunya. Karena tidak ingin membuat orang tuanya khawatir, Luna memilih untuk tidak bercerita tentang perilaku Clara terhadapnya selama ini, dan berbicara yang baik-baik tentangnya.
"Iya, teman Luna itu memang baik dan gak sombong. Ini buktinya, Luna dikasih makanan enak."
"Alhamdulillah, Mama senang dengarnya kalau kamu punya teman sebaik temanmu itu. Pasti karena kamu punya teman sebaik dia, makanya kamu udah mulai betah dan mau bertahan di sekolahmu sekarang," terka sang ibu. "Memangnya siapa namanya?" tanya wanita itu penasaran.
"Hmm, namanya Clara, Ma."
"Oh, Clara. Namanya bagus, pasti orangnya cantik. Nanti pas pengambilan rapot Mama mau ketemu sama Clara dan mamanya."
"Sudah ngobrolnya, Papa sudah lapar sekali ini, Ma," sela Rendra yang tak sabar ingin segera makan malam dengan lauk yang dibawa oleh Luna.
"Oh, iya, maaf Mama lupa." Rini bergegas mengambil piring untuk menaruh lauk-pauk yang masih dibungkus di dalam kantong plastik kiloan.
Setelah semua makanan terhidang di atas piring, Rendra segera mengambilnya. Ia makan dengan lahap tanpa sebutir nasi pun yang tersisa.
"Enak banget ini makanannya," ujar Rendra sembari menjilati jari-jarinya.
"Iya, Pa, enak banget. Belum pernah Mama makan makanan seenak ini," sahut Rini yang tengah menikmati makanannya.
"Benar, kan, kata Luna kalau makanannya enak."
"Iya, alhamdulillah hari ini kita bisa makan enak. Gak sia-sia Papa jauh-jauh jemput kamu hari ini, he he ...," kelakar Rendah pada putrinya.
***
Sebelum pergi sekolah, Clara mematut diri di depan cermin sembari tersenyum miring, lalu berkata,
"Awas lo Luna, gue bakalan buat perhitungan sama lo."
Hari ini, Clara berencana untuk melakukan suatu hal yang akan mempermalukan Luna di sekolah mereka sebagai balasan karena ia sudah membuatnya marah. Ia sengaja datang ke sekolah lebih awal agar menjadi orang pertama yang berada di kelas.
Malam sebelumnya, ia meminta tolong pada asisten rumah tangganya untuk membelikan tinta isi ulang berwarna merah. Gadis picik itu berencana untuk menumpahkan tinta itu ke atas kursi Luna dan membuatnya seakan-akan seperti darah menstruasi yang mengotori rok putihnya.
Clara sampai di sekolah pukul enam pagi. Saat itu, ternyata belum ada satu pun temannya yang sudah sampai di kelas. Gadis jahat itu memanfaatkan kesempatan ini untuk melancarkan aksinya. Ia segera mengambil tinta isi ulang dari dalam tasnya, lalu menumpahkan tinta tersebut ke atas kursi milik Luna.
Suara derap langkah seseorang tiba-tiba saja terdengar, Clara segera menutup botol tinta, lalu memasukkannya kembali ke dalam tas. Ia pun berlari menuju kursinya, kemudian duduk dan memainkan ponselnya seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Derap langkah tersebut berasal dari sepatu pantofel milik Raissa. Sahabat karib Luna itu kemudian masuk ke dalam kelas yang masih sangat sepi. Namun ketika masuk, ia dikagetkan dengan kehadiran Clara yang sudah berada di dalam kelas terlebih dahulu.
Raissa mengernyitkan dahi karena bingung. Tak biasanya Clara sudah sampai di kelas pagi-pagi seperti ini. Namun, ia sama sekali tidak menaruh curiga pada orang yang membenci sahabat karibnya itu.
Satu per satu teman-teman kelas mereka datang termasuk Luna. Gadis itu kemudian duduk di atas kursinya yang telah ditumpahi tinta yang masih basah.
Luna tidak merasakan ada hal yang aneh sesaat setelah duduk di kursinya. Ia kemudian mengobrol seperti biasa dengan Raissa. Ketika mereka berdua tengah asyik mengobrol, bel pun berbunyi. Mereka harus ke lapangan untuk melaksanakan upacara bendera.
"Yuk, Lun, ke lapangan," ajar Raissa dengan memegang tangan Luna.
"Kamu duluan aja. Aku mau minum sebentar supaya nggak haus nanti pas lagi upacara."
"Oh, ya udah kalau gitu gue jalan duluan."
Luna mengambil botol minum yang berada di sisi samping tasnya. Ia kemudian meneguk air putih yang ia bawa dari rumah. Setelah selesai minum, ia lalu berjalan keluar kelas menuju ke lapangan. Belum ada satu orang pun yang menyadari bahwa ada tanda merah di belakang rok putih Luna karena ia keluar paling akhir dari kelas.
Saat menuruni anak tangga, beberapa siswa dari kelas lain berbisik-bisik sembari tertawa saat Luna berjalan di hadapan mereka. Namun, Luna masih belum menyadari bahwa yang tengah mereka bicarakan dan juga tertawakan adalah dirinya. Saat itu, Luna masih bersikap biasa saja. Namun ketika sudah berada di lapangan, makin banyak orang yang melihat ke arahnya sambil berbisik.
Hingga pada akhirnya Luna sampai di barisan kelasnya, sahabat Luna menyadari bahwa di belakang rok putih teman sebangkunya ada tanda berwarna merah. Raisa pun memanggil Luna untuk mendekat kepadanya sembari melambaikan tangan.
"Luna, sini," seru Raissa dengan raut wajah yang serius.
"Iya, Risa, kenapa?" tanya Luna bingung, lalu berjalan mendekati sahabatnya.
"Lo lagi dapet, ya?" tanya Raissa berbisik di telinga Luna.
"Nggak, kok, gue lagi nggak dapet," jawab Luna mantap.
"Ih, serius, Lun. Beneran lo lagi gak dapet?" tanya Raissa kembali untuk memastikan bahwa temannya sedang tidak datang bulan.
"Iya, Risa, ngapain gue bohong, sih."
"Itu, kok, rok lu merah-merah, sih? tanya Raissa bingung saat Luna menyangkal bahwa ia tengah datang bulan.
"Ah, masak, sih? Gak mungkin," ujar Luna yang tak percaya dengan perkataan temannya.
"Bentar, gue foto dulu biar lo percaya sama omongan gue." Raissa mengambil ponsel yang ada di saku bajunya. Ia kemudian memotret bagian belakang rok Luna, lalu menunjukkannya pada temannya itu.
"Nih, liat." Raissa menyodorkan ponselnya pada Luna.