Setelah teman-temannya pergi meninggalkan rumah mereka, Clara pun merengut. Ia tak suka jikalau ibunya meminta orang yang ia benci singgah lagi di rumah mereka. Kehadiran Luna pun adalah karena tugas sekolah yang harus dikerjakan secara berkelompok. Jikalau bukan karena hal tersebut, ia tak sudi kalau Luna menginjakkan kaki di rumah mereka.
"Ih, Mama ngapain, sih, nyuruh si Luna main ke sini lagi?! Clara itu gak suka sama dia."
"Loh, gak suka kenapa? Mama liat Luna anaknya baik."
"Gak suka sama seseorang itu, kan, gak harus ada alasannya," jawab Clara sambil melipat tangan di dada.
Christie menggelengkan kepalanya saat mendengar ucapan anaknya. Ia sangat paham dengan tabiat putrinya itu. Sifatnya yang sombong dan angkuh telah membuat gadis tersebut bersikap seperti itu. Ia berasumsi bahwa putrinya menganggap Luna tidaklah selevel dengannya.
"Kamu gak boleh begitu, Sayang. Gak boleh terlalu benci, loh, sama temanmu itu. Boleh jadi suatu saat nanti dia bisa jadi teman dekatmu."
"Ih, nggak banget, deh, temenan sama dia," ujar Clara yang kemudian pergi meninggalkan sang ibu menuju kamarnya.
Christie berbalik badan, lalu menatap putrinya yang mulai menaiki anak tangga. Ia tak habis pikir dengan sikap putrinya yang kekanak-kanakan. Christie pun heran mengapa anaknya bisa memiliki perangai buruk seperti itu walaupun ia dan sang suami memiliki sifat rendah hati. Mungkin saja sifatnya itu karena ia tidak pernah merasakan hidup susah seperti kedua orangtuanya dulu.
Clara pun merasa hari ini moodnya sangat jelek karena Luna. Ia diperlakukan amat istimewa oleh sang ibunda, dan juga dipersilakan untuk datang kembali ke rumah mereka di lain waktu. Ia tak suka jika ibunya dekat-dekat dan juga menaruh perhatian pada Luna.
Gadis angkuh itu pun masuk ke dalam kamar, lalu membanting pintu kamar karena amarahnya.
"Awas aja, besok gue bakalan bikin perhitungan sama lo, Luna! Liat aja besok! Dasar cewek miskin!" Clara berbicara sendiri dengan nada penuh emosi.
Sementara itu, Luna kini tengah berdiri di bawah teriknya matahari. Gadis itu tengah menimbang, apakah ia harus pulang sendiri atau minta dijemput oleh sang ayah. Luna ingin mengirimkan pesan kepada ayahnya agar sang ayah segera menjemputnya. Namun, akhirnya ia mengurungkan niat. Ia menaruh kembali ponselnya ke dalam tas.
Luna tak tahu ayahnya sedang menarik ojek online di mana saat ini. Ia tak mau merepotkan ayahnya yang mungkin saja tengah mengantarkan penumpang yang tujuannya jauh dari posisinya saat ini.
Di tengah teriknya matahari, Luna berjalan keluar kompleks mewah yang baru saja ia singgahi. Sembari berjalan, gadis belia itu terus berpikir bagaimana caranya ia bisa pulang, sedangkan ia tak tahu harus naik kendaraan umum apa untuk bisa sampai ke rumahnya.
Setelah sampai di jalan raya, Luna menengok ke arah kanan dan kiri, mencari angkutan umum yang sekiranya lewat di daerah tersebut.
"Kira-kira di daerah sini ada angkot gak, ya?" gumam Luna.
Sudah sepuluh menit lamanya Luna mengunggu angkutan umum yang lewat, tetapi nihil. Ia sama sekali tak melihat ada angkutan umum yang lewat di hadapannya.
"Apa emang di sini gak ada angkutan umum, ya? Dari tadi gak ada angkot atau kopaja yang lewat." Gadis itu bertanya-tanya.
Karena jalan raya di sekitar kompleks sepi, Luna akhirnya memutuskan kembali masuk ke dalam kompleks untuk bertanya kepada satpam yang tengah berjaga.
"Maaf, Pak, saya mau tanya, apa di sini tidak ada angkutan umum?" tanya Luna pada salah satu satpam kompleks yang sedang meminum segelas kopi hitam.
"Wah, kalau di daerah kompleks elit memang gak ada angkutan umum, Dik."
"Oh, begitu, ya, Pak. Pantes dari tadi saya nunggu angkot di depan gak ada yang lewat," terang Luna.
"Memangnya Adik mau pulang ke mana?"
"Saya mau pulang ke Lenteng, Pak."
"Oh, Lenteng. Kalau Lenteng lumayan jauh dari sini, Dik. Lagi pula di sini gak ada angkutan. Apa Adik gak ada yang jemput?"
"Sebenarnya ada, tapi Bapak saya lagi narik ojek online."
"Oh, begitu. Dari pada Adik naik ojek online bayarnya mahal, lebih baik minta jemput Bapaknya aja," ujar satpam itu memberikan usul.
"Iya, ya, Pak. Ya udah, deh, saya minta dijemput Bapak saya aja. Terima kasih, ya, Pak." Luna sedikit membungkukkan badannya kemudian meninggalkan pos satpam tersebut. Gadis itu akhirnya memutuskan untuk meminta sang ayah agar menjemputnya. Ia mengurungkan niat untuk pulang sendiri.
Luna mengambil ponsel di dalam tas, lalu ia melakukan panggilan telepon untuk berbicara langsung dengan sang ayah. Rendra yang tengah melajukan motornya mengantarkan penumpang pun akhirnya menepi. Ia meminta izin kepada penumpangnya untuk mengangkat telepon untuk beberapa saat. Saat melihat putrinya yang menelepon, ia pun segera mengangkatnya.
"Pak, saya izin angkat telepon dulu sebentar," ucap Rendra sebelum menjawab panggilan. Penumpangnya pun memberikan izin dengan menganggukkan kepalanya.
"Halo, Kak, Kakak di mana sekarang, sudah selesai kerja kelompoknya?"
"Udah, Pa. Luna sekarang lagi ada di jalan raya depan kompleks. Tadinya Luna mau pulang sendiri, tapi di sini gak ada angkutan umum sama sekali."
"Oh, ya sudah, nanti Papa jemput, tapi Papa antar penumpang dulu, ya."
"Iya, Pa. Luna tunggu di pinggir jalan raya di depan pintu gerbang kompleks."
Rendra segera mematikan sambungan telepon, lalu kembali melajukan motornya. Ia mempercepat laju motor yang ia kendarai agar bisa segera sampai di tujuan, lalu menjemput putrinya.
Tiga puluh menit sudah Luna menunggu, tetapi sang ayah belum kunjung datang. Kaki gadis itu terasa lelah karena sedari tadi terus berdiri. Ia pun memilih duduk sejenak di atas jalanan beraspal untuk mengistirahatkan kakinya.
Dari kejauhan, Rendra melihat putrinya tengah duduk di pinggir jalan raya. Ia tahu bahwa sang anak sudah menunggunya sedari tadi. Lelaki itu pun kemudian berhenti tepat di mana sang putri menunggunya.
Luna yang tengah menopang dagu tiba-tiba melihat ada sebuah motor yang berhenti tepat di depannya. Gadis itu pun mendongakkan kepalanya untuk melihat orang yang mengendarai motor.
"Papa? Papa udah sampai?" tanya Luna bersemangat.
"Udah, nih. Maaf, ya, Kak, Papa lama sampainya. Tadi Papa antar penumpang dulu."
"Iya, gak apa-apa, kok, Pa. Terima kasih, ya, sudah mau jemput Luna," ucap gadis itu sembari tersenyum. Luna segera menaiki motor yang dikendarai oleh ayahnya. Mereka pun segera pulang ke rumah karena hari sudah mulai sore.
Setelah sampai di rumah, mereka membersihkan diri dari debu jalanan dan juga keringat sebelum makan malam bersama. Sementara itu, Rini—ibunda Luna menyiapkan makan malam dengan lauk seadanya berupa tempe goreng, sambal terasi, dan juga sayur asam.
Rendra yang sudah sangat lapar bergegas ke ruang tamu untuk menyantap makan malam yang telah dihidangkan oleh sang istri. Namun, Luna tiba-tiba saja menghentikannya.
"Jangan makan dulu, Pa!" pinta gadis itu sedikit berteriak.