"Dia pikir dia siapa berani sekali berkata seperti itu padaku. Ya sudah jika kamu ingin pergi, pergi sana! Nanti juga kamu sendiri yang akan meminta kembali kesini!" teriak Nicole, dengan begitu keras sampai membuat langkahku terhenti.
Mencoba menoleh ke belakang, melihat Nicole yang sama sekali tidak mengejarnya justru menyuruhnya untuk pergi. Menarik nafasnya memburu, lalu berkata. "Baik, Nicole. Jika itu yang terbaik untukmu maka aku akan melakukannya. Jagalah dirimu saat aku tidak lagi di sisimu, jika kamu sudah menemukan cintamu, lindungilah dia dan jangan perlakukan ia seperti kamu memperlakukanku. Terima kasih atas waktu yang telah kita lewati bersama. Meskipun aku lebih menyukai kebersamaan kita sebagai sahabat daripada seperti suami dan istri yang tidak pernah kamu hargai, selamat tinggal."
Tidak ada sahutan yang kudengar, sampai membuatku memutuskan untuk terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Berjalan memasuki kamarku untuk membereskan semua pakaian. Isak tangis tidak dapat ku bendung, sambil memasukkan pakaian kedalam koper seraya air mata terus keluar membasahi wajahku. Air mata yang sia-sia ku keluarkan, tetapi jika ku tahan lebih membuatku tersiksa.
Belum ada kata cerai yang keluar dari mulut kami berdua, meskipun kata pisah sudah ku ucapkan. Walaupun demikian aku masih menganggap kita seperti keluarga meski kamu hanya menganggap ku seperti ular yang berbisa. Alangkah baiknya kita tidak hidup bersama jika hanya ada peperangan yang setiap ku terima.
Malam yang sunyi, gelap gulita. Hawa dingin begitu menusuk tubuhku. Berjalan perlahan dengan sorot lampu ponsel yang menjadi penerangan. Walaupun aku begitu takut dengan kegelapan, tapi malam itu rasa itu ku harus ku lawan meskipun aku tidak tahu arah tujuan. Merasakan kesunyian sampai membuat bulu kuduk ku berdiri hingga aku memutuskan untuk menghidupkan musik agar jalanku bisa lebih tenang.
Saat diriku sedang berjalan perlahan, tiba-tiba saja cahaya yang begitu terang membuat jalanku lebih nyaman. Tetapi, cahaya itu berasal dari sebuah mobil yang perlahan-lahan berhenti di sampingku. Meskipun aku sedikit takut karena tidak tahu siapa pemiliknya. Kemudian, pintu mobil terbuka. Pria tersebut bergegas mendekatiku sampai ku sadari bahwa itu adalah Hans.
Aku sedikit terkejut, sampai batinku berkata. 'Hans? Kenapa dia bisa ada di sini malam-malam begini?'
Lamunanku buyar saat tangannya menarik tanganku dengan perlahan, lalu ia berucap. "An, masuk ke mobilku dulu yuk! Ini sudah larut malam tidak baik untukmu berjalan sendirian. Mari, An. Jangan takut."
Mengangguk mengiyakan ajakannya, meskipun aku memang sedikit ketakutan karena bisa tiba-tiba melihatnya datang di waktu yang memang sedang ku butuhkan pertolongan.
"Um, Hans. Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanyaku yang sudah berada di dalam mobilnya.
"Oh itu bukan perkara susah untukku, tinggal mengutus tangan kananku saja aku sudah bisa mengetahui tempatmu karena ponselmu sedang menyala, karena saat kita teleponan dan tiba-tiba ponselmu di rebut oleh pria lain membuatku tidak tenang. Tapi kalau aku boleh tahu kenapa kamu bisa diluar malam-malam begini sampai membawa koper segala?" Hans bertanya dengan serius sampai mobilnya berjalan dengan pelan.
"Jadi kamu bisa melacak ponselku ya, dasar kamu ini. Oh ya mengenai kenapa aku bisa di sini entahlah aku juga bingung, tapi bisa tidak aku menginap di rumahmu sampai besok pagi? Karena jika aku mencari tempat tinggal sekarang pasti sangat sulit."
"Ya tentu saja boleh mau kamu menginap berapa lama pun tidak masalah, karena aku memang tinggal sendirian, dan di temani oleh satu orang pelayan. Bye the way kamu benar sudah menikah?"
Aku mengangguk perlahan. Ingin ku menjawab sahutan-nya, tapi Hans justru berkata kembali. "Berarti yang tadi mengambil ponselmu memang suamimu ya, kalau begitu maaf aku sudah mengganggu mu tengah malam seperti tadi. Kupikir kamu belum menikah jadi aku menghubungimu."
Raut wajah Hans terlihat merasa bersalah, tetapi aku membalasnya dengan senyuman. Lalu aku menjawab ucapannya. "Tidak ada yang perlu disalahkan, Hans. Memang sudah takdir pernikahanku seperti ini, karena aku bukanlah orang yang tepat bagi orang yang telah menikahi ku. Kamu sendiri bagaimana apa juga sudah pernah menikah?"
Hans menggeleng pelan, lalu berkata. "Belum, aku belum menemukan orang yang tepat, An. Tapi aku pernah mencintai seorang wanita dengan sangat tulus bahkan kami ingin menikah hanya saja ... dia tidak mencintaiku melainkan memanfaatkan kekuasan ku, sampai akhirnya dia sukses dan bisa membangun apa yang dia impikan lalu dia memberi alasan kalau aku yang mengkhianati dirinya, gila bukan?"
"Hah? Ternyata kisah cintamu juga tidak semulus cintaku ha-ha-ha, jika dipikir-pikir konyol sekali," sahutku mencoba tersenyum. Tetapi tiba-tiba saja air mata kembali membasahi pipiku saat senyuman kucoba ku perlihatkan.
Akhirnya Hans memberhentikan mobilnya, lalu ia memelukku di saat aku sudah tidak bisa menahan air mata ini. Pelukannya cukup nyaman dan membuatku tenang, meskipun rasa sakit di hatiku tidak bisa disembuhkan setidaknya ada orang yang masih peduli terhadapku. Usapan di punggungku begitu nyaman sampai membuatku membalas pelukannya sembari menangis dengan begitu kencang.
"Bagus, An. Menangis 'lah jangan ditahan-tahan. Aku tahu kamu sedang terluka, aku akan menjagamu," gumam Hans yang tidak begitu jelas kudengar.
Sampai akhirnya tangisan itu membuatku tidak sadar hingga ketiduran, dan aku terlelap tanpa kusadari apa-apa lagi.
Setiba di mansion milik Hans. POV Author.
Mobil berhenti disebuah mansion yang begitu megah, indah, dan mewah. Hans langsung menghentikan mobilnya. Lirikan matanya tersenyum saat menatap wajah mungil Anna yang masih pulas tertidur. Gadis itu setelah menangis sampai ia tidak sadar tertidur di dalam pelukan Hans. Mungkin karena begitu kelelahan. Ingin ia membangunkan Anna, tapi ia merasa kasihan sampai akhirnya ia membopong tubuh mungil itu dan masuk kedalam mansion-nya. Seorang pelayan yang sudah stay menunggu majikannya masuk, dengan cepat wanita itu mengambil koper dan membantu Anna mengganti pakaiannya.
Pagi hari tiba, mentari mulai menampakkan cahayanya. Secangkir kopi menambah suasana, menyaksikan mentari menyapa hari. Tanda menyambut hari yang baru akan segera dimulai dalam sebuah simfoni. Hans tersenyum sendiri saat sedang meminum kopi, entah kenapa pagi ini sedikit berbeda dari biasanya. Wajahnya berseri sampai ia tidak sadar ia sedang membayangkan seseorang. Seseorang yang sedang berlabuh di dalam hatinya.
Dengan pelan ia bergumam. "An, aku akan membuatmu bahagia dan tidak membiarkanmu menangis lagi. Jika waktu kecil kita menangis karena terpisah, maka sekarang kita akan bahagia karena hidup bersama."
Gumamnya sampai terdengar oleh seorang pelayan yang sudah bekerja berpuluh tahun dengannya, pelayan itu sedang menaruh roti sampai ia ikut tersenyum melihat majikannya bisa tersenyum bahagia seperti saat ini. Pelayan itu berkata. "Maaf sebelumnya saya tidak berniat lancang, Tuan Muda. Sepertinya hati Tuan Muda sedang berbunga-bunga sekali. Sudah lama saya tidak pernah melihat Tuan Muda seperti ini pasti jika Nyonya dan Tuan besar melihatnya, mereka akan sangat ... bahagia."
"Benarkah seperti itu, Bi?" sahut Hans.
"Ya, Tuan Muda."
"Entahlah aku hanya sedang bahagia, aku pun tidak tahu kenapa. Oh ya apa dia sudah bangun, Bi?"
Bibi menggeleng, lalu menjawab. "Belum, Tuan Muda."
"Baiklah, siapkan teh dan sarapan untuknya, pasti dia sangat kelelahan.