BAB 1
Klinting... bunyi yang terdengar ketika sendok yang ku pegang menyentuh lantai. Aku terdiam sesaat sambil menatap wajah lelaki itu, lelaki yang telah 3 tahun menemaniku menjalani rumah tangga.
"Apa mas? " Tanyaku akhirnya, untuk memastikan telingaku masih normal saat mendengar permintaanya.
"Mas ingin menikah lagi dek" jawabnya.
"Alasannya?"
"Kamu sudah tau jawabannya dek"
"Karena anak?" Aku memastikan, karena aku merasa inilah satu-satunya alasan yang paling masuk akal, sehingga ia ingin menikah lagi.
"Benar dek" kali ini ia tertunduk.
"Apa kamu tidak bisa lebih sabar mas, masih banyak pasangan di luar sana yang sama seperti kita, menunggu buah hati dalam rumah tangganya. Bahkan mereka harus menunggu lebih lama mas. Kita hanya perlu lebih bersabar" aku mencoba menahan keinginannya.
"Sampai kapan dek? Sampai kita tua? Sampe aku tidak mampu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anak istriku?"
"Kenapa kita coba periksa ke dokter mas, atau kita ambil program hamil" aku mencoba mencari jalan lain, selama ini suamiku memang selalu menolak jika aku mengajaknya memeriksakan diri ke dokter. Selalu saja ada alasan yang ia kemukakan. Sedang malas,capek atau nanti-nanti saja jawaban yang ia utarakan jika aku paksa pergi. Akhirnya aku memeriksakan diriku sendiri dan hasilnya normal saja. Memang butuh pemeriksaan dari dua belah pihak untuk tau masalah apa yang menyebabkan hingga saat ini kami belum memperoleh keturunan.
"Mas yakin mas sehat dek, tidak perlulah sampai periksa ke dokter. Jika kamu atau istriku yang lain nanti hamil,barulah aku kesana" jawabnya lagi.
"Maksud mas masalahnya ada padaku?" ucapku sambil melotot padanya.
"Mas tidak bilang begitu dek. Mungkin memang benar katamu kita perlu bersabar,makanya aku minta izin padamu untuk menikah lagi. Aku yakin dengan istriku yang baru nanti aku akan segera memiliki anak dek"
"Apa kamu sekarang berubah menjadi Tuhan mas?"
"Bukan gitu maksud mas dek, mas juga bingung, disatu sisi mas gak bisa melepas kamu. Disisi lain mas benar-benar ingin memiliki penerus yang bisa mas banggakan dimasa depan, lagipula mamah selau menanyakan masalah cucu jika mas datang ke sana, mas benar-benar tersudut dek. Tolong kamu pahami keadaan mas"
Aku terdiam. Ibu mertua ribut masalah cucu? Selama ini aku melihat mamah bukanlah orang yang meributkan masalah ini, beliau faham benar bahwa anak termasuk masalah yang tidak dapat kami kendalikan. Dan beliau selalu meminta kami untuk bersabar. Kenapa sekarang mas Afie berkata seperti itu? Apa memang mamah sudah terlalu lama menunggu?
"Kamu tau aku pasti tidak akan mengizinkan kamu untuk menikah lagi mas" aku mengemukakan keputusanku, wanita mana yang mau dimadu? Walau aku tahu itu tidak dilarang dalam agamaku. Tapi aku belum siap jika itu terjadi padaku.
"Dek,tolong..."
"Kalau yang menjadi alasan kamu mau menikah lagi karena anak mas, maka izinkan aku untuk menikahi lelaki lain juga, aku juga mau mas segera memiliki anak setelah aku menikah nanti"
Matanya membesar memandangku.
"Jangan bicara sembarangan dek, pamali"
"Kalau kamu yang bicara sembarangan boleh mas?" aku sudah mulai muak bicara dengannya.
"Mas bicara apa ada apanya dek, ini demi kebaikan kita bersama"
Huh kebaikan kita? Ini hanya demi memenuhi nafsumu saja mas batinku berucap.
"Gak mudah mas, untuk berpoligami itu tidak mudah. Aku tidak akan mudah menerima. Kaupun tidak akan mudah menjalaninya" walau muak aku masih berusaha memberi pengertian kepadanya.
"Kita kan belum menjalaninya dek, bagaimana kamu tahu itu tidak mudah" Batu sekali suamiku ini.
"Apa kamu bisa adil mas? Adil terhadap istri-istrimu. Kamu yakin kamu bisa membahagiakan semua keluarga? Keluargamu, keluarga istri-istrimu? Kamu yakin kamu akan bahagia jika menikah lagi? Yakin bukan malah sengsara yang kamu terima?"
"Mas yakin dek, pas pasti bisa adil, mas pasti bisa bikin kalian bahagia" ucapnya dengan mata berbinar.
Aku kehabisan kata-kata. Segera aku berdiri, lebih baik aku pergi daripada terus adu argumen dengan lelaki batu ini.
"Dek...dek... mau kemana dek"
"Tidur"
"Tapi pembicaraan kita belum selesai dek"
"Kalau mas mau nikah lagi silahkan. Aku tidak melarang. Tapi aku juga berhak melakukan hal yang sama"
Aku menuju ke peraduanku dan segera memejamkan mata. Sungguh, pembicaraan dengan mas Afie membuat lelah pikiranku.
***
Esok paginya, setelah kudengar suara mobil mas Afie menjauhi rumah, aku segera bersiap. Kupacu mobilku menuju ke daerah perkotaan. Rumahku memang berada di daerah pinggiran kota.
Tak lama aku parkirkan kendaraanku didepan sebuah toko berlantai 3.
"Pagi Bu" ucap seorang gadis yang sibuk membersihkan etalase toko.
"Pagi Han, Silla sudah datang? Tanyaku.
"Belum Bu, biasa mbak Silla jam 9 baru datang" jelasnya.
"Oh...oke saya langsung ke lantai 3 ya. Nanti kalau kerjaan kamu sudah selesai, minta tolong bikinin kopi"
"Siap Bu" ucapnya sambil tersenyum manis.
Segera ku langkahkan kakiku menuju kelantai 3. Toko ini memang milikku, toko yang menjual barang-barang keperluan rumah tangga. Aku membelinya dengan uang tabunganku saat aku masih bekerja. Selain toko ini masih ada 2 cabang toko yang lain. Mas Afie? tentu ia tidak aku memiliki toko. Bagi dia aku hanyalah seorang ibu rumah tangga yang hanya tinggal dirumah setiap harinya. Hanya sesekali keluar rumah untuk membeli keperluan rumah tangga.
Aku menghentikan pekerjaanku saat kulihat sebuah kepala menyembul dibalik pintu.
"widiw... bu bos, tumben ke toko Bu?"
Dia Silla, orang kepercayaan sekaligus teman saat aku kuliah dulu. Memang aku biasanya hanya memeriksa laporan toko dari rumah saja. Jika ada masalah baru aku datang ke toko. Untuk melihat bukti transaksi secara langsung.
"Lagi suntuk aja dirumah" jawabku
"Suntuk ya shopping Line, kaya biasa"
"Suntuk yang ini gak bisa hilang kalau Cuma dibawa shopping"
"Suntuk kenapa loe?"
"Mas Afie mau kawin lagi" ujarku.
Pfffttt... Silla menyemburkan jus yang sedang ia minum.
"Jorok loe" kataku sambil memberi tissu kepadanya
"Sorry sorry... Gw kaget. Afie mau nikah lagi?"
"Ho oh"
"Kapan"
"Kaga tau"
"Sama siapa"
"kaga tau"
"dah ada calonnya"
"Kaga tau"
"loe kaga tanya?"
"Kaga, buat apa?"
"Biar loe tau"
"Kaga pengen juga gw tau"
"Jadi gimana? Loe mau dimadu?"
"Kagaklah"
"Jadi loe cere"
"Tau ah gw pusing, udah loe kerja sana. Kenapa malah ngerumpi" aku mengomelinya.
Ia pun duduk di kursinya.
"Tapi gw rasa Afie pasti dah ada calon yang mau dia jadiin istri, makanya dia minta izin ke loe" Silla masih menyuarakan pendapatnya.
Aku hanya diam. Tapi memikirkan ucapan Silla. Jika benar begitu, berarti mas Afie telah berselingkuh. Kamu begitu tega mas.