BAB 6
Aku masih duduk terdiam di balkon kamarku, menatap taman kecil dengan kolam ikan dan juga gazebo minimalis yang nampak redup dari tempatku duduk.
Terdengar pintu kamar terbuka, tanpa menoleh pun aku tau siapa yang membuka, karena memang hanya ada kami berdua di rumah ini.
"Dek" panggilnya parau.
"Kenapa mas" acuh kujawab masih tak menatap wajahnya.
"Kamu belum kasih persetujuan tentang pernikahan mas" dia berkata sambil berjalan mendekat padaku.
Sudah 2 hari berlalu sejak aku bertemu dengan gadis itu, dan selama itu kami hanya sedikit bicara. Untuk mengobrol atau menjawab pertanyaannya pun aku merasa malas. Kami menjadi saling asing satu sama lain.
"Menikahlah mas" malas aku menjawabnya.
"Mas butuh persetujuanku dek"
"Aku tak setuju mas, jelas kamu tahu itu, kenapa memaksa aku setuju" jawabku cepat
"Dek, kan kita sudah bahas ini, mas sudah pertemukan kamu sama Denis juga. Kurang apalagi" ujarnya gusar.
Enak sekali pikirannya, begitu aku setuju ketemu berarti aku setuju dimadu?
"Kenapa tidak mas ceraikan aku saja mas, kalau mas tidak mau mengurus, biar aku yang urus" ucapku akhirnya karena ini lebih baik bagiku. Aku juga tak faham, mengapa mas Afie ingin mempertahankan rumah tangga denganku, sedang hatinya telah terisi orang lain. Sungguh egois jika ia ingin bertahan dengan 2 pernikahan.
"Jangan berkhayal kamu dek" jawabnya sambil memandang jauh ke depan.
"Aku tidak akan meminta harta gono gini mas, rumah ini akan aku serahkan ke mas, karena memang mas yang membelinya" aku bersikeras padanya.
"Rumah ini punyamu dek, mas sudah berikan padamu, dan mas yakinkan kita tidak akan berpisah dek, tidak akan" ia menegaskan.
Jika kamu masih kamu yang dulu aku pasti akan percaya mas, tapi kamu telah jauh berubah, tak ada lagi yang bisa aku harapkan darimu, tak ada juga yang aku percaya. Belum menjadikannya istri saja sudah begitu menyakitiku, apalagi saat kau telah menikah lagi.
"Apa kamu bahagia mas?"
"Maksud kamu dek?"
"Apa kamu bahagia menikah denganku?"
"Mas bahagia dek, sangat bahagia, tapi mas juga ingin dek, kebahagiaan ini lebih sempurna dengan adanya anak"
"Dan menurut mas, dengan menikah lagi mas akan lebih bahagia? Jauh lebih bahagia daripada saat ia belum ada diantara kita?"
Ia terdiam sesaat, tampak berfikir.
"Mas yakin dek, dengan adanya kamu, Denis dan anak kita, mas akan lebih bahagia, bukan hanya mas dek, kamu dan Denis juga pasti akan bahagia, apalagi mamah dek. Kamu gak mau kecewain mamah kan"
Aku membuang muka. Picik sekali pikiranmu mas. Mendengar niatmu menikah lagi saja sudah membuatku sakit hati. Darimana itu akan menjadi suatu kebahagiaan. Selalu membawa mamah sebagai alasan, seolah aku menanti durhaka yang tak tau cara menyenangkan mertua.
"Tidak ada wanita yang mau dimadu mas, tidak ada"
"Istri nabi ada dek, ini juga jalan ke surga buatmu" ia mulai membawa-bawa agama.
"Aku bukan istri nabi mas, aku wanita biasa yang pemahaman ku tentang agama pun masih sangat minim, dan untuk mas ingat, mas juga bukan nabi. Jangan ketinggian kamu bermimpi, mas juga tau kan wanita-wanita seperti apa yang dinikahi nabi, bukan macam selingkuhanmu itu mas"
"Dek, dia bukan selingkuhan mas" nada suaranya mulai meninggi.
"Terserahlah mas, yang jelas dimataku dia adalah selingkuhanmu, mau kau cari pembenaran seperti apapun, pendapatku tidak berubah" aku berlalu meninggalkannya. Bergegas masuk ke kamar lalu menguncinya. Aku tidak perduli dimana ia akan tidur malam ini. Jika ia mau ke tempat gundiknya pun silahkan. Karena akupun sudah merasa enggan ia sentuh. Barang yang sudah disentuh orang lain, tidak akan mungkin aku pakai kembali.
***
Mendekati akhir bulan pekerjaan seakan tiada henti datang. Aku masih berkutat dengan pekerjaanku saat ponselku berdering.
"Ya mas" jawabku setelah ku geser tombol hijau pada layar ponselku.
.....
"Lagi belanja" jawabku lagi sambil memandang jam di dinding. Pukul 15.35 seharusnya mas Afie masih dikantor.
.....
"Iya" aku menjawab cepat sambil membereskan meja kerjaku dan mengambil tasku lalu segera mengakhiri panggilan dari mas Afie.
"Sil gw pulang duluan yak, laki gw dah di rumah nih" aku berpamitan dengan Silla saat aku bertemu dia di lantai bawah.
"Oke Line, hati-hati ya" jawab Silla lalu ia kembali sibuk melayani pembeli.
Aku segera menuju mobilku menuju rumah. Sebelumnya aku mampir ke minimarket untuk membeli beberapa barang. Barang yang sebenarnya belum terlalu aku perlukan. Tapi aku butuh membawa belanjaan sebagai bukti kepada suamiku bahwa aku memang baru saja berbelanja.
Sesampai di rumah kudapati suamiku sedang duduk di kursi ruang tamu. Televisi dihadapannya menyala, sedang menyiarkan berita banjir ibukota. Namun ia seperti biasa, sibuk dengan ponselnya, ia bukan sedang menonton tv, tapi ditonton tv.
Aku beranjak hendak menuju dapur untuk meletakkan belanjaanku.
"Jadi gini kelakuanmu kalau aku gak di rumah dek" suara mas Afie sontak menghentikan langkahku.
"Maksud mas?"
"Suamimu sibuk bekerja dan kamu pun sibuk keluyuran"
"Aku belanja mas"
"Belanja apa sampai memakan waktu selama ini, 2 jam aku menunggumu"
Aku terdiam, ternyata sudah lama mas Afie menunggu.
"Tadi barang yang aku cari gak ada di minimarket simpang mas, jadi aku harus mencari di pasar yang letaknya lebih jauh"
"Kenapa sebelumnya gak pamit? Kamu biasanya selalu pamit"
"Aku lupa mas" aku malas mencari-cari alasan. Lupa alasan tercepat yang aku dapatkan.
"Lupa? Kamu benar-benar lupa atau kamu sudah tidak menghargai suamimu, sehingga kamu tidak memerlukan izin suamimu lagi untuk keluar dari rumah" mas Afie mulai meluapkan amarahnya.
"Kamu kenapa mas, aku masih manusia, belum berubah jadi j*Lang, wajar aku lupa. Masalah begini saja membuatmu marah. Terus terang saja mas, yang membuatmu marah bukan aku keluar kan, tapi karena aku tidak mau kau madu iya kan" aku membalas ucapan keras suamiku. Jangan berharap kamu diam dan menuruti semua maumu mas.
"Dek, mas cuma ngingetin kamu, kamu masih istri mas, hargai mas, suamimu"
"Jangan tuntut aku untuk menghargaimu mas, aku sudah cukup sabar menghadapi tingkahmu" jawabku cepat.
"Apa maksud..."
"Jangan pura-pura tidak tau mas, jangan mengharap aku masih Line yang dulu, sedang aku tak melihat mas Afie yang dulu. Belajarlah untuk menerima atas apa yang sudah kamu perbuat" aku beranjak menuju kamar. Malas meladeni ucapan mas Afie. Ia menjadi lebih sering marah sekarang, masalah kecil saja membuatnya naik darah. Membuatku menjadi semakin ingin membuat masalah saja.