BAB 9
Dua hari berlalu sejak mas Afie membawa gadisnya menemui mamah dan papah. Dua hari pula ponselku selalu diteror oleh pesan mamah, yang mengatakan bahwa ia tak akan setuju ataupun menghadiri pernikahan itu. Aku tak memaksa mamah, biarlah anaknya yang membujuk, toh aku sudah berbaik hati mempertemukan mereka. Jika aku tidak memaksa sampai hari ini pasti mamah dan papah tidak tau anaknya akan menikah lagi. Walau tanggalnya belum diketahui, pernikahan itu pasti akan terjadi.
Dan sejak itu pula mas Afie tidak pulang ke rumah, mungkin ia memutuskan untuk kumpul kebo dengan gadisnya, atau mereka telah menikah siri. Aku tak tahu dan tak mau tahu. Yang aku tahu aku akan belajar menjalani hidup sendiri. Tak lama lagi status janda itu pasti ku sandang juga. Karena sesungguhnya aku yakin, mas Afie tak akan mampu memenuhi isi perjanjian itu. Kalaupun ia mampu, aku akan buat ia melanggarnya.
Bel rumah berdering saat aku sedang disibukkan dengan kegiatan shopping online ku, siapa yang bertamu siang-siang begini, akupun tak ada janji dengan kawanku.
Segera kubuka pintu setelah kupastikan lewat balik tirai jendela, bahwa yang datang adalah mas Afie, bersama gadisnya.
Saat mereka hendak masuk aku menahannya. "Kamu kalau masuk, masuklah mas. Tapi gadis ini biarkan menunggu diluar. Digazebo itu, jangan diteras rumah" ucapku sambil menunjuk ke arah taman depan.
"Mas..." gadis itu mencoba protes sambil memberikan tatapan menghiba.
"Dek, dia itu calon istriku" mas Afie berusaha mendebat.
"Aku tak perduli mas, bahkan jika ia istrimu, aku tak mengizinkan dia masuk, bukankan sudah aku katakan kepadamu"
"Sayang, tunggu di luar ya" ucap mas Afie mesra.
"Di gazebo, harusnya di luar pagar, aku sudah berbaik hati membiarkan ia menunggu di gazebo, kasian bedaknya luntur nanti" aku menegaskan.
Gadis itu berlalu sambil menghentak-hentakan kakinya. Tak memperdulikannya aku masuk ke rumah.
"Kenapa pintu rumah dikunci dek" tanya mas Afie saat ia telah didalam.
"Biasa memang aku kunci mas, apalagi sekarang aku sendirian di rumah. Lebih baik berjaga-jaga" aku berkata sekaligus menyindirnya.
Ia hanya diam, tampak ada yang ingin diutarakan namun ragu.
"Kenapa mas" tanyaku.
"Tidak apa-apa"
"Kalau ada yang mau kamu sampaiin katakan mas kasihan selingkuhanmu kepanasan menunggu diluar" ucapku.
Ia menoleh keluar memandang kearah gadisnya, memang cuaca saat itu sangat panas.
"Mas mau..." kata-katanya terhenti.
"Cerai?"
"Bukan dek, mas gak akan ceraiin kamu"
"Kenapa mas? Kamu gak pernah kasih alasan kenapa gak mau cerai"
"Mas cinta kamu dek, sayang kamu, gak bakal mas ceraiin kamu"
"Heh tapi kamu duain aku mas, cinta sayang kamu itu palsu, kamu penuh nafsu"
"Dek, kamu tau pasti alasan mas"
"Cukup mas, kenapa mas kesini"
"Mas mau minta tolong ke kamu dek"
Aku menatapnya. Apalagi yang kamu mau mas, batinku.
"Tolong mas buat bantu jelasin ke mamah dan papah"
"Kamu selain pengecut juga gak tau malu ya mas, aku sudah bantu kamu pertemuin simpananmu dengan keluargamu, sekarang kamu mau aku jelasin ke mamah papah? Sudah gila kamu mas"
"Tolong dek" ia menghiba.
"Meluluhkan hati mamah papah saja kamu gak bisa mas, gak usah sok-sokan pake mau nikah lagi deh, kalau minta restu aja kamu gak mampu" aku mengejeknya.
Ia hanya menunduk, tak ada pembelaan.
"Seperti kata papah mas, kamu gak perlu kehadiran mereka, yang kamu perlukan hanya wali dari simpananmu itu. Kamu sudah pastikan itu ada?" aku menyelidik.
"Mas belum tanya ke Denis dek"
"Selain pengecut kamu juga bodoh ya mas. Itulah terlalu sibuk kawin sampai syarat nikah saja kamu abaikan mas" kembali aku ejek dia. Selama ini mereka selingkuh belum saling mengenal keluarga? Apa namanya kalau bukan hanya ingin melepas nafsu.
"Jangan kasar gitu dek"
"Gak guna aku lembut ke kamu mas, cuma kamu balas pengkhianatan harusnya sedari dulu aku bersikap keras ke kamu" aku mulai mengomel, mencurahkan kekesalanku.
"Dan kamu harus pastikan keluarga simpananmu bisa menerima statusmu yang masih mempunyai istri mas. Mereka harus tau kalau kebahagiaan anak mereka menyakiti hati seorang wanita" masih kusambung omelanku karena ia hanya diam saja.
"Jadi kamu gak mau bantu mas dek" ia masih mengharap.
"Mimpi aja kamu mas, jangan lupa nanti malam kamu harus perkenalkan simpananmu itu ke orang tuaku" aku mengingatkannya.
"Ya dek, nanti malam mas jemput kamu, kita sama-sama ke sana" ujarnya sambil menyandarkan badannya ke sofa yang sejak tadi ia duduki.
"Gak perlu, aku sudah bilang jangan bawa wanita l*cur itu kesini" tegas aku menolak. Cukup kali ini saja gadis itu menginjakkan kakinya di rumahku. Tak ada lain kali.
"Nanti mas jemput kamu dulu, baru kita jemput Denis" jelasnya.
Aku hanya menganggukkan kepala sambil mempersilahkan ia keluar, si gadis nampaknya sudah gelisah menunggu pangerannya. Berulang kali ia melongokkan kepalanya. Sepertinya ia takut calonnya aku goda. Jangankan menggoda, berada didekatnya pun aku sebenarnya malas. Kau ambillah bekas suamiku ini.
***
Tepat setelah azan magrib berkumandang mas Afie menjemputku. Wajahnya masih kucel seperti tadi siang. Kami langsung menuju rumah orang tuaku tanpa mempersilahkan ia masuk ke rumah sekedar meregangkan otot-ototnya.
Didalam mobil pun kami tak saling bicara. Sama seperti saat kami mengunjungi mamah, kali ini pun aku memilih duduk dibelakang. Biarlah kursi depan itu khusus untuk pangeran dan simpanannya.
Menjelang isya kami tiba di rumah orang tuaku. Tanpa menunggu mas Afie aku segera turun dan menghampiri orang tuaku yang saat itu aku lihat sedang duduk di kursi teras.
Setelah menyalami mereka kamipun masuk.
"Widiw, tuan putri datang" ujar bang Rifat menggoda ku. Aku hanya tersenyum sambil memeluknya. Sudah sangat lama aku tak bertemu dia. Biasanya kami selalu bersama-sama ke kantor dan seharian menghabiskan waktu bersama. Sejak aku memutuskan keluar, kami mulai jarang bertemu.
"Dedek kangen bang" ucapku masih sambil memeluknya.
"Giliran kamu sudah dicampakkan baru ingat kangen Abang hah..." aku hanya tertawa, ternyata ayah dan ibu telah menceritakan masalahku kepada bang Rifat.
"Kenapa Abang diam saja adeknya dicampakkan" tanyaku sambil memanyunkan bibirku.
"Kau sendiri yang sukarela dicampakkan, tak mau melawan. Kenapa Abang harus bantu kau yang tak ada niat melawan, bikin capek Abang aja" bang Rifat mulai merepet.
"Tak baik lawan-lawan macam tu bang, baik Abang ajak adek Abang ini shopping sajalah, sudah senang dia" aku merayu abangku.
"Mintalah pada suamimu. Duit dia hamburkan buat gundiknya sedang kau hanya dapat recehan" masih bersambung repetannya.
"Kamu sendirian nduk ke sini?" ibu dantang dan menyela pembicaraan kami sebelum bang Rifat melanjutkan mengomel.
Aku tersenyum "Line bawa kejutan buat kalian"
Mereka saling berpandangan. Tak lama muncul dua sejoli bergandengan tangan memasuki rumah. Wajah mas Afie memucat saat ia melihat bang Rifat memelukku. Mungkin ia tak menyangka kakakku ada dirumah saat ini.
"Cantik kali gadis ini, boleh aku kenalan" bang Rifat mulai bicara. Kulihat wajah gadis itu bersemu, jangan sampai simpananmu tertarik dengan abangku mas, secara wajahpun kau kalah tampan batinku berkata.
"Saya Denis mas" berkata gadis itu sambil melepaskan gandengannya pada mas Afie untuk menyalami abangku.
Tanpa menyambutnya abangku malah memilih duduk di hadapan mereka. Gadis itu menjadi salah tingkah karena tanganya hanya mengapung di udara. Kemudian ia menariknya kembali.
Masih terlalu cepat kalau kamu mencoba merayu abangku, apalagi didepan calon suamimu.
Aku sengaja duduk disamping Abang dan memepetkan diri padanya. Abang pun merangkulkan tangannya dipundakku.
Kembali ku lihat gadis itu. Dan ya, nampak rasa tak senang di wajahnya. Menyesal kan, calon suamimu itu wajah saja sudah kalah dari abangku, apalagi kekayaan. Sangat mudah bagi kami membuatnya menjadi miskin. Namun aku berusaha menahan keinginan Abang itu. Untung saja abangku ini termasuk kakak yang bucin ke adeknya. Jadi ia dapat menahan amarahnya, jika tidak sudah sejak lama mas Afie masuk rumah sakit.
"Jadi nak Afie ada perlu apa datang ke sini?" ayah bertanya.
"Sa...Saya..." terbata suara mas Afie ku dengar. Selalu begitu. Dihadapan orang tuaku maupun orang tuanya, ia menjadi gagu. Sudah gitu banyak gaya, pakai mau kawin lagi segala.
"Kenapa kau Fie? Jadi bisu kah?" bang Rifat bertanya yang menambah panik mas Afie. Keringat mulai meluncur di dahinya.