BAB 10
Mas Afie masih terdiam di tempat duduknya. Menghadapi orang tuaku saja ia sudah panas dingin, ditambah bang Rifat. Makin tak berkutik dia. Badan bang Rifat yang tinggi tegap juga suaranya yang tegas mewarisi ketegasan ayahku membuat siapa saja yang berhadapan dengannya menjadi segan.
Berbanding terbalik dengan mas Afie yang sedang panas dingin menghadapi keluargaku. Sedang gadis itu tampak selalu tersenyum manis memandang abangku ini. Terpesona ia nampaknya pada abangku ini.
"Kalau tak ada yang mau kau sampaikan, kau pulang sajalah Fie, Aline akan menginap disini" bang Rifat berujar setelah sekian lama mas Afie hanya diam menunduk, mungkin ia juga risih dengan pandangan calon istri mas Afie. Yang sekarang disertai kedipan mata. Kelilipan mungkin.
"Saya mau minta izin bang" jawabnya cepat.
"Izin apa?"
"Saya akan menikah dengan Denis" lanjut mas Afie.
"Oh...begitu kiranya. Baiklah kami izinkan, walau kau tak perlu izin kamu untuk menikah lagi, semoga langgeng rumah tangga kau nanti" bang Rifat yang menjawab.
Ayah dan ibu sudah nampak lebih tenang, tak seperti saat pertama aku memberi kabar ini. Untung saja aku sudah memberi tahu mereka terlebih dahulu. Jadi mereka telah siap lahir batin saat mendengar langsung dari mas Afie. Tampaknya ayah juga sudah menunjuk bang Rifat sebagai juru bicara, sehingga beliau lebih banyak diam.
"Iya bang, terima kasih"
"Tapi kau tak lupa kan saat awal kau hendak melamar Aline, kau masih ingat kan apa yang aku ucap waktu itu" bang Rifat berkata sambil menatap tajam mas Afie.
"Saya...saya ingat bang" jawab mas Afie walau aku tau ia pasti telah lupa dengan semua sumpah dan janjinya dulu.
"Bagus kalau begitu, urusan selanjutnya biar pengacara kami yang urus"
"Mak...maksud Abang?"
Tuh kan sudah aku duga, ia pasti lupa, tidak akan sampai otaknya memikirkan itu. Hanya memikirkan senang dunia saja.
"Urusan perceraian kalianlah, aku tak mau Aline repot-repot mengurus itu, biar pengacara saja"
"Kami tidak akan bercerai bang" keras suara mas Afie kudengar.
"Tak perlu kau berteriak. Dan aku tak rela adekku dipermainkan, apalagi oleh kau"
"Saya tidak mempermainkan Aline bang, Aline juga sudah setuju"
"Aku tak perduli dia setuju atau tidak, yang pasti jelas diawal kau melamar dulu aku katakan, kau sakiti adekku, ku bawa ia pulang kembali ke istananya. Tak perlu ia tinggal di rumah busuk kau itu. Perlu kau tahu, laki-laki itu yang dipegang omongannya" kata-kata bang Rifat kembali membuatnya terdiam, dan kembali ia memandangku seakan memohon agar aku memberi penjelasan.
Mungkin selama ini aku memang buta, bagaimana bisa aku memiliki suami tak berguna seperti ini. Untuk bicara pun harus dibantu istrinya.
Aku menghela nafas sejenak.
"Pulanglah mas, masalah disini biar aku selesaikan. Aku akan menginap disini malam ini" ujarku kemudian. Aku malas memperpanjang masalah ini, walau aku tau bang Rifat masih ingin mengomel lagi. Namun waktu telah semakin malam, akupun sudah cukup lelah.
"Tapi dek..." ia mencoba protes.
"Mereka mengizinkanmu menikah lagi mas, itu kan yang kamu mau, atau kamu mau pernikahanmu batal?" aku mendesaknya.
Kembali ia terdiam kemudian mengusap wajahnya kasar.
"Baiklah dek, demi kamu mas akan pulang malam ini" kemudian ia berdiri bersalaman dengan orang tuaku. Saat akan menyalami abangku ia menepisnya.
"Kau ingat ya Fie, mulai dari sekarang kita tidak ada hubungan lagi. Adekku masih bertahan sama kau karena ia kasihan. Tak lama ia akan buang kau" aku mencubit pinggang abangku, isyarat agar ia diam.
Mas Afie pun keluar. Di depan pintu gadisnya berhenti dan berkata bahwa ia ingin bicara sebentar denganku. Aku terkejut. Mau apa lagi l*cur ini.
"Mbak aku mau bicara sebentar saja" pintanya sambil menggenggam kedua tanganku. Aku mengikutinya berjalan kesamping rumah, sedang mas Afie menuju mobilnya.
"Langsung aja" aku berkata ketus.
"Mbak, aku kau kembaliin mas Afie ke mbak, aku gak akan menikah sama dia, asal mbak janji satu hal sama aku" ia mulai mengutarakan maksudnya. Aku terdiam. Kenapa dengan gadis ini. Kesambet apa sehingga ia merubah pikirannya.
"Janji apa?" tanyaku kemudian.
"Mbak mau bantu aku mendekati mas Rifat" katanya membuatku terbatuk-batuk.
"Kamu gila? Punya otak? Atau sudah kau gadai di warung Padang?" sengaja ku keraskan suaraku, walau aku sudah tahu ia mulai menyukai abangku.
"Nggak mbak, aku sadar selama ini aku salah sudah merusak rumah tangga mbak, aku mau berubah mbak, aku kembalikan suami mbak. Aku gak mau lebih berdosa mbak" ucapnya lagi. Ada setetes air mata kulihat disudut matanya.
Kalau disini ada sutradara dia pasti langsung lolos audisi jadi pemeran utama. Dia menyesal? Dasar pembohong, ia hanya menyadari bahwa calon suaminya tidak ada apa-apanya dibandingkan kakakku.
Sungguh malang mas Afie, sekarang saja gadis ini mau membuangnya demi abangku, bukan hal mustahil hal yang sama ia lakukan dimasa depan saat ia menemukan laki-laki lain yang lebih baik.
"Kamu gak usah mimpi ketinggian, abangku gak minat sama barang bekas" ucapku yang sukses membuat matanya melotot dan matanya memerah seakan tak terima dengan kata-kataku.
"Sudah jangan ngamuk disini, calon suamimu sudah kelamaan nunggu kamu, jangan sampai ia malah memutuskan untuk ikut menginap disini, bisa-bisa kamu ikut tidur di kamar pembantu" memang sedari tadi aku lihat mas Afie sudah nampak tak tenang, berkali-kali melongokkan kepala ke arah kami.
"Tapi mbak..."
"Abang saya bukan kolektor barang bekas, memegangnya saja ia ogah" ucapku sambil berlalu meninggalkannya dan bergegas mengunci pintu rumahku.
***
"Cie yang ngobrol sama calon madu" suara bang Rifat mengagetkanku saat aku berbalik setelah mengunci pintu. Entah ia jelmaan setan atau jin sehingga bisa tiba-tiba muncul dibelakangku.
Aku hanya melengos melewatinya. Sudah cukup lelah malam ini, malas jika harus menanggapi guyonannya.
"Kenapa? Dia minta resep melayani Afie?" ia masih memburuku.
"Kalo soal itu jelas ia lebih ahli, buktinya suamiku terjerat olehnya"
"Jadi apa dia mau dari kau?"
"Dia mau pdkt ke Abang" jawabku.
Ia melongo.
"kamu jawab apa? Jangan sampe kamu iyain. Jangan-jangan dia mau batalin nikah ma Afie, jangan sampe kamu punya ipar mantan calon istri suamimu dek"
"Abang dukun ya bisa tau" aku menjawab sambil tertawa.
Ia memonyongkan bibirnya.
"Terus kamu jawab apa?" ia mengulang pertanyaannya.
"Aku bilang Abang gak minat sama barang bekas" jawabku disambut tawanya yang menggetarkan rumah.
"Bagus dek"
Aku hanya tersenyum sambil berlalu ke kamarku. Bersiap beristirahat karena malam juga telah semakin larut.