BAB 8
Hari ini mas Afie berencana mengenalkan calon istrinya kepada mamah dan papah. Sebenarnya aku enggan untuk ikut ke sana. Tapi aku juga penasaran apa yang akan terjadi, sehingga aku tak menolak ketika mas Afie mengajakku ikut serta, mungkin ia juga berharap aku membantunya menjelaskan kepada keluarga besarnya. Bermimpi saja kamu mas, aku hanya akan diam dan tersenyum manis disana. Sempat aku berpikir apakah aku akan berpura-pura menangis dihadapan mama sebagai wujud sakit hatiku, namun aku urungkan. Aku tak mau terlihat seperti aku masih mengharapkan ia disisiku. Tempat sampah lebih baik menjadi tempatmu mas.
"Jangan coba-coba bawa selingkuhanmu ke sini mas" ucapku padanya saat ia mengatakan akan menjemput gadis itu terlebih dahulu, kemudian ia menjemput aku. Sejengkal tanah pun tak ku izinkan ia menginjakkan kakinya di rumah ini. Ia pun hanya diam.
Akhirnya ia memutuskan kami bersama-sama menjemput gadis itu. Aku memilih duduk di kursi belakang. Biarlah kursi depan kuserahkan kepada gadis itu. Mas Afie pun tak protes. Mungkin memang itu yang ia harapkan.
Mobil melintasi jalanan kecil, menuju sebuah rumah, seperti kos-kosan, memiliki beberapa pintu. Juga tidak telalu luas. Mas Afie bergegas turun dan menuju ke salah satu pintu, mengetuknya dan tak lama keluarlah gadis itu. Dengan pakaian yang cukup minim. Apa mas Afie tidak memberi tahu dia bahwa kami malam ini akan menemui orang tuanya. Mengapa ia malah memakai baju kurang bahan. Mamah pasti murka melihatnya.
Mereka segera kembali ke mobil, ia nampak kaget melihat aku yang telah duduk dibelakang.
"Mbak..." sapanya, hanya kujawab dengan anggukan saja.
Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah mamah. Sepanjang jalan kami hanya saling diam sampai tiba di rumah mamah.
Agak lama mobil terparkir namun baik mas Afie ataupun gadisnya tidak juga turun.
"Kenapa mas, kok gak turun?" tanyaku.
"mmm...anu dek" ia tampak ragu.
"Lapar?"
Ia menggeleng.
"Haus?"
Kembali ia menggeleng.
"Mas takut?" tanyaku lebih lanjut. Entah ia gugup atau takut, tapi aku yakin ia sedang tak nyaman saat ini.
Ia hanya diam tanpa menjawab pertanyaanku.
Aku memutuskan untuk turun lebih dulu dan segera masuk ke dalam setelah mengucap salam. Mereka masih diam didalam mobil. Entah membicarakan apa, akupun tak ingin tahu.
Kulihat mama dan papah sedang duduk santai di ruang tamu.
"Line..." ucap mamah sambil bersiap memelukku.
"Mah, pah apa kabar?" tanyaku sambil mencium punggung tangan mereka.
"Baik Line, kita baik kok" ucap mamah sambil menuntunku untuk duduk.
"Sendiri mbak?" Tanya Beth yang saat itu juga ada disana.
"Sama mas Afie, masih diluar dia" jawabku.
"Tumben di rumah Beth, biasanya kalau mbak ke sini kamu kan..." aku menggodanya.
"Mamah ngomel mbak, perawan kok ngeluyur terus katanya"
Aku tertawa mendengarnya.
Saat kami sedang asyik mengobrol mas Afie datang. Si gadis mengaitkan tangannya di tangan mas Afie. Sontak kami terdiam dan kulihat mata Beth menatapku meminta penjelasan. Dan aku hanya tersenyum.
"Siapa ini Fie" tanya papah dengan suara berat.
Suasan hening, semua menatap mas Afie menanti jawabannya. Cepat jawab saja mas, kenapa malah diam, batinku berucap.
"Line, siapa gadis ini?" mamah mencoba mencari jawaban dariku karena mas Afie masih terdiam.
"Line gak berhak menjawab mah, kalau mas Afie tak mau menjawab coba tanya ke wanita itu mah" jawabku sambil tersenyum ke mamah.
Hari ini aku benar-benar banyak tersenyum, sedang mas Afie kulihat wajahnya mulai memucat.
"Siapa kamu" tanya mamah kemudian.
"Saya... nama saya Denisa mah"
"Jangan panggil saya mamah, dan saya tidak tanya nama kamu, yang saya tanya kamu siapa" ucap mamah kemudian.
Jangan marah-marah mah, calon mantu mamah jadi takut tuh batinku kembali berucap.
"saya...saya calon istri mas Denis" ucap gadis itu akhirnya.
"APA" teriakan kompak dari mamah dan papah mengagetkanku. Sedangkan Beth berpindah duduknya ke sebelahku sambil mengusap pundakku. Aku kembali tersenyum kepadanya, tidak apa Beth mbak baik-baik saja ucap hatiku, walau aku tahu ia tak akan mendengar, namun aku yakin saat ia melihat senyumku ia mengerti itu.
"Kamu jangan mengada-ada, Afie sudah punya istri dan tak ada istri lain selain Aline" ucap papah akhirnya.
"Saya tidak mengada-ada pah, mas Afie coba katakan ke papah jangan diam saja" gadis itu mulai merengek. Belum resmi sebagai istri saja sudah berani memanggil mamah dan papah, sabarlah sedikit, kamu hanya membuat mamah dan papah semakin tak suka kepadamu Denis, hatiku kembali berkata. Ya aku lebih banyak diam,tapi hatiku tak henti bicara.
"Afie"papah menatap tajam ke mas Afie.
"Be...benar pah" ucapnya akhirnya sekian lama ia diam.
Kali ini gantian mamah dan papah yang diam.
"Tidak Fie, mamah tidak setuju, tidak akan pernah, apa kamu gila Fie" mamah meradang.
Kembali mas Afie diam, namun kali ini ia memandangku seolah meminta bantuanku untuk memberi penjelasan, segera aku membuang muka, masalahmu kau selesaikan sendiri saja mas.
Kembali ruangan hening, Beth masih memberi kekuatan kepadaku dengan menggenggam tanganku.
"Apa masalah kalian sebenarnya sehingga kamu ingin menikah lagi Fie" tanya papah memecah kkeheningan. "Kalian sudah bercerai?".
Mas Afie masih terdiam, berbicara kepada keluargamu saja kamu tak ada nyali mas, sok-sokan mau poligami.
"Line?" mamah mencari jawaban dariku.
Aku menatap mamah sejenak, kemudian menarik nafas.
"Mas Afie ingin memiliki keturunan mah, dan ia ingin secepatnya. Sedangkan sampai saat ini Line belum bisa memberikan" jawabku.
"Ya ampun Afie... mamah kan sering bilang, kalian bersabar, kalau sampai sekarang kalian belum dikaruniai anak, berarti Tuhan masih ingin lihat kalian berusaha dan berdoa. Kalau kamu mau secepatnya kan kamu bisa mengangkat anak" mamah memulai omelan panjangnya.
"Sejak kapan Afie begini Line" kembali mamah bertanya kepadaku.
"Kalau begini yang mamah maksud keinginan mas Afie untuk menikah, itu sekitar sebulan yang lalu mah, tapi mereka sudah saling mengenal selama 4 bulan" aku menjelaskan.
Mamah nampak terkejut "Sudah selama itu dan kamu tidak pernah cerita apa-apa ke mamah Line? Kamu sudah anggap mamah gak ada? Atau kamu sudah tidak anggap mamah sebagai mamah kamu lagi?" kemarahan mamah kini ia luapkan kepadaku. Aku mengerti sebenarnya mamah bukan benar-benar marah kepadaku, ia hanya kecewa dengan rumah tangga kami yang sedang berada di ujung tanduk, padahal selama ini ia melihat kami baik-baik saja.
"Bukan begitu mah, justru karena Line sayang sama mamah Line tidak mau bercerita ke mamah, Line hanya tidak mau menambah beban pikiran mamah. Line mencoba agar mas Afie untuk berubah pikiran mah, tapi Line gagal. Maafin Line mah. Sekarang Line hanya berharap mas Afie dapat segera menceritakan masalah ini kepada kalian" aku mencoba menjelaskan.
"Jadi kamu setuju Afie menikah lagi?" papah bertanya.
"Tak ada istri yang siap dan bersedia dimadu pah, kecuali jika ia memang seseorang yang berhati besar. Tapi maaf pah, Line bukanlah orang itu" aku mengalihkan pandangan ke papah.
"Mamah tidak setuju, sampai kapanpun mamah tidak setuju wanita itu menggantikan Line" mamah mulai menangis, Beth beranjak meninggalkanku, berusaha menenangkan mamah.
"Tidak ada yang mengganti Line mah, dia tetap istriku" mas Afie akhirnya berbicara.
"Kamu tuli Fie, Line sudah bilang ia tak mau dimadu, tapi kamu tetap mau menikahi wanita ini, wanita yang kami tidak tahu asal usulnya. Tiba-tiba kamu bawa ke sini untuk kamu nikahi, kamu waras?" papah mulai geram.
"Line sudah setuju pah, dia sudah ikhlas" mas Afie kembali menjawab.
Kali ini papah dan mamah memandangku.
"Line masih bisa menjadi mantu kalian sebentar lagi mah,pah" jawabku.
"Dek, gak gitu kan, kamu sudah setuju mas menikah lagi. Dan kamu tidak akan mas cerai" mas Afie terlihat gusar.
"Kamu pastikan saja kamu menepati janjimu mas" aku menjawab sambil menatapnya tajam.
"Mamah tetap tidak setuju, ingat Fie, kalau Line bukan mantu mamah lagi jangan harap mamah masih menganggap kamu anak dan mamah tidak akan menghadiri pernikahan kalian" putus mamah sambil melangkah menuju kamarnya tak menghiraukan anaknya yang berkali-kali memanggil namanya.
Papah hanya diam sambil menghela nafas.
"Kamu sudah dengar kata mamahmu, dan papah mendukung mamih, kami tetap pada keputusan kami. Kalau kamu mau tetap menikah dengan dia. Silahkan saja. Karena pernikahan kalian tidak memerlukan kehadiran kami. Keputusan ada di tanganmu Fie" ucap papah sambil berlalu menyusul istrinya.
Tinggal kami berempat diruangan ini saling membisu, aku lihat gadis itu merasa gelisah, mungkin tak menyangka kehadirannya akan ditolak dikeluarga ini.
"Mbak gak usah pulang tidur sini aja" ucap Beth.
Aku tersenyum memandangnya.
"Mbak pulang aja Beth masih ada ojek online kok jam segini" ucapku sambil mengelus rambutnya.
"Beth antar aja" ia berkata sambil hendak berdiri.
"Eh...gak usah, mbak naik ojek aja, emang kamu mau tidur di rumah mbak? Gak mungkin kan kamu balik ke rumah sendirian, udah malam banget pasti" aku berusaha membujuknya.
Ia nampak berpikir.
"Ayo dek kita pulang" Mas Afie berkata.
"Kamu antar saja dia mas, aku sudah capek, kejauhan kalau harus nemeni kamu nganter dia dulu" jawabku.
"Tapi dek..."
"Kamu gak pulang gak papa kok mas, Beth mbak pulang dulu ya, jagain mamah sama papah ya, mbak minta maaf sudah bikin ribut disini" aku berpamitan pada Beth.
Ia hanya mengangguk "Bukan salah mbak, memang banyak orang gak tau diri di dunia ini" jawabnya cepat.
Akupun bergegas ke pintu depan karena tadi angkutan online yang kupesan telah menunggu. Juga ingin segera pergi dari sana sebelum mas Afie kembali memaksa mengantar.