Sinar mentari mulai meredup, berganti mendung pekat yang membayangi bumi. Aku duduk di tepi ranjang sambil memandangi suamiku, seperti biasa hanya ponsel yang menjadi perhatiannya. Ingin rasanya ku banting benda itu, seolah benda itu lebih penting daripada bercengkrama dengan istrinya.
"Mas" panggilku.
"Mmm..." jawabnya persis suara sapi yang melenguh. Bahkan di telingaku suara sapi terdengar lebih merdu.
"Lihat orang yang diajak bicara mas, memang mas lagi bicara sama handphone?" aku protes.
"Iya apa, kan mas tetep dengerin kamu lho" jawabnya. Sungguh menyebalkan.
"Mas kapan mau ajak aku ketemu calon istri mas itu?" aku lanjutkan pertanyaanku, yang mampu mengalihkan pandangannya dari ponsel sialan itu.
"Kamu sudah setuju dek?" matanya berbinar memandangku.
"Aku gak bilang aku setuju mas,aku tanya kapan"
"Ya kalau kamu gak setuju kenapa mau ketemu"
"aku mau lihat wanita mana yang bisa bikin kamu klepek-klepek sampai melupakan adanya aku disampingmu" ucapku tanpa basa-basi.
Jujur aku sudah muak dengannya. Pun aku telah bosan dengan rumah tangga ini, yang rasanya aku bertahanpun tak ada guna, suamiku telah memutuskan akan menikahi wanita itu, tak kan berguna penolakanku.
"Gak gitulah dek, mas masih mas yang dulu kok" dia bicara lagi, kali ini matanya kembali memandang ponselnya
Perset*n dengan semua kata-katamu mas. Aku yang merasakan, aku tau kamu berubah.
"Tak bisakah mas batalkan rencana mas itu mas" walau aku sudah tau jawabannya aku tetap kemukakan pertanyaan itu. Walau sedikit aku masih menaruh harap.
"Dek, mas sudah jelasin ke adek, ini demi kebaikan kita bersama dek, demi rumah tangga kita juga. Kalau nanti mas punya anak dari pernikahan mas, adek juga yang senang kan. Mamah juga pasti bahagia dek"
Benar kan. Kembali mamah ia jadikan alasan. Padahal jelas-jelas saat itu mamah masih mendukungku. Entah ia atau mamah yang bermuka dua.
"Kamu yakin kamu mampu mas?"
"Mas yakin dek, yakin banget"
"itu gak mudah mas, aku sudah pernah bilang kan"
"Mas juga pernah bilang kan dek, kita belum jalani itu, gimana kita tau itu gak mudah?"
Dasar batu kamu mas. Jangan sampai kamu sesali keputusan kamu mas.
"Kamu gak takut nanti menyesal mas, kalau dimasa depan semua gak sesuai harapanmu?"
"Mas yakin dek, nantinya kita pasti bahagia. Kamu, mas juga istri mas yang lain"
Luluh sudah pertahananku. Sekarang aku siap melepas mu mas.
"Jadi kapan mas kamu mau kenalin dia?"
"Nanti mas tanyakan ke dia ya, kapan dia bisa bertemu" ucapnya.
Akupun hanya diam dan menarik selimutku bersiap untuk tidur, daripada meneruskan omongan dengan mas Afie, dia telah mantap dengan pilihannya.
***
Pagi ini aku bersiap pergi ke toko, mas Afie telah lebih dulu berangakat, tanpa sarapan tentunya. Salah satu perubahan dari sekian banyak perubahan dalam dirinya. Aku masa bodoh saja, jatuh cinta memang bisa membuat orang berubah kan. Dan nasihat dari sekitar, tentu saja dianggap angin lalu. Lebih baik kita bicara dengan batu. Ia akan diam dan mendengarkan.
Toko sudah ramai sedari pagi, memang harga di tokoku sedikit lebih murah daripada harga di toko lain. Aku rutin melakukan survei ke toko-toko sejenis untuk mencari perbandingan harga. Untung sedikit tapi perputaran barang bisa cepat.
"Bengong aje kaya sapi ompong" celoteh Silla menyadarkanku dari lamunan.
"He he"
"He he apaan?"
"Kaga papa, rese loe ah" ucapku seraya mengusirnya dari mejaku.
Terdengar nada dering dari hpku, beberapa pesan dari mamah.
[Line, lagi sibuk ya, maaf ya mamah ganggu]
[Mamah mau tanya Line, tapi jangan tersinggung ya]
[Line sudah hamil?]
Hamil? Gosip apalagi ini.
[Belum kok mah, baru aja Line selesai dapet tamu bulanan. Kenapa mah?] jawabku sambil menunggu balasan dari mamah karena kulihat statusnya masih online
[Gitu ya...]
[Gak papa Line, tadi Afie ke rumah, mukanya ceria banget. Makanya mamah pikir kamu hamil Line, maafin mamah ya]
Mas Afie lagi senang? Oh, mungkin karena ia fikir aku setuju ia madu. Pantas ia berbahagia.
[Mamah dah tanya ke mas Afie?]
[Udah...udah, mamah udah tanya, dia cuma bilang baru dapat kabar bahagia]
[Nanti Line tanya ke mas Afie ya mah, siapa tau gaji mas Afie naik he he]
[Wah bener juga ya mamah cuma mikir kamu hamil aja Line]
[Nanti kalau Line hamil, mamah yang pertama kali Line kasih tau ya]
[Makasih ya sayang] chat terakhir mamah di sertai emote kiss.
Mataku menerawang. Berbahagialah mas, nikmati kebahagiaanmu.
"Jangan biasain ngelamun Line, ayam tetangga gw kemaren seharian bengong besoknya mati" celoteh Silla buatku tersadar. Gak sopan banget dia nyumpahin aku mati.
"Loe nyumpahin gw?" aku melotot padanya
"Gw cerita, lagian seharian bengong aja kerjaan" lanjutnya sambil memberi laporan penjualan padaku.
"Napa? Masih masalah laki loe?"
Aku hanya mengangguk lesu.
"Jadi kawin lagi?"
Kembali aku mengangguk.
"Trus loe mau dimadu?"
Kali ini aku diam, wanita mana yang mau dimadu. Wanita mana yang rela. Saat kita telah memutuskan setia, dan berkorban untuk suami kita, pembalasannya hanyalah ketidaksetiaan.
"Loe masih cinta laki loe?" Silla masih gencar bertanya.
Cinta? Apa itu masih ada? Entahlah. Melihat semua perubahan mas Alfie, rasanya tak ingin melanjutkan rumah tangga ini. Untuk menyudahinya pun aku masih ragu. Bukan karena aku masih mencintai mas Afie. Sejak ia mengutarakan niatnya sejak itu pula hatiku telah beku. Namun banyak alasan lain yang membuatku ragu. Dan aku masih penasaran, wanita seperti apa yang telah membuat mas Afie berubah.
"Ah... susah memang ngomong sama patung selamat datang" ucap Silla sambil berlalu keluar ruangan. Ia kesal karena aku hanya diam menanggapi pertanyaannya.