BAB 5
Setelah kira-kira 30 menit menempuh perjalanan, tibalah aku di lokasi tujuan. Sebuah rumah makan khas Yogya dengan bangunan pendopo. Letaknya agak jauh dari jalan besar, namun lingkungannya sangat asri. Aku masuk dan mencari tempat yang agak menjorok ke dalam. Setelah memesan makanan aku segera mengabari mas Afie, mengatakan bahwa aku telah tiba di tempat yang ia maksud.
Bertepatan dengan datangnya pesananku, mas Afie datang, bersama dengan seorang gadis. Sungguh tega kamu mas, daripada menjemput istrimu kamu lebih memilih datang dengan gadis itu. Hatiku bergemuruh, ingin rasanya aku banting makanan yang telah terhidang dihadapanku dan membalik meja makannya sekalian. Apalah daya aku lebih memilih sabar. Daripada nanti ada yang mengambil vidio lalu jadi viral dengan judul "wanita ngamuk di meja makan". Tidak tidak untuk saat ini sabar lebih baik. Kuyakinkan diri bertambah satu alasan untuk memudarkan cintaku padamu mas.
"Duduk" aku persilahkan mereka untuk duduk. Si gadis memilih duduk dihadapanku, sedang mas Afie, tentu saja disamping gadis pujaannya. Setelah itu mereka sibuk memilih makanan. Aku perhatikan gadis itu, gadis yang aku perkirakan berumur 20 tahunan. Cantik, tentu saja ia cantik, jika tidak apa mungkin suamiku akan tergoda ditambah dengan bajunya yang mini. Aku tidak menyalahkan seorang wanita berpakaian mini, siapa tau ia lebih merasa PD dengan pakaian itu. Asal keminian itu tidak dimaksudkan untuk menggoda suami orang.
Saat ini aku duduk disini sambil memandang sepasang kekasih yang sedang mesra-mesranya bercengkrama, seakan dunia milik mereka berdua. Tak ada rasa kaku atau malu kulihat dari keduanya, seakan kehadiranku bukanlah masalah bagi mereka.
Sekian lama berumahtangga baru sekarang aku melihat wujud asli mas Afie. Lelaki yang selama ini aku liat cukup sempurna dan hanya mencintaiku, kini hanyalah lelaki mesum tak tau diri.
Atau mungkin harusnya aku bersyukur, Tuhan menunjukkan siapa mas Afie sebenarnya.
"Tumben kamu tau tempat makan gini mas" aku bertanya, karena setau aku, mas Afie lebih suka masakan seafood atau wertern food, apalagi khas masakan Yogya itu manis, ia kurang suka. Bukan berarti tidak suka.
"Oh, ini tempat favorit Denis dek, setiap kita makan keluar, Denis selalu ngajak ke sini, makanya mas juga jadi suka" jawabnya santai.
Aku terdiam. Berarti selama ini mereka telah sering keluar bersama. Dan selera mas Afie pun telah berubah. Sebenarnya sejak kapan kamu telah berkhianat mas, tidak mungkin baru-baru ini.
"Jadi kamu calon istri suami saya?" aku mulai bertanya saat mereka telah selesai memesan makanan.
"I...iya mbak" jawab gadis itu gugup, sudah tidak sesantai saat ia sedang bermesraan dengan suamiku.
"Sudah lama kalian kenal?"
"Belum dek...mas baru-baru ini kenal sama dia" cepat mas Afie menjawab.
"Aku gak minta jawaban kamu mas, aku nanya ke dia"
"Sudah lama?" tanyaku lagi sambil memandang gadis itu.
"Sudah hampir 4 bulan mbak" ia menjawab dengan suara bergetar.
4 bulan, aku benar-benar kecolongan. Dan kamu bilang belum lama mas. Jangan mencoba menutupi bangkai mu mas.
"Kenal dimana?"
"Waktu itu ada acara kantor dek" lagi mas Afie menjawab.
"Dimana" kuulang pertanyaanku dan tetap memandang gadis itu, mengacuhkan jawaban suamiku.
"Diacara kantor mbak" jawabnya.
"Kamu kerja dikantor mas Afie juga?" aku bertanya lagi, jika ia rekan kerja mas Afie dikantor aku bisa mengetahui tentang dia dari Fifi, kawanku yang juga bekerja disana.
"Ndak dek,Dia..."
"Mas, apa dia gak punya mulut atau pikiran untuk menjawab pertanyaanku, kenapa selalu kamu yang menjawab, kamu juru bicara dia?" aku mulai jengkel dengan mas Afie. Ia selalu mendahului menjawab seolah-olah takut gadis ini salah menjawab pertanyaanku. Lagian ini bukan ujian sekolah, kenapa harus takut?.
"Sa...saya kerja ditempat lain mbak, mmm...waktu itu ada pertemuan beberapa perusahaan ekspedisi, kami bertemu disana"
"Kenapa kamu mau di kawini sama suami saya?"
"Saya... Kami sama-sama saling mencintai mbak" jawabnya singkat.
Cinta, atas nama cinta kalian menyakiti aku. Dulupun itu yang dikatakan mas Afie, bahwa ia mencintaiku dan tidak akan meninggalkan ku. Memang ia tidak meninggalkan aku, tapi mencari madu untukku. Yang mana itu lebih menyakiti hatiku.
"Kamu tau kalo laki-laki ini punya istri?"
"saya gak tau mbak, baru beberapa hari lalu saya tau"
"Dan kamu tetap akan menikah dengan dia"?
"Dek..." ucap mas Afie seraya memegang tanganku. Mencoba menenangkan ku. Tapi tak berguna, segera kutepis tangan itu.
"Mas aku tanya ke selingkuhanmu, kal.."
"Denis bukan selingkuhan mas dek" ia memotong ucapanku.
"Jadi apa mas? Pacar? Kekasih? Peliharaan? Simpanan? Sebutan mana yang kamu mau aku pakai buat dia?" walau tajam aku tetap tenang. Karena tak ada gunanya aku marah dan membuat keributan disini. Walau aku belum menunjukkan kemarahan pun beberapa orang ad yang melihat ke arah kami. Mungkin aku perlu menurunkan sedikit volume suaraku, nanti ada lagi vidio viral istri melabrak pelakor di warung makan Yogya. Jangan sampai itu terjadi masih ada keluarga yang harus aku jaga kehormatannya. Keluargaku juga keluarga mas Afie, walau bagaimanapun keluarga mas Afie sangat baik kepadaku, aku tak ingin masalah ini membuat mereka malu.
"Denis calon istri mas dek"
"Calon istri yang sudah kamu pacari diam-diam kan mas. Gundik gitu?" kulihat wajah mas Afie memerah, pun wajah gadis itu. Entah malu atau marah.
"Sudah sampai mana hubungan kalian mas? Pacaran? Pelukan? Tidur bareng?" masih kulanjutkan pertanyaan ku.
"Dek tolong lebih jaga sopan santunmu saat berbicara" ia mulai meninggikan nada suara. Tapi aku tidak perduli. Lagipula kenapa aku harus perduli?
"Jangan ajari aku sopan santun mas, cobalah kamu berkaca apakah kamu sudah cukup sopan terhadap aku, istrimu" aku menggeram padanya. Enak saja mengajari aku sopan santun. Sendirinya tidak ada sopannya kepadaku.
"Dimana mas gak sopan sama kamu dek, mas selalu menjaga kamu. Mas gak pernah menyakiti kamu"
Serasa mau muntah aku mendengar kata-katanya. Jadi dia sampai sekarang tidak merasa aku sakit oleh sikapnya dan kata-katanya.
"Percuma menunjukkan gambar pada orang buta. Kamu kira kamu bermesraan dengan gundikmu di depan mata istrimu itu sopan hah? Kau anggap aku tak ada? Kau kira aku sudah mati? Kau kira perselingkuhanmu itu hal wajar? Aku mencercanya yang mampu membuat ia terdiam.
"Dek, kenapa kamu jadi begini sih, adek yang mas kenal selalu lemah lembut ke siapa saja" ia membujukku kembali setelah lama diam, sambil berusaha menyentuh tanganku walau tetap ku tepis.
"Aku lembut juga gak ke semua orang, untuk pengkhianat dan perebut milik orang aku tidak akan berlemah lembut"
"Kamu sudah berubah dek" ucap mas Afie, matanya menerawang.
"Sudah aku bilang mas, kamu berkacalah. Supaya jelas siapa yang berubah diantara kita. Sudah tak bersisa kah duitmu untuk menafkahi gundikmu, jadi untuk beli kacapun kau tak mampu?"
Segera aku bangkit, menuju ke mobilku. Dan meninggalkan tempat itu. Waktu telah beranjak sore, menampilkan kilau senja yang memanjakan mata. Begitu indah, tapi tidak dengan hatiku.