BAB 7
Mas Afie sedang duduk di meja makan saat aku berniat untuk menikmati sarapan pagi ku. Sudah jam 9 lewat dan ia masih santai di meja makan? Dan ia masih memakai pakaian tidurnya. Entah tidur dimana ia semalam, aku tak mau tau.
"Gak kerja mas?" Tanyaku sambil mengoles selai ke rotiku. Sekedar basa-basi tak perlu yang entah mengapa tetap kulakukan.
Hening tak bersuara. Rupanya ia berniat mogok bicara denganku.
"Mau kopi mas?" Kembali aku mencoba mengajaknya bicara. Walau untukku lebih menyenangkan bila ia diam. Masih aku mencoba mengajaknya bicara. Dan memang benar, ia hanya diam. Aku menghela nafas. Jangan menyerah Aline.
"Kalo istri nanya dijawab dong mas, mas bukan patung kan" aku masih terus mencoba. Dan masih hening.
Rupanya kokoh juga pertahanannya untuk mendiamkanku. Akhirnya aku memilih kembali ke kamar. Daripada meladeni patung manusia ini.
[Sil hari ini gw gak ke toko, laki gw kaga ngantor] kukirimkan pesan ke Silla.
[Ok] jawabnya singkat.
Aku memilih tidak ke toko daripada mas Afie mengomeliku lagi, sudah cukup aku tidak bisa memberi keturunan yang menjadi alasan ia menduakanku, tak perlu menambah alasan karena aku istri durhaka yang selalu ngeluyur saat suami tidak di rumah.
Aku menuju lemari pakaianku dan mengambil berkas dari tumpukan bajuku. Kemudian menyusul mas Alfie ke meja makan.
"Mas" panggilku dan masih di jawab dengan kebisuannya. Namun aku yakin kata-kataku selanjutnya akan membuat ia bicara.
"Mas, aku setuju kalau mas tetap mau menikah lagi" ucapku kemudian. Awalnya aku memang tidak pernah mau ia menikah lagi, namun semakin lama aku menyadari bahwa ia bukanlah sosok yang dulu aku cinta dan mencintai aku. Perlahan namun pasti rasa itu telah pupus dari hatiku. Aku akan merelakannya. Dan menahan rasa sakitku sendiri.
Ia memandangku dengan mata berbinar, tembok pertahanannya runtuh seketika. "Beneran dek?" ia mengucap seakan tak percaya, dan melupakan aksi mogok bicaranya kepadaku.
Aku hanya mengangguk. Membiarkan ia bahagia. Nikmatilah mas.
"Makasih ya dek" katanya sambil menggenggam tanganku. Akupun segera menarik tanganku. Jangan pernah mencoba menyentuhku lagi mas ucap batinku. Ya, sejak saat ini aku tak sudi lagi ia sentuh. Biarlah ia mendapatkan sentuhan itu dari istri barunya.
"Ya mas, aku setuju mas menikah lagi asal mas juga setuju dengan syarat yang aku beri" lanjutku.
"Apa dek, apa syaratnya. Kamu mau apa dek? Mobil? Rumah? Perhiasan? Sebutin aja dek, pasti mas kasih" lanjutnya riang.
Aku menggelengkan kepalaku. Apa katanya? Rumah? Mobil? Semua materi yang ia sebutkan bahkan bisa aku beli sendiri. Tak perlu aku repot meminta darinya. Yang aku mau dari dia hanyalah kesetiaan dan itu jelas tak bisa ia beri.
"Aku mau mas tanda tangani ini" ucapku seraya menyodorkan berkas yang tadi aku bawa. Berkas itu adalah perjanjian yang berisi syarat-syarat yang aku ajukan bila ia bersikeras untuk menikah lagi. Aku telah meminta pengacara ayah untuk membuat perjanjian itu.
Gegas ia mengambil kertas-kertas itu dan mulai membaca dengan suara yang lirih namun masih bisa aku dengar.
Dengan ini saya Alfieansyah Jayantaka menyatakan, saya bersedia melakukan syarat-syarat dibawah ini :
1. Meminta izin dan memperkenalkan calon istri saya kepada keluarga saya dan keluarga istri saya.
2. Bersikap adil dengan memberikan materi yang sama kepada kedua istri saya.
3. Tidak memaksa dan tidak mencampuri segala urusan istri saya saat ini ( Aline Istari Adiwilaga).
4. Tidak menempatkan kedua istri pada tempat tinggal yang sama.
Itu inti dari pernjanjian yang aku buat untuk mas Afie.
Setelah mas Afie membaca ia pun terdiam, namun tak segera menandatangani perjanjian itu. Akupun hanya menatapnya, memberi ia waktu untuk berpikir. Karena aku telah mencantumkan pula dalam perjanjian itu, jika ia gagal melaksanakan salah satu pasal saja, maka aku berhak mengajukan perceraian.
"Kenapa seperti ini dek?" ia mulai bicara.
"Kamu mau menikah kan mas, tanpa bercerai denganku, maka tanda tangani saja perjanjian itu"ucapku.
"Tapi di sini juga ada tentang perceraian dek, mas gak mau itu"
"Hanya kalau mas mengingkari itu mas"
"Mas gak mau tanda tangan" ujarnya sambil melempar pena ke hadapanku. Membuatku semakin muak padanya.
"Gak apa kalau mas gak mau tanda tangan, jangan harap aku setuju kamu menikahi j*lang itu, kalau mas ngotot, aku bisa ambil langkah tegas" aku mulai mengancamnya.
"Mas cuma mau kita bahagia dek" lanjutnya.
"Tanda tangan saja mas, itu akan membuatmu bahagia" sahutku ketus seraya menyodorkan kembali pena ke hadapannya.
Dengan ragu ia mengambil pena itu, kemudian membubuhkan tanda tangannya diatas materai.
Akupun tersenyum, segera mengambil perjanjian itu dari tangannya. Harus kuselamatkan sebelum ia berubah pikiran.
"Mas butuh copynya? Siapa tahu nantinya mas curiga aku merubah pasal didalamnya" aku bertanya padanya yang dijawab gelengan kepalanya.
"Baiklah kalau gitu mas, aku tunggu mas memperkenalkan selingkuhan mas ke mamah dan ibu"
"Dek, kalo ke mamah aja gak apa kan?" ia mencoba menawar. Rupanya kau seorang pengecut mas.
"Ya gak apa-apa dong mas, itu kan hak mas, mau gak dikenalin terus kalian kawin siri juga gak apa, buatku gak masalah" kataku.
Mas Afie tersenyum "Makasih ya dek, ternyata kamu belum berubah, masih istri mas yang pengertian" ucapnya.
"Iya mas, gak apa. Besok kan masih hari Selasa, aku masih bisa ke pengadilan buat ajuin cerai" aku menjawab diiringi senyum dan berlalu dari hadapannya.
Silahkan kamu menganggap aku masih istrimu mas, sejak hari ini aku tak menganggap mu suamiku lagi.
***
Siangnya aku memutuskan pergi ke toko. Karena Silla memintaku untuk datang, ada tagihan dalam nominal cukup besar yang haru dibayar.
Tanpa memperdulikan mas Afie yang masih asyik dengan ponselnya aku pergi. Sempat ku dengar ia memanggil, mungkin menanyakan tujuanku namun ku acuhkan saja. Saat ini kamu bukan prioritasku lagi mas.
Sesampai di toko aku segera memberikan cek yang telah aku siapkan dari rumah tadi untuknya.
"Kok diizinin sama suami loe" Silla bertanya setelah ia meyerahkan cek kepada rekanan kami.
"Gw ngeloyor aja tadi, pamit juga kaga"
"Istri durhaka loe"
"Iya gw durhaka, gara-gara loe kan minta gw cepet kesini" aku menyalahkannya.
"Koh Aming tadi minta hari ini, dana di rekening biasa kan gak cukup" ia mencoba membela diri.
"Iya iya gw paham, gw bercanda aja tadi. Untung aja loe telepon, gw dah suntuk juga tadi dirumah" aku menyenangkannya.
Selanjutnya kami kembali disibukkan pekerjaan masing-masing. Aku mencoba melupakan masalahku, dengan mencari kesibukan lain, semoga saat pulang nanti mas Afie telah pergi.