BAB 2
Pukul 4 tepat aku telah tiba di rumah, biasanya mas Afie baru tiba dirumah menjelang magrib. Segera kubersihkan diri dan menuju dapur untuk menyiapkan makan malam. Kami memang tidak memakai jasa asisten rumah tangga. Semua pekerjaan rumah termasuk memasak aku kerjakan sendiri. Karena belum memiliki anak pekerjaan ini tidak terlalu melelahkan untukku. Lagipula mas Afie tidak mengizinkan aku untuk bekerja. Itulah mengapa usahaku membuka toko kulakukan diam-diam. Sedangkan rumah ini adalah rumah yang dibeli mas Afie satu tahun setelah kami menikah. Dan kepemilikannya atas namaku. Aku sempat protes saat itu, walaupun aku istrinya namun aku tidak memberikan sepeser pun untuk pembelian rumah ini. Namun ia tetap pada keputusannya. Rumah atas namaku, agar kelak apabila dikemudian hari kami berpisah, ia yang akan keluar dari rumah ini, terlepas dari siapapun yang bersalah. Itu ucapannya saat itu, saat semua masih indah. Dan aku rasa saat ini ia sedang menyesali keputusannya itu.
Setelah semua selesai kukerjakan aku beranjak menuju peraduanku.
Sinar matahari pagi membangunkanku dari tidru nyenyakku. Ku lihat disampingku mas Afie masih tertidur lelap. Aku tak tahu semalam ia pulang jam berapa. Aku memutuskan untuk tidur saat pukul 9 malam aku tak jua mendengar suara mobilnya.
Gegas aku mandi dan menyiapkan sarapan. Setelah itu aku bersiap untuk keluar. Saat menuju meja makan mas Afie telah duduk disana, sibuk dengan ponselnya.
"Kopi mas" tawarku.
"Ya dek" jawabnya singkat.
Aku segera membuatkannya kopi dan meletakkannya dihadapannya, dia? Masih sibuk dengan ponselnya. Sekarang lebih berharga ponsel itu daripada sekedar bercerita tentang hari-harinya dengan istrinya.
Akupun acuh, tak mencoba mengajaknya bicara. Sibuk mengoles selai pada roti bakar ku.
"Kamu mau kemana dek? Kok rapi bener" tanyanya akhirnya sambil ia menyesap kopinya.
"Mau ke rumah mamah"
"Ngapain?" tanyanya lagi. Aneh kan, istri mau ke rumah ibunya kok ditanya mau ngapain.
"Kangen mas,sudah lama aku gak main kesana" lanjutku.
"Mas ikut" ujarnya setelah lama diam.
Aku diamkan saja. Mau ikut ya ikut aja. Toh ke rumah dia juga.
**"
"Aline... Mantu mamah, kok lama gak main ke sini sih" kata mamah ketika menyambutku di depan pintu. Mungkin ia mendengar suara mobil mas Afie tadi sehingga saat aku baru saja turun dari mobil,mamah telah siap didepan pintu.
"Iya mah, maaf ya baru sempat main ke sini, tapi mas Afie kan rajin datang mas" ucapku sambil mencium tangan mamah.
"Jarang...dia sama kaya kamu, jarang banget datang ke sini. Sibuk aja alasannya. Ayo Line masuk". Kamipun menuju ke ruang tengah. Rumah tampak sepi.
"Beth kemana mah" tanyaku. Beth adik mas Afie yang paling kecil, saat ini sedang kuliah semester 4. Biasanya ia langsung menyambutku bila aku datang.
"Beth baru aja keluar, ada urusan sama temannya katanya, papah juga sibuk terus. Mamah tuh jadi kesepian dirumah Line, makanya kamu sering-sering datang dong. Temeni mamah" curhat mamah
"Iya mah, maafin Line ya, nanti Line rajin datang ke sini deh, atau mungkin nanti ada yang lain selain Line yang kesini" ucapku sambil melirik mas Afie. Yang dilirik nampak salah tingkah.
"Yang lain?" mama mengeryitkan dahinya
"Iya mah, mas Afie kan..."
"Teman Beth ma... ada kan yang suka ke sini" mas Afie memotong omonganku. Aku hanya tersenyum, rupanya kamu belum mengutarakan ke mamah tentang keinginanmu ya mas.
"Teman Beth ya sibuk sama Beth dong Fie, mana mau mereka ngobrol sama mamah. Eh Line gimana, ini udah ada isinya belum. Udah lama gak kesini mamah kira lagi hamil muda Line" ucap mamah sambil memegang perutku yang rata.
"Belum mah" ucapku sambil menunduk, sungguh tidak nyaman rasanya.
"Gitu ya. Ya udah sabar dulu aja Line mungkin memang belum waktunya. Dinikmati aja dulu, anggap masih pacaran. Nanti juga ada waktunya kok" ucap mamah sambil mengelus bahuku.
"Maafin Line ya mah, Line belum bisa bahagiain mamah" ucapku masih menunduk.
"Kamu ngomong apa sih Line, itu tuh bukan salah kamu, kita kan gak tau rencana Tuhan gimana, mungkin sekarang ini kalian lagi diuji, dengan belum diberi momongan" ucap mamah lembut.
"Atau kalian angkat anak aja, anaknya teman mamah ada juga yang seperti kalian, mereka mengangkat anak sodara sendiri buat mereka rawat. Kemaren mamah dengar dia dah hamil lho" mamah melanjutkan cerita.
"Gak usahlah mah angkat-angkat anak gitu, Afie yakin kok bisa kasih keturunan hasil karya Afie sendiri" sahut mas Afie. Bilang aja kamu kebelet kawin lagi mas, ucap batinku. Karena bagiku tak masalah merawat anak orang lain. Mungkin Tuhan ingin melihat kita mendidik seorang anak dulu sebelum memberi kepada kita.
"Mamah cuma kasih masukan Fie, kalau kalian mau terima ya syukur. Asal jangan anak ini jadi beban kalian" lanjut mamah.
"Iya mah, makasih ya mah" ucapku sambil tersenyum.
Ucapan mamah sedikit menenangkan hatiku. Dan mamah memang belum ngoyo untuk memiliki cucu, tapi kenapa kata mas Afie... apa yang sebenarnya kamu rencanakan mas, kenapa kamu berbohong? Atau mamah hanya bermanis di depanku saja?