Chereads / Tanpamu Aku Bahagia / Chapter 4 - BAB 4

Chapter 4 - BAB 4

BAB 4

"Dek" panggil mas Afie saat aku tengah menyusun pakaian yang telah aku setrika ke lemari.

"Ya mas" jawabku tanpa menghentikan kegiatanku.

"Tentang obrolan kita kemarin..."

"Obrolan yang mana?"

"Obrolan tentang Denisa"

"Denisa?" Kali ini aku memandangnya. Kucing mana yang dia maksud?

"Wanita yang akan mas nikahi" jawabnya.

Ah jadi Denisa nama selingkuhanmu itu mas. Ya, aku telah yakin mas Afie berselingkuh. Memang ia meminta izinku untuk menikah lagi, tapi sebelum itu ia sudah berselingkuh. Itulah sebabnya ia tetap dengan keinginannya. Jika ia meminta izin sebelum mereka berselingkuh, tidak mungkin akan secepat ini. Ia tak mau kehilangan gundiknya juga tak mau melepaskan aku.

"Kenapa dia?" Tanyaku kemudian.

"Kan mau ketemu dek"

"Malam ini?"

"Nggak dong dek, besok kita ketemu ya" manis ia berucap.

"Besok kan kamu kerja mas"

"Mas bisa izin dek ke kantor, nanti mas alasan ada urusan keluarga yang gak bisa ditinggal" ujarnya cepat.

Masalah keluarga? Belum apa-apa wanita itu telah jadi keluarga? Apa lagi selanjutnya, gak bisa ditinggal? Begitu penting masalah kawin lagi bagimu mas, bahkan aku tidak tau apakah kamu dan dia benar-benar sudah kawin atau belum.

Akupun segera menyudahi kegiatanku dan meninggalkan mas Afie dikamar. Sudah taak sanggup mendengar kata-kata mas Afie lagi. Kuputuskan ke taman belakang. Merenungi nasibku. Berat... memang berat. Tapi aku meyakinkan diri, aku bisa. Dengan atau tanpamu mas, aku bisa melanjutkan hidup.

***

Pagi ini aku putuskan ke rumah orang tuaku. Rasanya tak mampu memendam masalah ini seorang diri. Setidaknya bercerita bisa meringankan bebanku walau sedikit.

Segera aku parkir di halaman rumah ayah. Dan menuju ke dalam mencari ibu.

"Assalamualaikum" salamku.

"Waalaikum salam" jawab ibu dari dalam.

"Lho nduk, masuk sini nduk. Sama Afie?" tanya ibuku. Kepalanya sibuk menoleh ke kanan dan kiri, mencari keberadaan suamiku.

"Line sendiri aja buk, mas Afie kan kerja" jawabku sambil mencium punggung tangan ibu.

"Oh gitu. Ya udah makan dulu ya nduk" ibu menawari sambil menggiring masuk kedalam.

"Gak usah Bu, tadi sudah sarapan. Ayah mana Bu?"

Baru saja aku bertanya ayah muncul dari balik pintu kamar.

"Lho...lho anak ayah kapan datang" saat ayah bergegas ke arahku hendak memelukku.

"Baru yah, baru nanyain ayah ke ibu ayahnya muncul. Panjang umur ayah ini" jawabku sambil tersenyum.

"Jadi ada masalah apa nduk" tanya ibuku tanpa basa-basi. Baru sampai buk anakmu ini. Berilah sedikit napas.

"Ih ibu, memangnya aku kesini kalau ada masalah aja" aku cemberut menjawab ibu, walau ada juga rasa heran. Sedari datang tadi aku selalu tersenyum, jelas tak nampak di wajahku bahwa aku sedang ada masalah. Tapi mungkin memang naluri seorang ibu. Serapat apapun anaknya menyimpan masalah, pasti ia ketahui juga.

"Ibu bukan sok tau nduk, tapi..."

"Iya Bu, Line faham. Memang Line ke sini ada yang mau disampaikan ke ayah dan ibu, Line gak mau kalian tau masalah ini dari orang lain" akupun menceritakan keinginan mas Afie kepada mereka. Tampak kulihat rasa kecewa diwajah mereka. Wajah ayah malah memerah menahan amarah.

"Ya Allah Line, kok yo ngene nasibmu nduk" ibu mendekat memelukku. Dapat kudengar isak tangisnya, yang membuatku meneteskan air mata juga. Ya, akhirnya aku menangis. Bukan karena akan diduakan. Tapi karena telah membuat orang tuaku menangis dan kecewa.

"Cerai saja, ayah akan suruh pengacara buat urus perceraian kalian" ucapan tegas ayah membuat aku dan ibu terdiam.

"Yah" kali ini ibu beranjak mendekati ayah. "jangan memutuskan sesuatu saat sedang emosi" lanjut ibu.

"Aku ndak terima anakku disakiti Bu, kamu tau nduk, anak ayah bisa dapat yang berkali-kali lebih baik dari si Afie itu" ayah masih berapi-api.

"Tapi kita Ndak berhak ambil keputusan pak, biar Line yang putuskan sendiri, tugas kita hanya memberi saran" ibu masih mencoba menenangkan ayah.

Ayah terdiam. Mungkin sedang mencerna kata-kata ibu. Walau ayah orang yang tegas, namun ia tak pernah memaksa anak-anaknya. Mereka tetap dibiarkan memilih apa yang menjadi keinginannya. Selama keinginan itu bisa dipertanggungjawabkan.

"Nduk, sama seperti saat kamu memutuskan menikahi laki-laki itu, ayah ndak melarang. Kali ini ayah juga ndak larang kamu. Tapi kamu ingat, jika kamu tidak ada tempat pulang, disinilah rumahmu. Kamu bisa bekerja lagi di perusahaan membantu kakakmu" ucap ayah akhirnya.

Kami memang memiliki perusahaan keluarga. Saat ini dijalankan oleh Bang Rifat. Aku sudah tidak aktif disana. Namun namaku masih tercatat sebagai salah satu pemegang saham.

"Maafin Line ayah,ibu. Aline bercerita bukan untuk menambah beban ayah dan ibu, Line hanya gak mau kalian mendengar masalah ini dari orang lain dan kalian tidak terkejut bila suatu hari mas Afie mengenalkan istrinya kepada kalian" jawabku.

"Aku usir dia kalau berani membawa gundik itu kesini" murka ayah.

Aku hanya tertawa mendengar kata-kata ayah. Tak lama aku segera pamit karena masih ada pekerjaan di toko. Setelah mendengar wejangan mereka akupun berlalu pergi.

***

Mendekati waktu makan siang aku telah tiba di toko. Baru saja menyandarkan tubuh di sofa, ponselku berdering. Segera kuangkat setelah sekilas membaca nama penelepon.

"Ya mas"

...

"Jam berapa?"

...

"Oke, mas jemput aku kan di rumah"

...

"Share loc aja" langsung kututup telepon darinya.

Tak lama masuk pesan dari mas Afie. Aku putuskan sekarang saja menuju ke sana karena  lokasinya ternyata cukup jauh dari tokoku.

Gegas kuambil kunci mobilku dan beranjak keluar.

"Heh mau kemana, baru datang sudah mau kabur lagi, masih siang ini" Silla mencegat sambil memegang tanganku.

"Ada perlu nih" jawabku cepat

"Perlu apa" tanyanya lagi tanpa melepas pegangan tangannya. Malah kurasa semakin erat cengkeramannya.

"Ketemu madu" aku menjawab malas, jika tidak kuberi jawaban ia pasti tak akan melepaskan ku.

Nampak ia melongo kemudian tertawa nyaring.

"Met senang-senang kalau gitu sayangku" ujarnya sambil melenggang menuju ruang kantor.

Aku hanya menggelengkan kepala sambil menuju mobilku. Dengan kecepatan sedang segera aku menuju lokasi yang ditunjukkan mas Afie.