Happy Reading
***
Javas berdiri didepan pintu lift dengan desah napas yang terasa berat karena kelelahan. Ia benar-benar ingin tidur dengan nyaman sambil memeluk Swanna hingga pagi menjelang esok hari.
Pintu lift terbuka, buru-buru Javas memasuki lift. Menekan tombol lantai 17 dimana unit apartemennya berada. Javas langsung terduduk di lantai, menyelonjorkan kakinya yang serasa mau patah. Kepala dan punggungnya bersandar dengan nyaman pada dinding lift yang terasa dingin.
Melihat kaki yang menganggur Swanna tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada dengan nyamannya si anjing manis itu menempatkan kepalanya di salah satu paha Javas.
"Hah, sebentar lagi kita sampai, Hon." Javas mengusap kepala Swanna dengan penuh kasih sayang. Petnya sungguh seperti belahan jiwanya yang tak mungkin tergantikan. Walau terkadang tingkah Swanna menyebalkan seperti kebanyakan wanita manusia asli namun petnya itu selalu bisa membuatnya nyaman dan tenang. Hatinya senang bisa melihat Swanna selalu ceria dan tidak pernah protes karena sering ditinggal bekerja. Dan, entah mengapa Swanna bisa menghilangkan segala jenis lelahnya yang bercampur dan beradu menjadi satu di dalam tubuhnya.
Huh … Javas menghela napas, menikmati setiap dengkuran halus khas anjing yang dikeluarkan Swanna. Membawanya terhipnotis sejenak, menutup mata dan…
Tring!
"Sial!" Javas mendesis heran, baru sebentar ia memejamkan mata menikmati dinginnya ac dan tenangnya suasana lift, tiba-tiba pintu lift terbuka dengan lebar memperlihatkan sedikit interior unitnya. Diiringi dengan dengusan sebal, bola matanya berputar dengan malas artinya dia harus berdiri dan melangkahkan kaki untuk masuk ke unit apartemen yang terlihat mewah itu.
"Iyaaaa!" serunya jengkel. Saat tombol lift berkedip dengan tidak sabaran seolah menyuruhnya untuk keluar secepat mungkin dari dalam karena sepertinya dibawah sana sudah ada yang menunggu lift ini untuk turun.
"Guk … guk!" Swanna menarik ujung kemeja Javas, supaya tuannya lekas berdiri dan masuk kedalam, "Ayo, Pah! Jangan malas, nanti pintunya keburu tertutup," ucap Swanna dalam bahasa isyarat matanya.
"Ok, ok, Hon." Javas dengan terpaksa berdiri. Berjalan dengan sejuta kemalasan yang menggelayuti kakinya.
"Guk … guk!" Kepala Swanna mendorong pantat Javas, supaya tuannya berjalan lebih cepat.
"Iya, honey, iya," ucap Javas tertawa kecil dengan suara seraknya.
Belum sampai Javas masuk lebih dalam ke apartemennya yang didominasi warna hitam dan abu-abu tiba-tiba dari jarak yang tidak jauh darinya berdiri ada yang memanggil namanya. Dahi Javas berkerut heran, hanya Uki yang tahu keberadaan apartemennya.
Javas menghentikan langkahnya, menolehkan kepalanya saat mendengar suara yang tidak asing menyusup gendang telinganya. Mata birunya yang tajam berputar mencari sumber suara yang memanggilnya itu.
Tidak mendapat balasan dari Javas, suara seorang pria memanggil nama Javas sekali lagi.
"Javas."
Dan kali ini suara seorang wanita turut memanggil namanya dengan tanpa dosa.
"Javas."
Deg!
Tubuh Javas mendadak tegang, memory kelamnya seolah berputar di depan matanya saat melihat kedua orang ini ada didepannya. Pasti mimpi 'kan? Suara itu masih terngiang-ngiang begitu kejam di telinganya.
Dua suara dengan intonasi yang berbeda. Dua suara yang membuatnya acuh akan dunia yang serba menjijikan ini. Dua suara yang membuatnya gila akan kehidupannya yang sekarang dan dua orang yang benar-benar tidak ingin ditemui selama sisa hidupnya.
Bila perlu Javas ingin keduanya mati.
"Vas? Kenapa diam?" Wanita itu bertanya dengan suara khas seorang ibu yang seolah mengkhawatirkan putranya.
Di pendengaran orang awam suara pria dan wanita yang sudah terlihat senja ini terdengar begitu lembut dan mengayomi. Namun tidak dengan dirinya, suara itu terdengar begitu menjijikan di telinganya
Swanna dalam mode siaga, "Guk, grrrr!!" geramnya dengan sigap berdiri didepan tuannya, melihat kedua orang asing yang belum pernah dilihatnya sama sekali semakin mengikis jarak diantara mereka. Dan sepertinya tuannya ini tidak menyukai kehadiran kedua orang asing ini.
"Bukan mimpi, Swan." Javas tersenyum penuh kegetiran, suaranya bergetar dengan begitu hebat. Matanya yang tadi mengantuk mendadak seperti disiram saus cabai. Perih dan panas. Ini nyata, mereka berdua ada di sini. Di dalam apartemennya, sejak kapan?
Dengan penuh percaya diri, pria dan wanita tua itu semakin mendekati Javas. Tidak ada raut kebahagiaan atau kebanggaan yang terlihat dari mimik wajah mereka, yang ada hanya raut mengintimidasi untuk membuat Javas tunduk sekali lagi pada mereka.
Javas sama sekali tidak bergeming dari tempatnya berdiri. Dia lebih mengeluarkan aura dominannya pada mereka berdua.
Mata mereka saling mengunci satu sama lain. Ketiga pasang mata itu tak saling melepas ikatan intens pada pandangan mereka masing-masing.
"Guk, grrr!" Swanna menggeram. Melindungi Tuannya dari kedua orang yang memiliki aura negatif ini.
"Cih, Anjing ini. Kenapa kau memelihara seekor anjing, heh?" Tanpa basa-basi, pria tua itu langsung menyambarnya dengan pertanyaan yang begitu memuakan. Mata tuanya memicing tajam pada anjing yang terlihat begitu menjijikan di depan matanya.
"Buang saja, Vas," timpal wanita tua itu. Jijik mendengar geraman anjing Javas. Wanita itu merasa terintimidasi dengan tatapan tajam Swanna, seolah anjing itu ingin sekali menerkamnya.
"Sial!" umpat Javas tidak kalah jijik. Mulai menyadarkan diri akan kehadiran mereka. "Lebih baik aku memelihara seekor anjing daripada memelihara manusia hina dan berhati iblis. Lebih baik aku membuang manusia gila daripada harus membuang seekor anjing," sarkas Javas manatap sinis pada kedua orang ini. Dia bukan anak kecil lagi yang bisa ditindas dan menuruti segala kemauan kedua orang hina ini. Usianya sudah 27 tahun, 10 tahun sudah berlalu, ok.
Pria itu melipat kedua tangannya didepan dada, tidak keberatan dengan hinaan Javas. Pria itu masih bisa merasakan getaran ketakutan yang masih Javas rasakan. "Akan sangat mudah menaklukan anak ini sekali lagi," ucapnya dalam hati, memandang Javas masih seperti anak remaja yang polos dan bodoh.
"Buang atau Papa akan menghukummu!"
"Anjing ini sangat menjijikan, Vas. Mama tidak suka."
"Hah?!" Javas mengangkat alisnya dengan geli, mendadak tawanya pecah semakin sarkas menertawakan perintah orang tuanya yang sudah senja ini. Siapa mereka berani mengatur hidupnya.
Hampir 10 tahun tidak bertemu tiba-tiba mereka memerintahnya. Di tempatnya, di apartemen miliknya dan menghina petnya dengan sesuka hati mereka.
"Brengsek!" umpat Javas dengan kasar tidak memperdulikan statusnya. Menghinakan mereka lewat tatapannya.
"Jangan menatap kami dengan cara menghina seperti itu, Vas," ucap pria tua itu yang bernama Yasa-ayah kandung Javas dengan tetap tenang.
"Dan jangan mengumpati kami dengan cara seperti itu, Vas. Biar bagaimanapun kau adalah anak kandung kami," ucap wanita yang bernama Sari-Mama kandung Javas Deniswara.
"Cih, orang tua kandung!" Geram Javas.
"Duduk, Vas. Kita bisa berbicara dengan santai." Yasa diikuti Sari berjalan kearah sofa yang berwarna abu-abu. Menghindari geraman anjing Javas.
Mereka berdua duduk dengan nyaman, memberikan senyuman yang dibuat sesantai mungkin untuk Javas-putra tunggal mereka yang saat ini sudah menjadi pria dewasa yang tampan dan memiliki karir yang cermelang sebagai pemahat profesional.
"Lebih baik kalian keluar! Atau aku akan panggil polisi!" Javas mengeratkan giginya penuh amarah. Berani-beraninya mereka duduk di sofa yang dikhususkan untuk petnya itu.
"Jangan usir kami, Vas. Perjalan dari desa ke kota dengan menggunakan mobil reyot tidak mudah, Vas." Sari menatap sendu mata putranya, menghembuskan napas tua nya yang mengharapkan simpati dari putranya. Dulu cara ini berhasil. "Butuh waktu 1 jam keluar dari desa, 5 jam di atas laut dan 2 jam menuju apartemenmu, Vas. Mama lelah, Vas." Rengeknya, berpura menepuk-nepuk punggungnya. "Kau mau memijat punggung Mama, Vas?" Mata Sari mengerling pada putranya.
"Hoek!" Javas merasa mual melihat sikap Sari yang menjijikan itu. Keringat dingin tanpa sadar keluar dari pori-porinya.
"Ahahah," mereka berdua tertawa terbahak-bahak melihat respon Javas yang berlebihan.
"Sialan!" umpatnya semakin menggila. Javas benar-benar tidak habis pikir saat melihat kedua orang tuanya duduk dengan santai dan tidak tahu malu di apartemennya. Bersikap seperti itu pada dirinya yang katanya orang tua kandunganya.
Bukan orang tua … bukan, tapi iblis. Iblis berbulu domba.
***
Salam
Busa Lin