Happy Reading
***
"Tuan, tunggu sebentar." Javas menghentikan langkah Mahad.
"Hem…" Mahad menolehkan kepalanya, "Ada apa? Tidak mau ikut makan malam bersama kami?"
Javas menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Bukan itu. Saya hanya ingin memastikan, apakah tuan Mahad yang memberikan saya nama?"
"Sesuai dengan apa yang istri saya katakan," ucap Mahad dengan santai.
Javas menganggukan kepalanya dengan pelan, ia ingin bertanya banyak hal pada pria ini. Tapi mulutnya terlalu kelu untuk mengeluarkan suara.
"Ada lagi?" tanya Mahad.
Javas hanya diam. Dia menundukkan kepalanya, tatapannya kosong melihat Swanna.
"Javas?" panggil Mahad yang mulai tidak sabar dengan keterdiaman Javas.
Hening.
Javas sama sekali tidak mengeluarkan suaranya. Jika bisa, ia ingin bertanya. Kenapa hidupnya begitu kelam? Kenapa ia harus terlahir dikeluarga yang tak tahu belas kasih? Sejak remaja ia digunakan sebagai alat pemuas nafsu wanita-wanita tua gila itu, belum lagi di hari-hari tertentu ia harus melayani seorang Pria gila yang selalu menyiksanya dengan alat-alat mengerikan. Dan yang menjualnya bukan orang luar tetapi orangtua kandungnya sendiri.
Miris!
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi diantara persahabatan kalian, ta-tapi kenapa tuan tidak membawaku pergi saat itu? Setidaknya jika tuan tahu apa yang mereka perbuat padaku, apakah tuan mau menolongku? Dan Bibi Maya, sepertinya sangat menyayangiku?
"Javas?" panggil Mahad, mendekati Javas yang terlihat gemetar. "Are you oke?" tanyanya sambil menepuk pundak Javas.
"I-iya, tuan?" Javas mengangkat kepalanya dengan cepat. Bola matanya bergetar menatap mata Mahad yang sangat teduh.
"Ada lagi yang ingin kau tanyakan?"
"Ti-tidak ada, tuan. Terima kasih telah memberikan nama yang bagus untuk saya. Entah apa jadinya jika kedua orang itu yang memberikan saya nama." Javas tersenyum getir.
"Kedua orang itu?" Mahad mengernyitkan kening, "Ah … maksudnya mereka berdua?" Tunjuknya kearah Yasa dan Sari yang sudah duduk manis didepan istri dan putranya.
"Heum …"
"Mereka berdua memperlakukanmu dengan baik 'kan?"
"Eh, i-itu … saya baik-baik saja, tuan."
"Aku bukan menanyakan keadaanmu tapi mereka. Mereka memperlakukanmu dengan baik 'kan?" tanya Mahad sekali lagi.
"I-iya," jawab Javas dengan suara bergetar.
"Baguslah. Kau bersiaplah." Mahad pergi meninggalkan Javas tanpa menoleh kebelakang lagi. "10 menit, Vas."
"Ba-baik, tuan. Sekali lagi terima kasih," ucap Javas sembari membungkukkan tubuhnya. Ia benar-benar tidak menyangka jika pria itulah yang telah memberikan nama seindah ini padanya.
Javas? Apa arti dibalik nama itu? Pasti artinya seindah namanya.
Kenapa tidak dari dulu aku mengetahui fakta ini? Jadi aku tidak perlu malu dengan nama ini. Dan aku bisa membanggakan nama ini kepada teman-temanku, nama yang bukan pemberian mereka berdua.
Javas!
Javas!
***
*
*
*
***
Hening,
Hening,
Dan ...
Hening.
Di ruang makan hanya ada suara aduan sendok dan garpu yang mengenai piring. Mereka semua lebih asyik tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tidak ada yang mulai pembicaraan atau candaan ringan yang ada hanya suara cecapan makanan dan minuman yang masuk kedalam mulut. Mereka seolah-olah menikmati setiap hidangan yang tersaji di depan mata mereka.
Bahkan suara jam dinding yang tak terlihat pun terdengar sampai ruang makan.
"Sangat sunyi dan membosankan." Ocean menghembuskan napasnya dengan gusar suasana ini terlalu horor dan kaku untuknya. Katanya ini acara makan malam persahabatan, katanya mereka sudah lama tidak saling bertemu, katanya mereka sahabat lama, katanya mereka sudah lama tidak saling menghubungi satu sama lain tapi kenapa suasananya tegang dan menyebalkan seperti ini?
Acara makan malam persahabatan ini lebih menakutkan dibanding dengan makan malam bersama mafia tanah kelas kakap di negeri ini. Mafia tanah jelas tujuannya dan akal busuknya, sedangkan ini … hem.
Sepertinya Mereka berempat memiliki masalah yang belum selesai dan dendam yang tak kunjung padam.
Dasar Papa! Pasti Papa duluan nih! gerutunya dalam hati, menyalahkan Mahad tanpa tahu duduk permasalahannya.
"Ehem," Ocean berdehem untuk mencairkan suasana.
Tidak ada yang merespon.
Ok!
"Makanannya enak, bi," ucap Ocean dengan suara diringankan, "Apalagi sup sapi ini. Ini sih, paling enak. Bibi masak sendiri?"
"Tidak. Pesan," jawab Sari singkat.
"Oh!" Ocean menganggukkan kepala salah tingkah, "Dan ini … pasti wine ini dari desa Paman 'kan? Rasanya sangat segar dan aku belum pernah meminum yang seenak ini." Bibirnya mencecap sedikit anggur yang masih menempel di bibirnya.
"Tidak," jawab Yasa singkat dan acuh.
"Oh!" Ocean menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kenapa mereka jadi tidak bersahabat denganku? Huh!
"Javas akan melakukan pameran pertamanya." Sari membuka suara, memainkan sendok ditangannya. "Kalian tahu 'kan Javas mempunyai tokonya sendiri?"
"Pameran? Toko?" Sambar Ocean dengan cepat. "Dia seorang seniman, Bi? Seniman apa, Bi? Pelukis? Pemusik? Penyanyi atau apa, Bi?" tanyanya dengan sangat antusias. Ia tidak menyangka jika Javas adalah seorang seniman. Harusnya dia menyadari itu sejak awal saat melihat penampilan Javas pertama kali di jalan saat itu.
Mahad dan Maya membiarkan Ocean berceloteh. Jika disuruh diam yang ada Ocean akan merajuk pada mereka berdua.
"Eh, tadi bibi bilang, Javas memiliki toko. Biar kutebak … pasti Javas seorang pemusik 'kan? Dia menjual alat-alat musik. Oh … jangan-jangan Javas anak band iya, Bi? Dia memiliki studio musik dan disewakan iya, 'kan?
Hening … tidak ada yang menanggapinya.
Ok! Jangan menyerah Oce! Untuk mencari tahu tentang Javas, hiks.
"Oh, aku tahu! Jika seniman yang mengadakan pameran … biar kutebak!" Seru Ocean bersemangat, "Pasti Javas seorang pelukis 'kan, bi? Dan tokonya dibuat untuk menjual hasil karyanya atau bisa juga Javas menjual alat-alat lukis 'kan, bi?" Ocean dengan mata berbinar melihat Yasa dan Sari bergantian berharap kali ini diantara mereka ada yang mau menjawab pertanyaannya.
"Atau Javas seorang Guru Lukis yang akan mengadakan pameran?" tanya Ocean dengan merendahkan suaranya dan tidak bersemangat lagi. "Hufttt…." Bibirnya mencebik kesal.
Yasa dan Sari tidak menggubris Ocean sama sekali. Baginya Ocean terlalu berisik dan menyebalkan.
Justru Yasa sedang asyik menatap lekat mata Maya yang terasa menenangkan. Dimatanya Maya benar-benar masih terlihat sangat menggairahkan, sama seperti dulu.
Sari melirik Ocean yang sudah terdiam, "Ehem, kalian berdua pasti sudah tahu mengenai Javas. Kuharap kalian tidak salah paham dengan kedatangan kami di kota ini."
"Tidak." Mahad meneguk winenya dengan sekali tenggak, "Kami tidak tahu tentang apapun mengenai anak kalian."
Mereka semua menghela napas bersamaan. Melanjutkan keterdiaman mereka yang berkelana entah kemana.
Hening kembali.
Ok, sepertinya Ocean sedang berada di dunia antah berantah sekarang. Tidak ada yang memperdulikannya. Tidak ada yang menjawab pertanyaannya. Mamanya yang biasanya peduli dengannya kini sedang fokus menghabiskan makanannya sendiri tanpa menawarkan apapun padanya. Padahal ia ingin memakan daging milik Mamanya yang sudah dipotong-potong dengan sangat cantik dan presisi itu.
Dan…
Dimana Javas? Kenapa dia belum datang juga, setidaknya aku ada teman untuk berbincang. Jika seperti ini ... huh! Apakah butuh waktu lama untuk bersiap-siap? Dia 'kan seorang pria, harusnya bisa lebih cepat dari ini.
Dimana dia? Ku cari saja atau tetap diam di sini?
"Mah, aku butuh lada," celetuk Ocean tiba-tiba. Dia pun terkejut dengan ucapannya sendiri.
Aihh! gerutunya dalam hati.
"Untuk?" tanya Maya mengernyit heran.
Sial! Kenapa harus lada? Bukankah masih banyak alasan yang lebih menarik, kreatif dan masuk akal untuk meninggalkan acara makan malam yang membosankan ini? Kenapa tidak minta izin ke toilet, izin merokok atau izin mau kemana, kek! Bodohnya kau, Oce!
"Oce?"
"U-untuk? I-ini, supnya kurang lada, Mah."
"Katanya enak?"
"I-iya, enak. Tapi kurang berasa, Mah." Ocean mengerucutkan bibirnya. Kesal pada dirinya sendiri, yang selalu tidak bisa mencari alasan yang masuk akal. Setidaknya untuk kali ini biarkan dia lolos dari tatapan sejuta pertanyaan Mamanya.
"Butuh sesuatu, Oce?" tanya Sari yang mendengar bisik-bisik antara Maya dan Ocean.
"Lada, Bi!" ucap Ocean dengan cepat.
"Biar bibi ambilkan."
"Tidak perlu, Bi." Ocean berdiri dengan cepat membuat Sari yang tadinya mau berdiri kembali terduduk. "Ma-maksudku, biar aku saja. Biar aku yang mengambilnya. Bibi cukup beritahu aku dimana letaknya." Ocean tersenyum dengan salah tingkah.
"Di dapur. Carilah sendiri. Aku pun tidak tahu dimana letak lada itu," ucap Sari mengedikan bahu.
"Oh, ok, Bi!"
Ocean segera meninggalkan ruang makan itu. Menghirup udara sebebas mungkin.
Sekarang dimana letak lada itu dan keberadaan Javas?
***
Salam
Busa Lin