Happy Reading
***
Guk!
Guk!
"Eh, anjing ini? Ini 'kan?"
Gluk!
"Anjing yang sama bukan?"
Mata Ocean mengerjap tak terkendali saat melihat seorang pria turun dari tangga dengan penampilan yang sedikit berantakan namun terlihat seksi di matanya.
"Astaga!" pekik Ocean dalam hati, berpura memalingkan wajah namun matanya tetap berusaha mencuri pandang. "Dia 'kan pria yang tadi pagi? Aku tidak mimpi 'kan? Huh, panas iya," ucapnya kelabakan dalam hati. Mencoba melepas rangkulan tangan Mamanya yang masih melingkar di tangannya. Ia khawatir jika Mamanya bisa mendengar deru jantungnya yang tiba-tiba berdebar tak terkendali dan, ish … pipinya pun terasa sangat panas, "Apa-apa ini? Apa yang terjadi pada diriku? Sadar, Oce. Dia Pria!"
"Ada apa?" suara Javas yang berat dan terdengar serak memenuhi seantero ruangan. Dia kebingungan melihat ke dua pasang mata yang menatapnya dengan intens dan, laki-laki muda yang mencoba berpaling darinya itu ....
"Siapa dia?" Javas memperhatikan setiap detail gerak langkahnya yang mencoba bersembunyi dibalik punggung Pria tua yang terlihat berwibawa. Matanya sedikit pun tidak lepas mengamati gerak tubuhnya yang terlihat seperti ....
"Oh, ayolah," gumam Ocean serba salah saat mendengar suara Javas yang berat dan serak. Tubuhnya tiba-tiba merinding, tiba-tiba menghangat dan tiba-tiba berkeringat. Padahal ini ruangan ber-Ac. "Apa yang terjadi padaku?"
"Dia menghindari tatapanku?" Mata Javas menangkap sesuatu yang dipahami dan diketahui olehnya. "Jangan katakan jika dia ...," gumamnya mengedipkan mata, feelingnya sedang bermain saat ini. Jika benar dugaannya ....
Guk!
Guk!
Swanna mengendus-ngendus tubuh Ocean, mencari perhatiannya dengan cara menarik celana yang dikenakannya.
"Astaga. Kau penyelamatku." Ocean berjongkok dibalik tubuh Papanya, bersembunyi dari tatapan Pria bermata biru yang terasa memperhatikannya.
"Dia tidak memperhatikanku 'kan?" Ocean semakin salah tingkah dibuatnya. Dia mengelus dadanya, menghirup udara sebanyak mungkin, mencoba menenangkan dirinya sendiri supaya tidak membuat orang curiga akan sikapnya yang seperti cacing kepanasan.
Guk!
Guk!
"Ssstt," Ocean menyuruh anjing itu untuk diam dengan mengelus kepalanya.
"Kenapa kalian berdua diam saja?" Javas bertanya pada Pria dan wanita yang belum dikenalnya ini. Dia teramat asing dengan kedua orang ini. Namun tatapan mereka berdua, entah mengapa membuatnya merasakan kehangatan akan kenyamanan. Seolah ia merasa dekat dengan mereka. Apalagi dengan wanita tua yang masih terlihat cantik itu, seperti ada tali penghubung yang pernah melekat di hatinya.
"Javas bukan?" tanya Maya dengan suara bergetar menahan tangis.
"Heum," Javas menggaruk kepalanya salah tingkah. Kenapa aku seperti mengenal wanita ini? Siapa dia?
"Javas!" Maya langsung menghampiri Javas dengan mata berkaca-kaca. Dia sudah tidak memperdulikan keadaan sekitar. Tidak peduli dengan tatapan Yasa dan Sari yang sinis akan dirinya.
Sedangkan Ocean lagi-lagi hanya kebingungan dengan situasi ini. Kenapa Mamanya bisa mengenal pria bermata biru itu? Pria yang ada dalam pikirannya selama seharian ini. Siapa dia? Kenapa aku jadi gugup seperti ini?
Ocean tidak berani melihat ke arahnya, dia menetapkan fokusnya pada anjing yang belum dikenalnya. Sama seperti pemiliknya, mata anjing yang terlihat seperti permata biru lautan ini benar-benar membiusnya. "Kau sangat cantik," gumam Ocean mengecup hidung Swanna.
"Jangan dekat-dekat dengannya, Oce," ucap Sari tidak suka.
"Pergilah, hush … hush!" Yasa mendelik kesal pada anjing Javas. Bisa-bisanya di saat seperti ini, makhluk menyebalkan itu ada di sini dan hei … lihatlah penampilan putranya yang seperti 'angsak. Membuatnya malu. Jika tidak ingin bertemu dengan mereka setidaknya jangan keluar dalam keadaan berantakan seperti itu.
"Siapa, Pah?" Ocean berbisik di belakang tubuh Papanya dengan mata tetap melihat Swanna. Pun dia tidak memperdulikan desah napas gusar Yasa dan Sari yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berjongkok.
Anjing seimut ini tidak boleh didekati. Mana diusir lagi … huh! Menyebalkan.
"Javas Deniswara, putra mereka, Oce," jawab Mahad acuh. Jujur, Mahad tidak terlalu menyukai Javas. Karena Javas lah, Maya tidak mau diajaknya pergi dari rumah bordil saat itu. Istrinya terlalu menyayangi Javas, padahal Javas bukanlah putranya.
"Eh … namanya siapa, Pah?" Ocean mendongakkan kepalanya, matanya mengerjap penasaran, "Siapa tadi?" batinnya menggigit bibirnya, mencuri lihat apa yang sedang Mamanya lakukan dengan Pria bermata biru itu.
Yang ditanya hanya diam saja, Mahad sedang memperhatikan gerak langkah istrinya. Setelah sekian tahun lamanya, biarlah istrinya melepas kerinduan pada Javas.
"Kau masih mengingatku?" tanya Maya yang ragu-ragu akan menyentuh Javas. Javas yang sekarang bukanlah Javas bayinya dulu, dia sudah menjadi lelaki yang amat tampan dan gagah. "Boleh bibi menyentuhmu? Memegang tanganmu?" tanya Maya mengulurkan tangan, memegang tangan Javas yang terkepal. Maya ingat betul, tangan ini dulu berwarna putih kemerahan, mungil dan terasa lembut. Dan lihatlah sekarang, tangan mungil ini menjadi kasar, kulitnya pun coklat terpanggang matahari dan urat-urat kasar yang keluar di punggung tangannya menunjukkan betapa hidup yang dilalui Javas teramat berat.
"Bagaimana pekerjaanmu? Apakah sangat berat?" tanya Maya, sambil mengecup lembut punggung tangan Javas tanpa rasa canggung. Dulu dia sering melakukan ini pada Javas.
"Eh, maaf," Javas semakin tersipu salah tingkah mendapat perlakuan sehangat ini dari seorang wanita. Yang Javas tahu semua wanita di dunia ini adalah makhluk paling mengerikan dan menjijikan. Berbeda dengan wanita ini entah mengapa walau tidak mengenal wanita ini ia ingin sekali memeluknya.
Tapi Javas ragu dan takut untuk memeluknya. Ia takut kejadian yang lalu akan terulang lagi. Sangat menakutkan!
"Anda siapa? Maaf saya tidak mengenal Anda," ucap Javas melepas pegangan tangan Maya dengan pelan. Dia takut membuatnya tersinggung.
Mendapat perlakuan seperti itu, Maya hanya tersenyum kecil. Lalu dia melihat ke arah suaminya. "Pah, papah, kemarilah," panggilnya dengan suara bergetar. "Lihat, Pah. Javas sudah bisa bicara, sangat lancar …," ucap Maya melambaikan tangannya menyuruh suaminya mendekat. "Dia sangat tampan 'kan? Sesuai prediksiku dulu."
Mahad tersenyum kecil melihat wajah Maya yang berseri-seri dan memerah menahan tangis bahagianya, "Kau sangat merindukannya, sayang?"
Maya dengan cepat mengangguk dengan air berlinang, "Sangat, hiks. Aku sangat merindukannya."
"Eh," Alis Javas mengernyit, ia menggaruk kepalanya, tidak mengerti dengan situasi ini.
Lalu Javas melihat Mahad yang sedang melangkah. Dan dengan cepat ia mengikat asal rambut ikal sebahunya. Entah mengapa ia ingin terlihat rapi di depan Pria tua yang dipanggil "Papa" oleh wanita ini.
Apa hubunganku dengan mereka berdua? Kenapa aku seperti terikat dengan mereka? Jangan-jangan aku anak mereka? Cih, tidak mungkin! Javas terkekeh dalam hatinya. Ia yakin betul laki-laki yang sedang bermain dengan Swanna adalah putra mereka bukan dirinya.
"Maafkan istri saya sebelumnya, Javas Deniswara."
Deg!
Dipanggil dengan nama lengkapnya seperti ini, hatinya semakin hangat dan membuncah riang. Orang tuanya tidak pernah memanggil namanya dengan hangat namun penuh wibawa seperti ini. Yang ada hanya teriakan menakutkan seperti iblis, teriakan memanggil penuh tekanan dan teriakan perintah penuh luka yang selalu di dengarnya.
"Kau pasti tidak ingat kami. Saya Mahad," Mahad mengulurkan tangannya mengajak Javas bersalaman.
"Javas, tuan." Javas menerima uluran tangan Mahad dengan hangat.
"Hem, dan ini Maya, istri saya."
"Ahh, jadi ini yang namanya bibi Maya." Javas terkekeh, jadi ini wanita yang disebut-sebut wanita gila itu sejak tadi.
"Iya ini bibi Maya. Kau mengingatku?" tanya Maya dengan mata berbinar.
Javas menggeleng pelan, "Wanita itu yang memberitahuku," ucapnya acuh tanpa melihat Sari.
Dan Maya tahu siapa yang dimaksud Javas, "Tidak masalah, boleh bibi memelukmu?"
Javas ragu menerima permintaan Maya. Ia paling takut dengan wanita, apalagi wanita yang sudah tua seperti Maya.
Lantas Javas melihat ke arah Mahad meminta izin padanya. Mahad dengan senang hati mempersilahkan Javas memeluk istrinya.
Tanpa menunggu aba-aba, Maya dengan cepat memeluk Javas dengan erat. Menangis sesenggukkan dalam dekapan Javas.
"Eh, Bi." Javas mengangkat kedua tangannya tinggi. Ia takut menyentuh wanita ini.
"Kenapa lama sekali, hiks. Dulu kau sangat rapuh, sekarang tubuhmu sangat gagah, Vas." Maya menepuk-nepuk punggung Javas yang terasa keras.
Javas hanya terkekeh mendengar setiap penuturan Maya. Merasa nyaman dipeluk oleh Maya dengan perlahan dia menurunkan tangannya, menyentuh punggung Maya. Memberanikan diri untuk memeluk tubuh Maya yang terasa rapuh.
"Kau pasti banyak olahraga. Pasti pacarmu banyak 'kan?" cerca Maya yang tidak bisa mengendalikan dirinya karena terlalu merindukan Javas.
"Haha, ini karena pekerjaanku sebagai buruh kasar, Bi," ucap Javas mengusap punggung Maya dengan lembut. "Maaf, aku tidak mengingatmu, Bi."
Maya menggeleng cepat, "Kau ini!" Maya melepas pelukannya, memukul kecil dada Javas, "Tidak masalah, bibi akan mengingatkanmu, ok. kau akan ingat semuanya." Maya kembali memeluk Javas. Dia benar-benar merindukan bayi kecilnya yang sudah dianggap putra kandungnya sendiri.
Javas menggeleng ragu, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung juga, apa yang harus ia lakukan. Jika bukan Maya, mungkin wanita yang bergelayut manja dalam pelukannya ini akan ditebas dengan pisau.
"Mana Javas ingat, Mah." Mahad menggelengkan kepalanya gemas melihat wajah polos Maya. "Kau sekarang 28 tahun 'kan?" tanya Mahad pada Javas, mencoba melepas pelukkan istrinya yang merekat seperti lem. Sepertinya Javas sudah tidak nyaman di peluk oleh wanita tua ini.
"Eh, i-iya, tuan."
"Dengar!" Mahad menyentil dahi Maya, "sudah 26 tahun berlalu, ok."
Maya mencebik kesal atas perlakuan suaminya.
Lantas mereka berdua pun tertawa bersama atas kepolosan Maya.
Bagaimana dengan Yasa dan Sari?
Dan Ocean?
"Umurmu tidak jauh beda dengan putra Bibi," ucap Maya membenarkan kaos yang dipakai Javas.
"Putra Bibi?"
Maya mengangguk, ia melihat Ocean yang masih asyik bermain dengan anjing putih yang terlihat menggemaskan itu. Malah sekarang Ocean sudah duduk dilantai dengan nyaman. Untung saja putranya tidak iri. Biasanya dia sangat overprotektif pada dirinya.
***
Salam
Busa Lin