Happy Reading
***
"Sialan!" umpatnya semakin menggila. Javas benar-benar tidak habis pikir saat melihat kedua orang tuanya duduk dengan santai dan tidak tahu malu berada di apartemennya. Bersikap seperti itu pada dirinya yang katanya orang tua kandunganya.
Bukan orang tua … bukan, tapi iblis. Iblis berbulu domba.
"Santailah sedikit, Vas." Yasa menepuk-nepuk sofa dengan pelan, mengisyaratkan agar Javas duduk ditengah-tengah mereka. "Kami tak akan menyakitimu."
Javas mendecih kesal melihat perlakuan Yasa yang seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Ia sungguh muak dengan situasi ini.
"Javas, kita hanya Ingin menghadiri pameran mu." Sari beranjak dari duduknya mendekati Javas yang bersiap pergi. "Jangan pergi dulu, Vas." Javas tidak mengindahkan ucapan Sari, lebih baik dia pergi dari sini daripada melihat kedua orang gila ini, "Kau tidak merindukan kami. 10 tahun sudah berlalu, Vas," lanju Sari dengan suara lembut seperti biasanya. Tidak berubah, masih sama seperti dulu.
Javas menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Sari dengan wajah menahan amarah. Bibirnya bergetar ingin memaki wanita tua ini. Tapi, dia tetap berusaha menahan amarahnya. Yang bisa dia lakukan hanyalah mendesis pilu saat melihat mata Sari yang berkaca-kaca, tidak tahu malu dan tidak pernah merasa bersalah sedikitpun.
"Aku tidak butuh kalian," ucapnya menghela napas kasar. "Jangan sampai kesabaranku habis." Matanya menatap jengah ke arah mereka secara bergantian. "Lebih baik keluar dari apartemenku dan pergilah. Jangan muncul lagi di hadapanku. Aku muak melihat kalian berdua."
"Cih, jangan mentang-mentang kau memiliki segalanya, kau bisa seenaknya mengusir kami, Vas." Yasa berucap penuh arti.
"Terserah aku. Ini semua milikku," sahut Javas.
"Tanpa adanya kita kau tidak akan bisa memiliki ini semua Vas," ucap Yasa.
"Tanpa adanya kalian?" Javas berdecak dengan hinanya, "Berkacalah sebelum berucap!"
"Papa." Sari menolehkan kepalanya, melihat suaminya. Memberi isyarat untuk mengalah pada Javas.
"Ok, ok!" Yasa mengangkat tangannya, "Kau menang!" geramnya menatap mata putranya yang selalu dianggap sebagai budak kecilnya. "Papa menyerah! Papa menyerah, Vas. Kau menang." Yasa mendesahkan napasnya dengan pelan. Setidaknya untuk saat ini tidak ada gunanya berdebat dengan Javas.
"Kau dengar?" Sari tersenyum penuh arti Javas.
"Pergilah!" Javas tak pernah bosan mengusir mereka. Ia tidak mau lagi terjebak dalam pusaran kehidupan yang menakutkan seperti dulu.
"Kita akan pergi, setelah pameran mu berakhir, ok. Ijinkan kami, heum?"
Javas memundurkan langkahnya saat Sari akan menyentuh lengannya itu.
"Apa yang kalian rencanakan?" selidik Javas to the point. "Tidak mungkin hanya untuk sebuah 'Pameran'. Apalagi semua ini terjadi tiba-tiba. Tanpa pemberitahuan, tanpa ada kabar tiba-tiba setelah 10 tahun berlalu, kalian berdua muncul di hadapanku dengan wajah tanpa dosa dan seperti tidak pernah terjadi apa-apa."
"Pure. Tidak ada rencana." Yasa mengedikan bahu.
"Percayalah." Sari menyakinkan Javas. Matanya berbinar amat haru.
Memuakkan!
Javas menghela napas panjang. Matanya berkedip dengan panas. Lelah juga ternyata. Dia sampai lupa akan kelelahannya tadi.
Walau tidak mempercayai mereka 100%. Mau tidak mau untuk saat ini dia harus mempercayai mereka dengan tingkat kepercayaan yang dimiliki sebesar 0%. Waspada dan tidak boleh lengah.
Bukan menyerah!
Hanya saja….
Dia masih memikirkan pameran tunggalnya. Pemeran tunggal itu adalah mimpinya selama ini. Pameran itu menjadi prioritas utamanya saat ini. Pameran itu menjadi ajang untuk memperkenalkan karyanya dimata dunia dan keterampilannya dalam dunia pemahatan. Kedudukan serta Karir yang didapatkannya dengan susah payah tidak boleh lenyap begitu saja.
"Jangan sampai semua yang kudapatkan ini, hilang di tangan mereka."
Jika dilihat dari track record mereka yang masih menjadi muncikari dan penjual anak dibawah umur hingga sekarang, mereka pasti bisa melakukan apa saja untuk menjatuhkannya, mengancurkannya dan membuatnya menderita seperti dulu.
Demi karirnya...
"Ok," ucap Javas dengan terpaksa. "Tapi carilah penginapan. Menjauhlah dariku. Jangan tinggal di sini."
"Ok," sahut Yasa santai. Ia beranjak dari duduknya, "Papa dan Mama harus menginap dimana selama di sini?" tanyanya penuh arti. "Pameran akan berlangsung lusa dan selesai dalam waktu 3 hari. Otomatis kami akan tinggal di sini selama 1 minggu."
"Uki?" Javas mendesis dalam hati. Pasti manusia gila itu yang memberi tahu jadwalnya dan memberitahu keberadaan apartemen miliknya pada kedua orang gila ini. Hanya Uki-lah yang tahu alamat dan password dari unit apartemen yang di tinggalinya. Masalahnya bagaimana mereka bisa saling menghubungi satu sama lain? Padahal Uki tahu betul betapa bencinya Javas pada kedua orang tuanya.
"2 jam dari sini banyak penginapan." Javas berjalan melewati Sari untuk menuju kamarnya diikuti Swanna dari belakang yang masih tetap dalam mode siaga dengan geramannya yang imut.
"Hem, ok. Akan lebih baik jika kami tinggal di mansion mu, Vas."
Deg!
Dahi Javas berkerut heran.
Mansion…
"Sialan!" batin Javas menggeram penuh kekesalan.
"Papa dengar dari Uki kau memiliki mansion mewah 5 tahun lalu." Yasa menyeringai penuh kepuasaan.
Benar dugaanku!
"Kenapa tidak memberitahu kami tentang keberadaan mansion itu?" Sari bertanya dengan mata berbinar. "Beritahu kami alamat mansion itu. Kami akan tinggal di sana," lanjutnya dengan mata berbinar senang.
"Anjing liar dengan segala kutunya lebih pantas tinggal di sana, Tuan dan Nyonya," sarkas Javas menunduk penuh hormat yang menghinakan.
"Jaga ucapanmu, Vas. Aku bisa melakukan apa saja padamu." Tangannya terbentang melihat sekitar, "Apapun bisa kulakukan padamu. Karier, kedudukan dan semua yang kau dapatkan dengan sekali jentikan jari aku bisa menghancurkannya dalam sekejap." Yasa mendesis penuh emosi, "Batas kesabaranku-"
"Jaga sikap Anda, tuan!" sela Javas, "Jika Anda masih ingin menghirup udara bebas jaga perilaku dan sikap Anda selama tinggal di sini. Ingat!" Javas mendekati Yasa. Jarak mereka tak lebih dari 2 meter. "Yang berkuasa saya! Ini semua milik saya. Kekayaan, kedudukan dan popularitas ini semua milik saya. Siapa Anda?" Javas mendesis dengan kilat matanya yang tajam, "Jika Anda berniat menjatuhkan dan menghancurkan saya, jangan harap Anda bisa merasakan kepuasan surga dunia yang selalu Anda dapatkan dengan mudah. Rumah Bordil masih ada? Aman 'kan?" Javas menyeringai penuh kemenangan.
"Javas!!" seru Sari.
"Diam!!" Rahang Javas mengetat, jarinya menunjuk ke arah Sari. Sabarnya sudah sedikit menguap. "Untuk Anda bersikaplah seolah Anda tidak mengenal saya. Jangan pernah sentuh apapun dengan tangan kotor Anda. Anda tak akan mendapatkan apapun dari saya. Sepersepun! Dan saya pastikan Anda tak akan mendapatkan apapun yang Anda inginkan selama kalian berdua tinggal di sini." Javas bergantian menatap mereka dengan murka. "Jika tidak kalian akan mendekam di penjara."
"Cih, anak ingusan sudah berani mengancam sekarang, heh!" Jika bukan anaknya, habislah Javas sejak tadi ditanhgan Yasa. "Tidak tahu diuntung! Jika kita dipenjara, kau pun akan kena imbasnya."
"Tidak masalah. Kita akan mendekam di penjara bersama." Javas tertawa ringan, mengangkat bahunya dengan santai. "Hukuman kalian akan menjadi sangat berat jika anak laki-laki dan perempuan di rumah bordil menjadi saksi betapa bejat dan hinanya kalian. Hukuman mati akan lebih ringan daripada Hukuman seumur hidup dan kebiri. Pilihlah, mau langsung mati atau hidup tapi dalam keadaan setengah mati. Kehidupan di penjara sangat menyenangkan," ucap Javas menepuk-nepuk bahu Yasa untuk memperingatinya. "Jadi hiduplah dengan tenang P-A-P-A."
"Javas!!!" panggil Sari dengan raut wajah panik melihat kepergian Javas yang sudah hilang masuk ke kamarnya. Entah mengapa Sari tidak berani mengejar Javas.
"Pah?"
"Sssttt …." Yasa memijat kepalanya. Napasnya terasa berat, tubuhnya sudah tidak sekuat dulu. Berdebat dengan Javas sungguh sangat melelahkan untuknya.
"Bagaimana dengan Mahad dan Maya?"
"Sssttt …." Kali ini telunjuknya menutup bibirnya sendiri.
"Pah?" Sari mengguncang pelan bahu suaminya.
"Mereka akan tetap datang," ucap Yasa menatap lekat istrinya. "Kau siapkan segalanya. Siapakan makanan yang terbaik, ok?"
***
Salam
Busa Lin