Happy Reading
***
"Javas." Sari mengetuk pintu kamar Javas dengan pelan, takut mengganggunya.
Tidak ada jawaban. Di dalam sana Javas sedang tidur teramat pulas dengan memeluk Swanna yang matanya sudah terbuka sejak mendengar ketukan pintu diluar sana.
"Guk, guk!" lirih Swanna, takut membuat Papanya terkejut, "Pah, aku lapar." Bahasa Swanna, menjilat pipi Javas dengan ujung lidahnya.
Javas hanya mendesah pelan, mengusap pipinya yang terasa basah karena jilatan manja dari Swanna.
"Javas kau dengar Mama?" Sari mengetuk pintu lagi. "Kau masih ingat Mahad dan Maya 'kan?" lanjutnya berbicara dengan angin, "Mereka dulu pernah menimangmu, Vas. Kau ingat dengan Maya 'kan? Saat usiamu 2 tahun, wanita itu pernah menjagamu, menyuapimu, menggendongmu saat kau menangis dan …." Sari menghela napas panjang. Javas sama sekali tidak merespon dirinya. Tapi dia tetap melanjutkan berbicara sendiri dibalik pintu, supaya Javas mau membuka pintu dan mengobrol dengannya. Mengatakan baik-baik jika mereka mengundang Mahad dan Maya untuk makan malam bersama.
"Javas, Mahad pemilik perusahaan Edificio. Kau tahu 'kan? Yang gedungnya menjulang tinggi menembus awan, Vas."
"Berisik," gumam Javas dengan suara seraknya. Dia menarik napas panjang, mengisi udara sebanyak mungkin di paru-parunya. Menahannya sejenak lalu membuangnya dengan pelan. Dia benar-benar merasa terganggu dengan suara Sari diluar sana. Membuatnya mengerjap-ngerjapkan mata, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Matanya melirik jam yang tergantung di dinding.
"Hah, jam setengah …." Mata Javas menyipit memastikan sekali lagi jarum jam yang sedang bergerak, "Puhhh, setengah 7. Sudah malam ternyata," gumamnya memiringkan tubuh, menutup telinganya supaya tidak mendengar ocehan Sari di balik pintu itu.
"Javas, Vas. Ini sudah setengah 7 bangun iya? Mama ingin mengatakan sesuatu. Maya dan Mahad," Sari menelan ludahnya, dia bingung menyampaikannya harus seperti apa.
"Siapa Maya? Siapa Mahad? Usia 2 tahun mana ingat dengan semua itu. Maya? Wanita tercantik, puft … yang pasti wanita itu sudah sangat tua. Tidak mungkin akan selamanya secantik yang wanita gila itu ceritakan. Dia menimangku? Cih!" gerutu Javas sembari mengusap kepala Swanna yang mendusel masuk ke dadanya. "Lagipula semua wanita itu menakutkan, menyebalkan, menjijikan dan amat binal." Bulu kuduk Javas berdiri kala mengingat kejadian masa kelamnya dengan seorang wanita tua yang memaksanya untuk memuaskan nafsu wanita tua saat itu.
"Hoek, ughh!"
Nyeri! Sekujur tubuhnya terasa sakit jika mengingat hal itu lagi. Dadanya semakin sesak dan sakit. Jantungnya seakan mau meledak dan perutnya teramat perih seperti ada sesuatu yang menekan lalu menariknya dari dalam membuat lambungnya melilit tidak terkendali.
"CUKUP!!" teriak Javas, terduduk dengan napas terengah.
"Javas, kita mengundang mereka untuk dinner malam ini. Maaf tidak meminta ijinmu."
"Sial!" seru Javas dengan nada kesal. "Keterlaluan!!" teriaknya lagi. Bisa-bisanya mereka mengundang manusia ke apartemenya yang tidak pernah terjamah oleh siapapun. Uki saja tidak pernah diizinkan datang kemari.
"Dengan atau tanpa ijinmu mereka akan tetap datang. Terserah kau mau menemui mereka atau tidak." Yasa menepuk bahu Sari, memberi isyarat untuk menyudahi membujuk Javas. "Percuma, Sar."
"Tapi Mama harap kau akan menemui mereka, Vas. Setidaknya sapa mereka nanti, iya? Akan ada Ocean, putra mereka. Dia seumuran denganmu, Vas." Sari mengetuk kamar Javas lagi, berharap Javas menurutinya.
"PERGI!" teriak Javas membanting tubuhnya kembali ke kasur, menutup telinganya dengan bantal.
"Kau yang akan rugi, Vas. Mereka orang kaya. Kau bisa meminta apapun pada mereka. Mereka bisa membuat toko mebelmu lebih bersinar dan sebesar perusahaan mereka. Kau tahu siapa Mahad dan Maya? Kau tahu siapa Ocean, Vas?" Sembari mengatakan hal itu, Yasa menarik tangan Sari berjalan meninggalkan kamar Javas untuk menyambut kedatangan sahabat lamanya.
"Papa punya kartu As keluarga mereka, Vas. Jika berubah pikiran bergabunglah dengan kami, hem." Suara Yasa sedikit mengeras saat mengucapkan kalimat terakhir.
"Bukan urusanku! Dasar menjijikan!" Javas mendengus kesal. Mereka masih seperti dulu, selalu memikirkan uang, uang dan uang.
"Apa tidak ada cara lain untuk memperkaya diri. Haruskah memakai cara hina seperti itu lagi. Selalu mengancam seseorang dengan cara menjijikan." Javas bergumam dalam diamnya.
Kenapa dia bisa terlahir dari rahim seorang wanita yang tidak layak dipanggil Ibu? Kenapa juga harus pria menjijikan itu yang menyumbangkan benih di dalam rahim wanita itu dan menghasilkan anak seperti dirinya. "Argh sial! Kenapa juga aku lahir ke dunia ini," gerutunya dengan suara penuh tekanan di ujung kalimatnya.
"Sial! Apa yang akan mereka lakukan pada keluarga … siapa tadi namanya? Mahad? Maya? Dan putranya, siapa namanya?" Javas mengedipkan mata berulang kali dibalik bantal yang menutupi kepalanya. "Bukan urusanku juga, aku hanya ingin mereka cepat pergi dan memberi pelajaran pada Uki. Uki, kau akan babak belur di tanganku, Ki." Javas menutup matanya kembali, melanjutkan tidurnya yang sempat tertunda.
Sebelum pamerannya berlangsung masih ada yang harus Javas kerjakan. Burung Phoenixnya, semoga sudah mengering dan mendapatkan warna seusai keinginnanya. Dia masih harus mengecek gedung yang akan digunakan untuk pamerannya, menata letak hasil pahatan yang terukir sempurna sesuai dengan apa yang diinginkan.
Tidak ada waktu untuk memikirkan segala sesuatu yang menyebalkan.
Guk!
Guk
Guk!
"Hish!"
***
*
*
*
***
Pintu lift terbuka…
Pertemuan ini mengisyaratkan banyak hal. Setelah bertahun-tahun lamanya. Mereka berempat bertemu dalam lingkar persahabatan yang tidak sehangat dulu. Banyak hal yang sudah mereka lalui saat masih muda dulu. Kini usia mereka sudah lanjut, tidak semuda dulu tapi kobaran jiwa muda mereka masih terasa hingga saat ini.
Tidak ada sambutan atau pelukkan hangat di antara mereka, yang ada hanya ketegangan dan kecanggungan.
Mahad menggenggam tangan Maya dengan erat. "Ada aku, Maya," bisiknya mengingatkan Maya sekali lagi.
Maya mengangguk paham. Melepas genggaman tangan suaminya. Dia lebih memilih merangkul erat lengan Ocean, supaya suaminya tidak terlalu mengkhawatirkan dirinya.
"Masuklah." Yasa mempersilahkan mereka memasuki lift.
Dengan anggukan kepala ringan mereka bertiga masuk tanpa bersuara.
Entah mengapa berdiri di samping Mahad membuat Yasa benar-benar merasa canggung dan terintimidasi. Proporsi tubuh mereka sama-sama besar dan sama-sama tinggi tapi ada sesuatu yang membuatnya canggung untuk memulai obrolan. Dulu Mahad tidak seperti ini. Mahad muda masih terlihat selengean dan berandalan tapi lihatlah dia sekarang, untuk menyapanya saja membuat suara Yasa tertahan di tenggorokan.
Apa ini karena masa lalu mereka berempat yang pernah dilalui bersama? Apalagi rahasia kisah cinta antara Mahad dan Maya. Yasa tahu akan hal itu. Apakah Ocean tahu jika wanita yang sedang dirangkulnya dengan penuh kasih sayang adalah wanita pelacur yang rela menjual tubuhnya pada pria maupun wanita?
Dan, hei? Astaga! Lihatlah Maya si pelacur murahan yang sekarang berdiri di samping istrinya. Semakin berumur semakin cantik dan seksi saja tubuhnya. Kulitnya semakin bersinar dan bibirnya, hem. Beda jauh dengan istrinya yang semakin berumur kulitnya semakin keriput dan mengendur. Padahal biaya perawatannya sangat mahal tapi tetap saja tidak merubah apapun yang ada di tubuh istrinya, malah semakin aneh dan terlihat menakutkan.
"Hem." Yasa mengusap dagunya, matanya dengan intens melihat Maya di pantulan dinding lift yang tidak terlalu terhalang oleh badan kekar Mahad, "Pasti Mahad selalu puas mendapatkan service terbaik. Dan Maya? Masih bisa bermain tidak dengan seorang wanita?" ucapnya tertawa kecil di dalam hati.
Dan Ocean? Jika dilempar ke rumah bordilnya pasti dia akan jadi primadona nomor wahid dan menjadi rebutan. Rumah bordilnya akan sangat ramai jika kedatangan Pria tampan yang teramat imut dan manis namun secara bersamaan terlihat dingin. Sama seperti Javas dulu. Tipe Ocean dan Javaslah yang paling disenangi oleh para pelanggannya. Bisa saja Ocean menggantikan Maya menjadi wajah dari rumah bordil peninggalan mertuanya dulu.
Hem…
Sedangkan Ocean yang berada ditengah-tengah mereka merasa ada yang aneh dengan situasi ini. Katanya mereka bersahabat tapi tidak ada raut wajah kegembiraan atau sapaan yang ramah dan ringan yang diperlihatkan. Mereka justru terlihat seperti musuh.
"Ehem …." Ocean berdehem, berujung pada batuk yang tidak disengaja. Dia dengan salah tingkah membenarkan posisi berdirinya di dalam lift. Suasana ini terlalu kaku, tegang dan atmosfernya tidak menyenangkan. Mereka berempat seperti 2 kutub magnet yang saling berlawanan. "Uhuk … uhuk."
"Ada apa, Oce?" tanya Maya mengusap dada Ocean dengan raut wajah cemas. Maya benar-benar tidak nyaman dengan situasi ini. Dia merasa sejak tadi walau secara tak langsung tatapan Yasa seperti menelanjanginya, mengorek masa lalunya yang kelam. Pikir Maya dia akan baik-baik saja, nyatanya tidak. Dia masih ingat semuanya.
Ocean hanya menggeleng, "Terlalu sepi, padahal kita berlima, Mah." Sindirnya melihat punggung Papanya yang terlihat sedang menyembunyikan sesuatu. Sejak tadi Papanya sama sekali tidak mengeluarkan suara atau memulai obrolan terlebih dulu.
"Ahh, maafkan kami, Ocean." Yasa berucap tanpa membalik badannya, "Kau pasti merasa canggung berdiri diantara manusia tua ini."
Tidak ada yang tertawa dengan candaan yang dikeluarkan Yasa.
"Hem, mana bau tanah lagi. Sangat kaku."
"Oce, jaga ucapanmu," sahut Mahad melihat Ocean dari ujung matanya tanpa membalik badan.
"Oce," Maya mencubit kecil lengan Ocean. "Yang sopan, sayang."
"Maaf," bisik Ocean, mengecup pelipis Mamanya dengan lembut.
Sari yang berdiri di samping Maya benar-benar sangat iri melihat kemesraan serta keakraban ibu dan anak ini. Sejak tadi Ocean sama sekali tidak melepas rangkulan Maya, malah Ocean semakin erat saja melindungi Maya. Seolah Maya adalah Makhluk paling rapuh yang butuh penjagaan.
"Cih, ku bongkar baru tahu rasa." Sari mencebik iri, dengan bibir yang semakin keriting.
Mata Sari beralih melihat Mahad, pria yang selalu terlihat seksi dan penuh dengan kharisma yang bergairah. Getarannya sama seperti tahun-tahun dimana dia untuk pertama kalinya bertemu Mahad. Pertama kalinya jatuh cinta dan pertama kalinya menginginkan seorang pria memasuki dirinya.
Hem, sayangnya Mahad lebih mencintai Maya dibanding dirinya. Mahad lebih memilih membawa pergi Maya dibanding dirinya.
"Karena kau! Javas ada!" geram Sari dalam hati, "Andai kau tak menolakku, aku tak akan memiliki anak dengan Yasa. Kau malah memilih Maya, wanita yang justru tidak pernah mencintaimu. Dan Ocean … cih, dia sangat mirip dengan Maya. Kau tidak jijik hidup selama bertahun-tahun dengan Maya, Mahad?" Sari mencibir dalam hati.
…
Guk!
Guk!
Guk!
Saat pintu kamar terbuka, Swanna langsung berlari menuruni anak tangga dengan cepat. Meninggalkan Javas yang bersandar pada pintu kamarnya dengan rambut acak-acakan dan masih mengenakan kaos oblong dengan celana boxer kuning gemesnya.
"Stay, Swan!!" teriak Javas. "Kenapa semua wanita seenaknya sendiri, sih?!" gerutunya, terpaksa menyeret kakinya untuk melangkah, "Ingat! Tidak ada kefir hari ini! Kau sedang ku hukum makhluk menyebalkan!"
Guk!
Guk!
"Diam! Akan kucabut kumismu, Swan!" seru Javas, suara gonggongan Swanna terdengar sangat mengejek ditelinga Javas.
Dan suara gonggongan Swanna pula yang membuat kelima orang yang baru keluar dari lift terdiam, berdiri pada tempatnya. Mereka berlima seolah kompak menyaksikan tingkah seekor anjing seputih salju yang sedang berputar-putar dengan kepala mendongak keatas, ekornya mengibas kekanan dan kekiri dengan begitu bahagianya seolah anjing ini sedang menunggu seseorang dari atas sana.
Guk!
Guk!
"Eh, anjing ini? Ini 'kan?"
Gluk!
"Anjing yang sama bukan?"
***
Salam
Busa Lin