Happy Reading
***
"Ikut tidak?" Javas menolehkan kepalanya, melihat Ocean yang masih diam di tempatnya.
"Ikut. Daripada aku di sana sendirian." Ocean dengan bibir mengerucut kesal mengikuti kemana langkah Javas pergi. Entah mengapa ia menurut saja apa perkataan Javas.
Di belakang, ia sangat menikmati punggung tegap Javas. Imajinasinya sedang bermain saat ini dan rasa penasarannya pun mencuat saat melihat siluet tubuh bagian dalam milik Javas yang bergelombang. Bagaimana jika punggung itu tak berkain, polos tanpa busana? Apakah akan terlihat lebih seksi dari ini, lebih menggairahkan, atau ...
Astaga, Ocean Cakrawala! Sadarlah kau pria, Oce! Cari topik pembicaraan supaya pikiranmu aman, ok!
"Vas?" Ocean mencoba membuka obrolan.
"Heum?"
"Kudengar kau memiliki toko mebel."
"Hem."
"Dan pabriknya?"
Javas mengangguk pelan. Ocean benar-benar sangat penasaran dengan Javas. Susah sekali mengajaknya berbincang.
"Wah, hebat juga kau, Vas."
"Tidak juga," ucap Javas, sembari membuka pintu geser menuju balkon, "Masuklah." Javas mempersilahkan Ocean berjalan lebih dulu.
"Sudah berapa lama kau memiliki toko dan pabrikmu, Vas?"
Javas tidak menjawab pertanyaan Ocean, justru dia balik bertanya padanya, sembari membuka pintu kulkas yang memang disediakan di ruangan itu.
"Kau suka apa?"
"Su-suka apa ... apanya yang suka?" tanya Ocean dengan gugup. Setiap kali Javas bertanya membuatnya selalu kelabakan dalam menjawab.
"Soft drink, alkohol, Atau…"
"Tidak. Air mineral saja," ucap Ocean lemas. Dasar menyebalkan! Memang apa yang kau harapkan, Oce!
Tanpa memberikan aba-aba, Javas langsung melemparkan botol air mineral ukuran 330 ml pada Ocean.
"Javas!" seru Ocean kelabakan menerima botol itu, hampir saja terjatuh dari tangannya jika tidak langsung dicengkram dengan kuat. "Bisa lembut sedikit?"
"Untuk apa? Kau pria 'kan?" Javas membuka klep minuman kaleng yang di pilihnya, dan langsung meminumnya di depan Ocean sembari meliriknya sekilas. Di sana terlihat jelas jika Ocean sedang menyembunyikan wajahnya yang memerah.
Ocean tidak menjawab, dia lebih memilih meminum air itu karena semua perlakuan Javas membuatnya panas dan kegerahan. Setidaknya air minum yang tidak ada rasanya ini bisa mendinginkan otaknya yang sedang beku. Benar kata Javas. Dia seorang PRIA! Dasar, apa sih yang kau pikirkan, Oce!
"Apa pekerjaanmu, Vas?"
"Seniman." Javas meneguk minuman itu secara perlahan.
"Seniman 'kan banyak jenisnya, Vas. Kau seniman apa? Pelukis? Pemain musik? Atau apa?" tanya Ocean sangat gemas.
"Pembuat patung."
"Pembuat Patung?" Ocean memutar matanya, berpikir dengan keras tentang pekerjaan Javas. "Kayu atau batu?"
"Kayu," jawab Javas singkat.
"Kayu? Astaga!" seru Ocean menepuk tangannya sendiri lalu ia tersenyum lebar, "Aku tahu. Kau pemahat atau pengukir?" Ocean bertanya dengan sangat antusias.
"Keduanya."
"Serius?" Ocean berteriak senang, akhirnya dia tahu profesi Javas. "Kau hebat, Vas." Dua jempolnya mengacung dengan sempurna, memberikan penghargaan yang tulus pada Javas.
Mendapat perlakuan yang begitu menggemaskan dari pria ini membuat Javas hanya bisa mengembangkan senyumnya setipis mungkin. Padahal didalam hatinya, dia ingin berteriak kencang karena mendapat pujian seperti itu.
"Boleh aku melihat hasil karyamu?"
Javas mengangguk sekedarnya.
"Ok, kapan-kapan aku akan main ke tokomu."
"Silahkan."
"Dan bolehkah aku main ke pabrikmu?" Ocean bertanya lagi.
Lagi, Javas hanya mengangguk, mengiyakan.
"Atau di sini ada hasil karyamu? Di mana? Tunjukkan padaku, hem?" rengek Ocean ingin melihatnya. Matanya menatap Javas penuh harap.
Kali ini Javas menggelengkan kepalanya, yang artinya tidak ada. Javas mengeratkan giginya untuk menahan segalanya. Jika Ocean miliknya, entah bagaimana nasibnya kini. Bisa-bisa dia menghabisi Ocean di atas tempat tidurnya hingga pagi menjelang karena pria berwajah dingin nan imut ini telah berani menunjukkan tatapan mata yang begitu menggemaskan dihadapannya. Hish, sial!
"Ok tidak masalah. Aku akan datang ke tokomu," ucap Ocean dengan suara penuh kekecewaan.
Hening sejenak lantas Ocean mengeluarkan suaranya lagi, membuat Javas menggelengkan kepalanya dengan heran.
"Javas."
"Heem ..."
"Patung apa yang kau buat? Patung hewan? Tanaman? Atau bangunan?"
"Bangunan?" Dahi Javas berkerut. Bangunan, sepertinya dia tidak pernah membuat hal semacam itu.
"Hem, semacam bangunan yang bersejarah, klasik atau, apa iya … yang seperti monumen itu lho, Vas. Salah satu dari itu, apa yang kau buat?" Ocean tetap bertanya, ia pantang menyerah jika ingin mengetahui sesuatu.
"Manusia," jawab Javas sesingkat mungkin. Javas berharap jika Ocean tak menanyakan apapun lagi.
"Heeh, Manusia?" Ocean berkedip tak percaya, lebih tepatnya lagi-lagi dia belum mengerti maksud Javas. "Maksudnya? Patung manusia yang seperti ini?" Ocean menunjuk dirinya sendiri sebagai contohnya.
Lagi-lagi Javas hanya mengangguk, "Mau kubuatkan?"
"Dibuatkan apa?"
"Patungmu."
"Caranya?"
"Cukup bertelanjang."
"Uhuk!" Ocean terbatuk mendengar penuturan Javas. "Jangan main-main, Vas."
"Aku tidak pernah main-main." Javas menatap lekat mata coklat milik Ocean yang terlihat bersinar, "Nanti akan kuukur setiap jengkal tubuhmu."
"Dengan?" Ocean menelan ludahnya. Sepertinya ada yang aneh dengan dirinya, dia terbius dengan mata biru milik Javas yang sangat tajam sekaligus indah.
"Terserah, kau. Mau menggunakan alat meteran atau ...."
"Atau?"
Gluk!
"Langsung menggunakan jariku?" Javas merentangkan kelima jarinya di depan wajahnya sendiri.
"Dengan jarimu? Cara kerjanya?"
"Kau akan tahu jika kau mau," ucap Javas dengan nada penuh seduktif. Berharap Ocean tahu tentang artinya.
"Eh … i-itu, a-aku," Ocean meneguk minuman itu hingga tandas. Sialan!
"Mau?"
"Tidak perlu, terima kasih, Vas." ucap Ocean salah tingkah, sambil menelan ludahnya. Air itu tidak membantunya sama sekali.
"Kau akan jadi pelanggan pertamaku jika kau mau."
"Pelanggan pertama? Bohong. Mana mungkin!" Ocean berucap sembari tertawa kecil yang ditahan, di sini benar-benar sangat panas dan membingungkan.
"Heum, kau akan menjadi pelanggan pria pertama untukku."
Pria pertama? Apa maksudnya. Kenapa aku jadi loading seperti ini.
"Sebelumnya?"
"Wanita. Sesekali aku ingin membuat patung pria. Mau?" Javas masih menawarkan jasanya. Biasanya siapapun tidak akan menolaknya.
"Ahh, tidak, terima kasih. Eh, ehem. Akan ku pikirkan, Vas." Ocean tersenyum dengan sangat canggung.
"Ok, pikirkanlah." Javas mengangguk kecil.
"Oiya, Vas," Ocean berusaha mengalihkan pembicaraan ini. Benar-benar ada yang salah dengannya. "Kudengar kau akan mengadakan pameran?"
Javas menganggukkan kepala sebagai respon pertanyaan Ocean.
"Pasti kau sangat sibuk?"
"Tidak juga. Aku masih punya waktu untuk berkencan."
"Berkencan? Kau sudah memiliki kekasih? Ah, aku tahu pasti pacarmu sangat banyak 'kan?"
"Tidak."
"Benarkah? Tadi kau bilang masih punya waktu berkencan. Berarti kau sudah memiliki–"
"One night stand," sela Javas dengan cepat.
"Ohhh, menyenangkan?" Ocean bertanya dengan begitu polosnya karena ia memang belum pernah merasakan hal itu.
"Menyenangkan jika kau menikmatinya. Kau mau?"
"Ma-mau apa?"
Javas menggeleng pelan, dia hanya bisa tersenyum kecil dengan pertanyaan spontannya. Jika di klub malam dia tak akan repot untuk mencari pasangan yang digunakannya sekali untuk semalam. Jika ia menyukainya sebagai mainan akan berlanjut ke tahap berikutnya jika tidak, iya, sudah akan ditinggal begitu saja.
Dalam hidup, setelah terlepas dari rumah bordil itu, Javas tidak pernah menawarkan dirinya tapi merekalah yang menawarkan diri dengan sukarela padanya. Bahkan ada yang sampai bertekuk lutut di bawah kakinya untuk dipuaskan dan menerima cambukan darinya dengan tubuh terbuka. Aneh bukan!
"Bagaimana denganmu, Oce?"
"Akhirnya kau menyebut namaku, Vas." Ocean tersenyum dengan senangnya.
"Heuh?" Javas mengerutkan alisnya dengan bingung.
"Ah, maksudku ini, Vas. Apa yang ingin kau tahu tentang diriku?" Ocean balik bertanya. Dia menatap lekat mata Javas. Untuk ukuran pria, mata milik Javas benar-benar sangat indah dan mempesona. Birunya sangat jernih, dalam dan misterius.
"Tidak ada," ucap Javas menghela napas panjang.
Yah, ih! Dasar kaku! Nyebelin! Pertemuan pertama tidak ada ramah-ramahnya! umpat Ocean dalam hati.
"Ok, baiklah. Kau tadi sudah bertanya padaku. Aku akan memberitahu siapa diriku padamu, dengarkan aku baik-baik, Vas." Ocean memajukan satu langkahnya didepan Javas, berdiri di sampingnya.
"Aku calon pemilik perusahaan Edificio." Ocean menepuk dadanya sekali. Antara bangga dan tidak bangga dengan statusnya itu. "Kau tahu perusahaan itu?" Ocean mencebikkan bibir dengan gemas. Pada akhirnya dia juga yang memberitahu siapa dirinya pada Javas.
Javas mengangguk ringan sebagai jawaban.
"Ok, kau tahu. Aku putra satu-satunya dari Tuan Mahad dan Nyonya Maya, kau tahu 'kan? Yang tadi bertemu denganmu, dan Papaku ternyata yang memberikanmu nama. Kau tak perlu khawatir, nanti aku yang akan bertanya pada Papa, bagaimana Papaku bisa memberikanmu nama, Ok."
"Ok," ucap Javas, mengangguk ragu.
"Yang perlu kau tahu, Aku hanya meneruskan usaha Papa. Tidak lebih, paham!" Javas mengangguk mengerti sembari menahan tawanya, "Separuh hidupku tinggal di luar negeri, otomatis aku adalah lulusan terbaik dari universitas luar negeri. Baru kembali 3 tahun yang lalu dan langsung meneruskan usaha Papa tanpa pelatihan, tanpa pengalaman dan tanpa bantuan … oh, ada, aku memiliki sekretaris, namanya Husni, dia yang membantuku selama 3 tahun belakangan ini. Setelah itu, apa iya?" Ocean berpikir, ada tidak tentang dirinya yang belum diberitahukan pada Javas.
"Sepertinya, tidak ada. Oh ada satu lagi, Vas."
"Apa?" tanya Javas, yang jadi ikut penasaran karena melihat wajah Ocean yang amat menggebu-gebu saat sedang bercerita.
"Aku sudah memiliki kekasih."
"Kekasih?" Javas membulatkan matanya tidak percaya.
"Heum." Ocean mengangguk dengan sangat cepat, dia jadi merindukan Qanshana kekasihnya itu. "Dia wanita yang amat manis."
"Wanita?" Javas semakin tidak percaya.
Ocean mengangguk mantap.
"Eh, aku tidak salah dengar 'kan?" gumam Javas dalam hati, "Apa aku yang salah kira."
"Ada lagi yang ingin kau tahu dariku?" tanya Ocean dengan wajah yang sangat antusias. Dia siap menjawab apapun pertanyaan yang Javas tanyakan.
"Tidak ada," ucap Javas dengan suaranya yang serak. "Tapi kau sangat menarik," lirihnya, berdehem halus. Dan hal itu terdengar sampai ketelinga Ocean.
***
Salam
Busa Lin