Happy Reading
***
Menuruti perintah Papanya–Tuan Mahad Cakrawala, Ocean selama 3 hari ini disibukkan dengan berbagai urusan kantor. Yang dilakukannya dari pagi hingga menjelang malam sampai pagi menyapa kembali–hanya pergi kekantor, mengikuti rapat, pergi kelapangan untuk survei pekerjaan lantas kembali ke kantor, bertemu klien dan membereskan semua dokumen-dokumen yang tidak pernah ada habisnya untuk ia selesaikan.
Semua pekerjaan dan segala gerak-geriknya tak lepas dari pengawasan Kundari Restiana-sekretaris Papanya yang biasa dipanggil Kun. Dipanggil Kun supaya terlihat lebih maskulin karena perawakan Kun memang tegas, dingin dan amat cekatan. Di usianya yang menginjak 35 tahun Kun masih betah melajang. Entah, pria mana yang akan mendapatkan wanita segalak dan sekejam Kun. Jika mengingat betapa dinginnya sikap Kun padanya, membuatnya selalu bergidik ngeri jika berdiri di samping Kun.
"Kenapa Papa bisa menemukan wanita galak itu untuk menggantikan Pak Ilham?!" Pertanyaan ini selalu menjadi bahan gerutuan Ocean jika Kun mulai memberitahu jadwalnya tanpa jeda. Pak Ilham adalah sekretaris Mahad Cakrawala yang meninggal 10 tahun yang lalu, saat usia Ocean baru menginjak 15 tahun.
Sedangkan Husni–sahabat sekaligus sekretarisnya. Dia sudah menjadi kaki tangan dan orang kepercayaan Papanya untuk mengawasinya selama 24 jam penuh. Husni secara terang-terangan mengatakan padanya, "Tuan Mahad membayarku 1 juta/jam untuk mengawasimu selama 3 hari. Jadi kau hitung sendiri berapa gajiku selama 3 hari dan tugasku hanya mengawasimu, ada Kun yang menjadi sekretarismu sementara, ok."
Walaupun Ocean sudah menunjukkan wajah melas dan mohon belas kasih dalam tatapan matanya untuk meminta kemerdekaannya dan memohon untuk tidak ada pengawasan yang terlalu ketat seperti ini pada kedua orang itu namun mereka selalu menggeleng dengan tegas dan menunjukkan wajah seram sekaligus geraman yang menakutkan untuknya.
Ocean pasrah. Mau mengeluh pun tak bisa. Ingin meminta pertolongan Mamanya, untuk membujuk Papanya pun tak bisa karena Mama selalu dalam kendali penuh Papanya.
Ujung-ujungnya Papa akan mengatakan, "Kau itu anak laki-laki Papa satu-satunya, Oce. Jika bukan kau yang meneruskan bisnis ini, siapa pagi? Apa Papa harus memungut anak lantas membuangmu? Itu maumu, hah!"
Ok … ok? Daripada jadi anak jalanan, lebih baik menyelesaikan apa yang sedang dikerjakannya.
Dan taraa … tanpa terasa … bukan tanpa terasa tapi sangat amat terasa.
Hari ini adalah hari dimana ia mendapatkan kebebasannya. Ini adalah hari dimana Javas akan mengakhiri pemerannya yang berlangsung selama 3 hari dan selama 3 hari juga, ia tidak bisa bertemu dengan kekasihnya–Qanshana. Jangankan bertemu secara nyata, menghubunginya via suara saja sangat jarang.
Ocean sangat merindukan kekasihnya itu dan dirinya pun sangat merindukan Javas. Ia ingin bertemu dengan kedua orang itu sekaligus.
...
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Setelah membereskan beberapa laporan pekerjaan, Ocean dengan langkah seribu bayangan keluar dari kantornya dengan langkah ringan dan tanpa beban. Kepalanya yang hampir meledak mendadak ringan karena semua beban terasa menghilang begitu saja saat Kun mengatakan, "Anda bebas dari saya namun Husni akan bersama Anda hingga pukul 12 malam, tuan. Besok Tuan Mahad akan kembali pukul 10 pagi bersama Nyonya Maya. Jadi saya harap tuanku Ocean sebelum pukul 10 sudah kembali pulang."
"YES!!" Ocean bersorak dalam hatinya karena bisa terlepas dari makhluk kaku seperti Kun. Ia tak sabar menunggu pintu lift ini terbuka. Sudah tak sabar ingin melihat pameran Javas lalu menemui kekasihnya.
Ocean melihat jam tangannya kemudian menghembuskan napas dengan pasrah. "Ini pukul 11 malam. Tidak mungkin masih buka."
"Ada apa?" Husni yang berdiri disamping Ocean sedikit terganggu dengan kegelisahan yang Ocean berikan, karena ia sedang mencari sesuatu lewat portal online.
Cih! Ocean berdecak kesal melihat Husni yang tak kunjung membebaskannya.
Ting!
Terbuka! girang Ocean dalam hati.
"Kau tetap akan mengikutiku menemui Qanshana." Ocean menghentikan langkahnya, saat mereka berdua keluar dari lift guna menuju basement. Gerah juga jika kemana-kemana diikuti oleh Husni yang menempel seperti perangko.
"Heum, itu perintah Tuan Mahad. Aku masih punya waktu bersamamu hingga pukul 12 malam." Husni sangat acuh saat menanggapi ketidaksukaan Ocean padanya. Sudah menjadi tugasnya mengawasi Ocean selama 24 jam jika kurang sedikit saja pasti ia tidak akan mendapatkan gajinya.
"Astaga! Ini malam terakhir, Husni!! Hanya kurang 1 jam, kau tak akan kehilangan uangmu!"
"Aku mengharapkan bonus juga," ucap Husni semakin meledek Ocean.
"Dasar mata duitan!" Ocean mendelik kesal pada Husni, lagi-lagi hanya dibalas gedikkan bahu oleh Husni.
"Bisa tidak, biarkan aku sendiri?"
"Aku akan mengantarmu sampai kau tiba dengan selamat di apartemen Qanshana. Deal!" Husni melangkahkan kaki menuju mobil kesayangan Ocean. Ia yang akan menyetir, memastikan jika Ocean benar-benar akan ke apartemen Qanshana bukan ke pameran … siapa namanya? Javas, iya … Javas. Entah mengapa, Tuannya tak mengijinkan jika putranya itu datang ke pameran Javas. Padahal setelah ia mencari tahu, Karya seniman Javas Deniswara sangat menakjubkan dan indah.
"No!! Aku akan menyetir sendiri! Kau pulanglah dengan mobilmu!" Protes Ocean. "Aku ingin bermanja-manjaan dengan Qanshana ku. Kau mau melihatku bercinta dengan Qanshana, heh?!"
"Jika perlu," ucap Husni tanpa sadar.
"Hus–ni," Ocean mengangkat alisnya, memanggil nama Husni dengan sedikit mendramatisirnya.
"Eh?!" Husni dengan salah tingkah menggeleng dengan cepat, "Bukan itu maksudku, Oce. Hanya saja kemanapun kau pergi 24 jam penuh aku harus bersamamu. Lagi pula kurang 1 jam lagi. Bersabarlah. Waktunya juga pas untuk mengantarmu."
"Hish!! Ini sudah pukul 11 malam, Hus."
"Yeah, I know! Siapa tahu kau tetap akan datang ke pameran itu. Bisa-bisa aku tidak mendapat uangku." Husni mengedikan bahu lantas meminta kunci mobil pada Ocean.
"Apa?" sentak Ocean mendengus kesal.
"KUN-CI MO-BIL!! Anak manja!"
"Cih! Sekali lagi kau mengatakan itu, aku akan memecatmu!" Ocean melempar dengan asal kunci mobil miliknya dan dengan sigap Husni menangkapnya sembari menertawakan wajah Ocean yang keras dan memerah menahan marah.
"Kau tak akan memecatku sampai aku mati, Oce." Husni berdecak gemas melihat tingkah Ocean, jika dipikir-pikir sikap Ocean yang merajuk seperti ini, seperti anak kecil yang tak mendapat apa yang dimau.
Ocean hanya diam, tak menanggapi candaan Husni.
"Masuklah, Oce." Husni melunakkan suaranya. Umur mereka sama, perawakan mereka pun sama besar. Tapi entah mengapa ia selalu mengalah, lebih tepatnya tak suka jika melihat Ocean cemberut seperti ini padanya. Padahal mereka sama-sama pria atau memang Ocean terlalu imut untuk menjadi seorang pria.
"Ehem … maaf. Masuklah, aku yang salah."
"Setuju!" Ocean menepuk tangan sekali karena senang, akhirnya Husni menyadari kesalahannya. "Ayo, aku sangat merindukkan Qanshanaku," ucapnya, mamasuki mobil dengan nada penuh kemenangan.
Lagi-lagi Husni menggeleng gemas melihat sikap Ocean.
Mobil melaju membelah jalanan kota yang masih terlihat ramai. Ocean menatap sayu lampu-lampu jalanan kota yang masih terang benderang. Setiap detiknya, ia menyesal sekaligus kecewa karena tidak bisa datang ke pameran milik Javas. Ia tak bisa kemana-mana, tak bisa menghubungi Javas karena ia tidak memiliki nomor ponsel Javas.
Selama 3 hari ini Ocean hanya memantau perkembangan pameran Javas dari beberapa media yang hanya sekilas memberitakan pameran Javas. Dan menurut berita yang tadi pagi ia dengar jika ke-15 karya Javas hanya tersisa 2 yaitu burung phoenix yang diberi judul 'Paradise' dan patung wanita yang diberi judul 'Butterfly'.
Dan ternyata sore tadi si 'Butterfly' pun sudah terjual dengan harga yang sangat fantastis. Entah mengapa Javas masih menyisakan 'Paradise'.
"Ada apa? Kenapa diam?"
***
Salam
Busa Lin