Happy Reading
***
"Selamanya jangan pernah menginjakkan kaki lagi di tempat menjijikan ini!" Mahad menatap tajam gedung apartemen Royal King dari bawah. Ia benar-benar marah dan sangat ingin membakar apartemen itu karena disana hiduplah manusia bernama Yasa. Seseorang yang telah menghina isteri dan putranya yang teramat dicintainya.
"Apa yang terjadi sebenarnya, Pah?" Maya bertanya dengan napas memburu lelah. Mengikuti langkah suaminya, yang sedang dirangkul Ocean dari belakang. Maya tak di izinkan untuk ikut merangkul suaminya karena putranya khawatir jika dirinya terkena kibasan tangan suaminya yang sedang emosi.
"Pah?" panggil Maya dengan suara sengau, berusaha meraih lengan suaminya. Wajah cantiknya terlihat sangat mengkhawatirkan suaminya. Sudut bibir suaminya pecah dan lebam, karena mendapat pukulan dari Yasa.
Entah apa yang mereka perdebatkan sampai terjadi perkelahian di antara keduanya.
"Sst, diamlah, Maya!" seru Mahad, mengibaskan tangan maya.
"Papa!" Ocean berseru lantang dan langsung memegang tangan Mamanya yang sedikit terhuyung.
"Hish!" Mahad mengusak-asik rambutnya, "Maafkan aku, Mah. Kau tidak apa-apa?" tanyanya lirih. Yang ditanya hanya menggelengkan kepala, sembari menerbitkan senyum seindah bulan sabit yang sedang bersinar di malam ini.
***
"Pah, ini mau jalan kaki atau bagaimana? Mobil kita masih disana?" tanya Ocean. Saat ini ia lebih memilih berjalan bersama Mamanya di belakang Papanya. Sepertinya emosi Papanya belum reda juga. Tubuh tegap Papanya masih terlihat tegang dan masih menguarkan aura yang mengerikan.
Lebih baik berjalan bersama Mamanya, daripada berjalan dengan harimau tua yang penuh emosi.
Yang ditanya hanya diam saja. Mahad lebih memilih bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia sedang menimbang-nimbang, bagaimana hukum yang berjalan di tempat tinggal Yasa. Ingin sekali dirinya meruntuhkan rumah bordil yang tak pernah terjamah oleh sentuhan hukum. Kadang ia berpikir, apakah kekuasaannya bisa meruntuhkan usaha yang mendapat kuasa legal dari pemerintah itu?
Hish?! Andai saja, semua petinggi negara mau memihakku! Dengan sekali jentikan jari,, aku akan merobohkan rumah bordil itu.
Apakah kepuasaan seksual lebih penting daripada kepuasaan moralitas yang teramat minim? Wanita penjual kenikmatan, narkoba, minuman keras dan senjata ilegal. Apakah bisa disingkirkan dari muka bumi ini?
Ia hanya bisa menyelamatkan satu wanita yang kini menjadi istrinya. Masih banyak wanita dan pria muda yang terjerat dalam lingkar perdagangan manusia untuk kebutuhan seksual. Beruntungnya putranya lahir sebagai keluarga terhormat dan terpandang. Ia bisa melindungi Ocean dengan segala kekuasaan yang dimilikinya.
Bagaimana dengan Javas? Selama hidupnya dia baik-baik saja 'kan? Apakah anak itu menjadi korban kebringasan kedua orang tuanya juga? Apakah Javas dijual oleh mereka? Apakah Javas harus melayani para pelanggan mereka! Argh, sial! Jika itu benar, harusnya kubawa saja anak itu sesaat setelah ia dilahirkan kedunia ini.
Mahad menghentikan langkahnya sejenak, menghirup udara sebanyak mungkin. Menenangkan hati dan pikirannya.
"Benar, Maya. Harusnya aku membawa bayi tanpa dosa bernama Javas Deniswara pergi dari lingkungan yang menakutkan itu."
***
Ocean hanya bisa menghembuskan napasnya dengan gusar. Papanya sama sekali tak bersuara. Justru setiap helaan napas Papanya terlihat semakin berat saja.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa tiba-tiba Papa dan Paman Yasa berkelahi? Apa yang mereka bicarakan sampai Papa tersulut emosi. Padahal Papa jarang sekali mengamuk, kecuali jika keluarganya terkena masalah.
Papanya pernah memenjarakan teman kuliahnya tanpa ampun karena telah memukulnya–padahal itu tak disengaja. Papa juga pernah menutup paksa salah satu butik ternama karena telah menghina Mamanya yang selalu berpenampilan sederhana dan tak pernah tersorot kamera.
Aku yakin Papa punya alasan sendiri kenapa sampai memukul dan menghinakan Paman Yasa dan Bibi Sari dengan sumpah serapah yang mengerikan. Seolah sumpah itu diaminkan oleh semesta.
Huh!
Daripada pusing memikirkan sikap Papanya yang terlihat uring-uringan. Lebih baik dirinya memilih mengamati sekitar. Seru juga berjalan di trotoar malam-malam seperti ini. Banyak lampu warna-warni yang berkelap-kelip, jalanan kota pun sudah tidak terlalu ramai. Semoga saja mereka tak ketinggalan bus yang terakhir.
"Sudah lama kita tidak jalan kaki bersama iya, Mah?"
Maya hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Mama mau kugendong?" Ocean mempererat rangkulan di bahu Mamanya. Menaikkan sedikit jaket mantel yang dikenakan Mamanya.
"Tidak perlu, Mama masih kuat berjalan," kata Maya mencoba menenangkan Ocean. Ia lebih mengkhawatirkan suaminya dibanding tumitnya yang perih karena lecet.
"Papa kalau lagi gabut ada-ada saja tingkahnya," bisik Ocean, terkikih.
Maya memukul gemas perut Ocean. "Hish, kau ini. Papa memang seperti itu. Biarkan saja, nanti juga tenang sendiri."
"Kalau capek, bilang iya, Mah. Nanti Ocean akan menggendong, Mama."
Maya mengangguk, matanya tetap tertuju pada suaminya. Ia ingin memeluk suaminya saat ini juga, menenangkannya. Bahwa semua akan baik-baik saja. Maya yakin jika Yasa telah menghina dirinya didepan Mahad. Tidak mungkin suaminya akan tersulut emosi jika tidak ada pemicunya. Ia tahu betul bagaimana sifat Mahad.
...
Mereka bertiga berjalan semakin menjauhi Royal King. Menyusuri trotoar untuk menuju halte bus yang ada di seberang jalan sana. Mahad tak sudi lagi untuk kembali ke apartemen itu lagi. Biarlah mobilnya berkarat dan membusuk disana yang penting dirinya tak lagi berhubungan dengan apartemen dan makhluk hidup yang ada di sana.
Kecuali Javas. Ia harus cari tahu, bagaimana kehidupan Javas selama tinggal dengan Yasa dan Sari. Jika dugaannya benar, Mahad bisa menggunakan Javas untuk menjadi saksi. Melenyapkan rumah bordil dan segala kemaksiatan yang ada didalamnya. Mahad tak perlu lagi mengirim uang setiap bulan pada Yasa dan Sari. Separuh hidupnya digunakan untuk mengirimkan uang pada mereka dengan jumlah yang tidak sedikit. Uang itu digunakan untuk membungkam mulut mereka, mengenai status istrinya.
"Marahnya belum reda juga?" Ocean duduk disebelah Papanya. Menyerahkan obat marah dan plester pada Mamanya. Mereka bertiga duduk di emperan sebuah apotek mini yang ada di belakang halte bus.
Setiap orang yang melihat mereka, berkasak-kusuk membicarakan mereka bertiga yang penampilannya terlihat mengenaskan. Mereka berpikir jika keluarga itu sedang terlilit hutang dan baru saja dipukuli oleh rentenir yang menagih hutang.
Lihatlah. Wajah Mahad babak belur dengan pakaian yang acak-acakkan. Maya terlihat berkeringat, pucat, lelah dan tumit kakinya pun lecet. Wajah putih Ocean terlihat pucat dan kelelahan seperti kekurangan darah.
"Pasti mereka orang kaya yang bangkrut," bisik beberapa orang, mendadak iba melihat wajah mereka yang terlihat mengenaskan.
"Pelan-pelan, Mah." Mahad menggenggam tangan Maya, yang sedang mengobati lukanya.
"Sok jagoan sih! Sudah tua juga!" seloroh Ocean, mempuk-puk betisnya yang terasa tegang.
"Kau tak perlu berurusan lagi dengan mereka, Oce. Blokir semua akses yang berhubungan dengan mereka. Papa tidak mau kau menemui mereka apalagi sampai datang ke apartemen itu lagi." Mahad meringis, menahan sakit dari perihnya obat merah yang diberikan Maya.
Mendengar peringatan Papanya, Ocean menolehkan kepalanya dengan bingung.. Dahinya mengernyit dengan begitu menggemaskan. "Tidak boleh berurusan dengan keluarga mereka sama saja tidak boleh bertemu Javas dong?" gumamnya dalam hati
"Apa masalah Papa dengan kedua orang tua Javas sih?" tanya Ocean gregetan, sejak tadi tak ada satupun yang mau menjelaskan duduk permasalahannya. Pun ia tidak tahu tentang situasi yang dialami Papanya di masa lalu dengan Paman Yasa, sampai bisa terjadi perkelahian seperti tadi. "Setidaknya beri aku satu alasan, kenapa aku tak boleh berhubungan dengan Paman Yasa dan Bibi Sari."
"Tidak ada. Papa hanya ingin memenjarakan mereka. Bila perlu seumur hidup mereka mendekam di penjara. Sampai jasadnya membusuk dimakan tikus. Dan dunia tahu tentang kejahatan yang mereka lakukan," geram Mahad. Matanya berkilat penuh emosi. Ia bertekad akan menghancurkan Yasa dan tidak memperdulikan reputasinya lagi.
"Hah?!" Mata Ocean berkedip-kedip, tak percaya dengan segala sesuatu yang Papanya ucapkan barusan. "Papa sehat, 'kan?" tanyanya dengan wajah penuh kepolosan.
"Papa!" Maya menekan kapas yang berlumuran obat merah di dahi Mahad.
"Ah, sakit, Mah." Mahad melihat Maya, tapi Maya memberi isyarat untuk tak berkata seperti itu didepan Ocean. Tampaknya Ocean terlihat sedikit syok dengan ucapannya yang menyumpahi kehidupan seseorang. "Eh, maaf-maaf," ucapnya mengusap kepala Ocean. "Jangan dengarkan perkataan Papa. Papa hanya emosi tadi, ok?!"
"Ok," ucap Ocean mengangguk patuh seperti anak anjing.
"Ini berlaku juga untuk Mama." Mahad mendelikkan matanya ke arah Maya.
"Eh, untuk Mama? Maksudnya?"
***
Salam
Busa Lin