"Gak apa-apa nih Bang, di sini aja?"
Niat hati, Jodi ingin mengantarkan sampai ke rumahnya Rezqi, sebagai penebus kesalahan.
"Apa gak sebaiknya saya antar Abang sampai rumah aja, Bang?"
Rezqi menggeleng, menolak tawaran Jodi. "Gak usah, rumah gue jauh."
"Nah, justru itu, Bang—"
"Yaelah ni bocah," dengus Rezqi memotong ucapan pelajar SMA tersebut. "Gue tau, kedua tangan lu pasti masih sakit, ya kan? Lihat noh lecet-lecet gitu, udeh pasti lu kagak bisa bawa motor lama-lama."
Jodi tersenyum tipis, memandang pada kedua siku tangannya yang memerah. Jujur saja, rasa perih itu memang sudah terasa menggerogoti kedua sikunya tersebut. Ingin saja Jodi berteriak-teriak menahan rasa sakit yang ada, tapi tentu ia akan merasa malu, dan akan menjadi tontonan orang ramai nantinya.
Lalu, Jodi pun beralih memandang pada siku tangan kiri Rezqi.
"Lhaa, Abang sendiri juga tuh."
Rezqi terkekeh memandang siku tangan kirinya sendiri, bengkak. "Ini mah, belum seberapa," ujarnya meyakinkan.
"Apa gak sebaiknya kita bawa periksa, Bang?" Jodi masih mencemaskan itu. "Sumpah, biar saya yang bayarin."
"Lu keras kepala ya, haa?" Rezqi mendelik. Sialan, maki pemuda tersebut dalam hati, bocah sultan rupanya.
Jodi tersenyum lagi mendengar ucapan Rezqi. Ia merasa jika pemuda itu adalah orang yang baik hati.
Untuk sesaat keduanya sama berdiam diri.
"Ya udah deh, kalau Abangnya gak mau. Tapi—" ujar Jodi kemudian.
Rezqi menatap lama ke dalam kedua bola mata si pelajar SMA tersebut. Apa lagi sih, maunya bocah yang satu ini? gumam Rezqi dalam hati.
"—Biar saya gantiin kipas angin Abang yang hancur."
"Gue bilang gak usah. Budek lu yak? Kan tadi udeh gue bilangin, jangan dipikirin. Masih aja ngeyel, ampun dah," Rezqi geleng-gelengkan kepala. "Lu pulang sono."
"Tapi, Bang," Jodi masih berharap bisa menebus kesalahannya dengan lebih baik. "Kan, Abang bisa anggap itu sebagai penebus kesalahan saya, Bang. Iya, kan?"
"Woii," seru Rezqi, dan sengaja pasang wajah angker. "Songong juga nih bocah satu. Mau lu, gue panggilin tuh orang-orang yang tadi bernapsu ngegebukin elu, hemm?"
"Ampun, Bang," sahut Jodi tertunduk lemah. "Maaf. Saya boleh, minta nomor hape-nya Abang, gak?"
"Bakal apaan sama lu?" sebelah alis pemuda tersebut naik lebih tinggi dari yang satunya.
Banyak tingkah amat nih bocah, lagi-lagi Rezqi ngedumel di dalam hati. Sebenarnya, itu semua dikarenakan rasa nyeri di siku tangan kirinya itu. Dan Rezqi sebenarnya ingin cepat-cepat berlalu dari sana.
"Yaa," Jodi coba untuk hadirkan senyum di wajahnya. "Siapa tahu kan, ntar bisa aja saya main-main ke tempat Abang. Boleh?"
"Kagak," dengus Rezqi, geleng-geleng kepala dengan kekerasan hati Jodi. Entah kenapa, Rezqi malah merasa Jodi sangat mirip dengan dirinya. Sama-sama keras kepala.
"Aah-elah, Bang," lagi-lagi Jodi dibikin tertunduk. Keras kepala banget sih, ini orang satu, gumam Jodi dalam hati.
"Udah deh," ujar Rezqi kemudian. "Lu mending balik dah, cepetan. Obatin tuh luka-luka di siku elu. Orang tua elu pasti udah cemas nungguin elu pulang. Dosa lu, bikin orang tua cemas, khawatir."
"Orang tua saya udah meninggal, Bang."
Meski Jodi berusaha menghadirkan senyuman di bibirnya, namun suaranya itu tetap saja mengandung kesedihan dan kerinduan sekaligus pada kedua orang tuanya yang telah lama pergi. Rezqi bisa merasakan itu.
"Dua-duanya," lanjut si pelajar SMA tersebut.
"Ouh," ujar Rezqi dengan cukup lirih, menghela napas panjang. "Maaf."
"Gak apa-apa," ujar Jodi pula. "Udah cukup lama ini."
Kembali keduanya sama hening, berdiam diri. Rezqi, setidaknya merasa bersimpati atas nasib yang menimpa Jodi, masih berstatus pelajar SMA, tapi sudah kehilangan kedua orang tua. Dan lagi-lagi pemuda tersebut merasa punya kesamaan dengan pelajar tersebut. Ia pun sama. Setahun setelah lulus SMA, Rezqi juga kehilangan kedua orang tua kandungnya.
Keheningan itu membuat Jodi berpikir, bahwa Rezqi benar-benar tidak mau menerima apa pun dari dirinya. Katakanlah, segala bentuk penebusan kesalahan. Tidak ada pilihan lain, dan lagi pula, perih di kedua siku semakin menggila saja.
Pada akhirnya, Jodi kembali menyalakan mesin motor, bersiap untuk meninggalkan Rezki yang duduk di atas reling pipa baja.
"Bang," panggilnya. "Maafin saya, ya?"
Jodi benar-benar merasa bersalah dengan semua hal yang harus dilalui Resqi, juga gadis cilik itu tadi. Sekaligus, ia juga berterima kasih pada Rezqi, atas upaya pemuda tersebut menghalangi amuk dari orang-orang tadi itu, hingga ia tidak sampai dikeroyok massa.
Rezqi hanya membalas dengan senyuman dan anggukan kepala. Pelajar SMA itu mengembuskan napas yang panjang, dan berlalu bersama motornya, meninggalkan Rezqi di tepian jalan.
Untuk beberapa saat, Rezqi masih menatap punggung Jodi yang menjauh dan semakin menjauh, lalu hilang dari pandangan.
Lalu, pandangannya beralih ke tangan kirinya. "Hahh, bisa gak tidur nih gue ntar malam," gumamnya sambil mengurut-urut tangan tersebut. Lalu meringis, menahan perih. Rezqi mengedarkan pandangan. "Gue kira bakal sendirian…"
Di tempat mana Rezqi menunggu angkutan, semakin ramai saja. Pekerja kantoran, mahasiswa, dan beberapa wanita yang habis berbelanja keperluan dapur. Serta, satu-dua orang pelajar SMA dan SMP.
Kembali pemuda itu tersenyum sambil menundukkan kepala. Seharusnya, di sini dibuatkan halte juga, pikir pemuda tersebut.
Sebuah mobil mewah keluaran terbaru berhenti lima-enam langkah di kiri Rezqi. Kemewahan yang tertera pada logo mobil tersebut memancing banyak perhatian, begitu pula dengan perhatian dari Rezqi.
Kapan ya, bisa punya yang seperti itu? Tapi kemudian, Rezqi jadi tersenyum-senyum sendiri. Bagaimana mau memiliki kendaraan mewah, satu pekerjaan pun belum ia dapatkan.
Rezqi terus memandangi kendaraan tersebut. Pintu belakang mobil terbuka, seorang wanita muda keluar dari sudut itu, sisi kiri. Rambut hitam, panjang sepunggung, setengah bagian ke atas dikuncir ke belakang. Mengenakan pakaian ala wanita kantoran dengan blazer abu-abu terang dan celana panjang hitam. Ia mendekap setumpuk map dengan tangan kirinya, dan sebuah tas ukuran sedang di tangan kanan.
"Pak Abdul, jemput saya jam empat nanti, ya," seru wanita muda setengah membungkuk memandang pada pengemudi di dalam mobil.
"Baik, Non," hanya suara itu saja yang terdengar oleh Rezqi menyahuti ucapan wanita cantik tersebut.
"Terima kasih," balas si wanita pula.
"Lucky her," gumam Rezqi nyaris seperti orang berbisik, dan lantas tersenyum seorang diri.
Mobil mewah kembali bergerak, meluncur di badan jalan, meninggalkan wanita muda tersebut.
Hahh… mimpi, gumam Rezqi di dalam hati, menertawai diri sendiri, soal bisa memiliki kendaraan mewah seperti yang tadi itu. Hanya mimpi.
Si wanita muda menyandang tas ke bahunya, dan dengan tangan yang sama, ia mengibaskan rambut hitamnya ke belakang. Melangkah menuju salah satu kafe di sebelah kiri. Saat melangkah, salah satu hak sepatunya melesak di antara celah susunan batako segi delapan yang melapisi trotoar.