Arjuna teruskan langkah kakinya. Dan berpapasan lagi dengan lain orang. Kali ini, Arjuna berpapasan dengan Haji Rahman – usia lima puluh delapan tahun, Betawi asli.
"Dari mane ente, Jun?" tanya Haji Rahman dengan suara khasnya yang berat dan dalam, namun terdengar sangat sopan lagi bersahaja.
"Eih, Pak Haji," Arjuna berhenti sesaat, menyalami tangan laki-laki yang cukup terpandang dan terhormat di kampung tersebut, mencium punggung tangan Haji Rahman.
"Dari mane ente?" ulang Haji Rahman sembari mengusap-usap kepala sang bocah. "Buru-buru amat kelihatannye."
"Anu, Pak Haji," mungkin, satu-satunya orang di kampung itu yang tidak berani diremehkan oleh Arjuna setelah ayah dan ibunya, adalah sosok Haji Rahman dan Babeh Djaja saja. Lainnya, jangan ditanya, lewat semua.
"Anu ape?" Haji Rahman tersenyum memandangi wajah Arjuna yang masih memerah, juga banjir keringat.
"Itu," jawab Arjuna kemudian. "Juna barusan dari rumah Om Tohap, Pak Haji."
"Belajar bareng anaknye si Tohap?" tebak Haji Rahman pula. Arjuna menggeleng. "Terus?"
"Eeng, disuruh ngasi tahu," lanjut sang bocah. "Kalau Bang Rezqi gak bisa bantuin Om Tohap, soalnya Bang Rezqi habis tabrakan."
"Innalillah…" Haji Rahman berucap sembari mengelus dadanya sendiri.
"Eeeh, belum meninggal kok, Pak Haji."
"Iyee," Haji Rahman senyam-senyum memandangi wajah polos Arjuna itu.
Tentu saja, pikir laki-laki tersebut. Anak seumuran Arjuna pastilah belum mengerti dengan baik ucapan-ucapan yang seharusnya diucapkan dalam beberapa situasi, menurut ajaran Islam. Lebih-lebih, pendidikan dan pengaruh lingkungan zaman sekarang yang membuat orang seperti Haji Rahman sering geleng-gelengkan kepala.
"Kapan, Jun, kejadiannye?" tanya Haji Rahman lagi, memastikan.
"Eeng…" Arjuna sempat berpikir dulu. Yang ia tahu, begitu ia pulang dari bermain, Rezqi sudah di rumah dengan tangan kiri bengkak. "Siangan tadi, Pak Haji."
"Hemm," Haji Rahman mengelus jenggotnya yang panjang memutih. "Parah kagak, Jun?"
"Gak tau Juna, Pak Haji," jawab Arjuna dengan kepala miring dan bahu terangkat. "Tapi, Bang Rezqi gak bisa bangun, tiduran aja di sofa."
"Siapa yang kecelakaan, Juna?"
Satu suara merdu memecah perhatian Arjuna dari Haji Rahman. Kedua orang tersebut sama berpaling ke asal suara, ternyata Shari, anak bungsu Babeh Djaja. Gadis cantik itu semakin terlihat sangat jelita dengan busana Muslimah yang ia kenakan di tubuh, juga jilbab di kepalanya itu.
"Eeng, Bang Rezqi, Kak," jawab Arjuna. "Udah ya, Pak Haji," si bocah berpaling pada Haji Rahman, kembali beralih kepada dara manis itu. "Kak, Juna mo beli kertas dulu, mo bikin layangan. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab Haji Rahman dan Shari hampir berbarengan.
"Hati-hati, Jun," seru Shari lagi.
"Iyaa…" sahut Arjuna di ujung sana.
Kemudian, sang dara menoleh pada Haji Rahman yang tersenyum geleng-geleng kepala memandang langkah kaki Arjuna yang menjauh.
"Parah tidak, Pak Haji?"
Jelas ada kekhawatiran yang teramat di wajah dan nada suara putri bungsu dari Babeh Djaja tersebut. Haji Rahman dapat menangkap hal tersebut, ia tersenyum, menghela napas lebih banyak.
"Kagak tahu pastinye ane," Haji Rahman menggeleng, ia sendiri belum melihat keadaan Rezqi. "Kate si Juna, die kagak bisa bangun, tiduran aje di sofa."
"Astaghfirullah," ujar Shari sembari menutup bibir indahnya dengan jemari tangan.
"Jangan berpikiran jauh dulu. Mungkin aje si Juna salah," sanggah Haji Rahman menangkap reaksi di diri dara tersebut. Shari mengangguk mengerti. "Eeh, dari mane?" tanya laki-laki tersebut yang menyadari jika Shari tengah membawa setumpuk buku di pelukannya.
"Ini, Pak Haji," jawab Shari dengan gerak tubuh yang sangat sopan. "Baru pulang kuliah."
"Haa, gitu. Ya udeh," sahut haji Rahman, "Ane mo ke Mushola dulu."
"Iya, Pak Haji," Shari tersenyum. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab Haji Rahman.
Dan keduanya pun berpisah di persimpangan jalan kampung tersebut. Shari meneruskan langkahnya, pulang ke rumah. Haji Rahman pula meneruskan langkah kakinya ke arah Mushala guna menunaikan Salat Ashar yang sudah akan menjelang.
Sepanjang perjalanan pulang menuju rumahnya, Shari terus-terusan memikirkan keadaan Rezqi. Meski, ia sendiri belum tahu separah apa tabrakan yang dialami pemuda tersebut. Atau, separah apa kondisi tubuhnya, sebab informasi yang serbakurang dan sangat menggantung yang ia dapat dari mulut Arjuna, begitu pula dari mulut Haji Rahman. Hanya saja, sang dara jelita tetap merasa khawatir. Khawatir yang terlalu berlebihan ditunjukkan mimik tubuhnya.
Hingga, Shari pun mempercepat langkah kakinya. Ia tahu pasti, sang ayah memiliki ramuan mujarab untuk pengobatan pada cidera keseleo, atau bengkak memar, misalnya. Dan itulah yang kini terpikirkan oleh gadis tersebut. Sesegara mungkin sampai di rumah, lalu mendapatkan minyak langka tersebut, dan akan dengan senang hati memberikannya langsung kepada Rezqi.
***
"Assalamualaikum," seru Shari saat melihat Babeh Djaja tengah memandikan domba jantan berwarna putih. Dan terus saja melangkah memasuki rumah.
"Waalaikumsalam," Babeh Djaja mengernyitkan dahi memandang anak bungsunya itu, seperti sedang terburu-buru.
"Aneh… gak sari-sarinye," gumam Babeh Djaja berbisik pada diri sendiri. "Biasenye cium tangan Babehnye eni kalo baru dateng. Ape gue bauk, ye?"
Lantas, orang tua itu pun coba menciumi aroma tubuhnya sendiri. Kerut di keningnya kian bertambah banyak. Babeh Djaja menatap tajam pada domba dengan sepasang tanduk besar melingkar itu.
Lalu, tertawa pelan. "Ternyate, bauk kite bedua same, Kibo," dan tertawa lagi.
Kembali Babeh Djaja melanjutkan kegiatannya memandikan domba tersebut.
Mbheeek…!
Shari melempar tasnya begitu saja ke atas pembaringan, melangkah ke ruang tengah, sibuk mencari-cari sesuatu di lemari kaca, di meja, di bufet di bawah televisi.
Sang kakak laki-laki memerhatikannya sedari tadi. Keseriusannya membaca sebuah koran terganggu oleh tingkah Shari yang grasak-grusuk mengaduk-aduk isi lemari.
"Bisa pelan-pelan, gak?" ujarnya mengingatkan. Namun hingga sekian detik, Shari tidak menggubris ucapan sang kakak, terus saja mencari-cari. "Nyari apaan sih, Shari?!" akhirnya koran ia lipat, hilang gairah untuk membaca surat kabar itu lagi.
"Nyariin minyak urut Babeh nih," Shari menoleh, "Bang Leman lihat, gak?"
"Yaelah…" Sulaiman Anshari – anak laki-laki kedua Babeh Djaja, umur dua puluh tujuh tahun – tertawa halus. "Mestinya kamu tuh nanyainnya ma Babeh, sono."
"Huu…" cibir Shari memonyongkan bibirnya. "Ogah! Dah jelas tuh Babeh bau kambing."
Sulaiman tertawa mendengar itu. Yaa, jam-jam segini, orang tua mereka tersebut selalu menyibukkan diri, memandikan peliharaannya. Utamanya lagi, domba jawara yang satu itu, yang selalu menjadi kebanggan Babeh Djaja.
"Domba, Shari. Itu domba lhoo, bukan kambing." Sulaiman geleng-gelengkan kepala.
"Sama aja!" dengus Shari dan kembali meneruskan pencariannya akan minyak urut legendaris milik sang ayah.
Lama mencari, Shari menyerah. Dan ia memutuskan untuk menanyai langsung saja pada sang ayah. Sulaiman meletakkan lipatan surat kabar ke ajas meja, dan mengikuti langkah sang adik menuju beranda depan rumah.