Lama mencari, Shari menyerah. Dan ia memutuskan untuk menanyai langsung saja pada sang ayah. Sulaiman meletakkan lipatan surat kabar ke ajas meja, dan mengikuti langkah sang adik menuju beranda depan rumah.
"Beh, Babeh?" seru Shari sembari berpegangan pada pagar jati rendah, beranda depan rumah. "Babeh…?"
"Set-dah," Babeh Djaja menoleh pada Shari. "Lu mo bikin jantung Babeh copot?"
Babeh Djaja bertolak pinggang memandang pada anaknya itu, air yang keluar dari selang panjang membasahi bagian bawah celananya yang bergaya celana silat – pangsi.
"Kek manggil siape aje, jaoh-jaoh begono?" dan kembali menyirami dombanya. "Heran gue."
Saat itu Sulaiman berdiri di ambang pintu, bersandar ke satu sisi kusen pintu dengan berlipat tangan di dada. Ia terkekeh sendiri, geleng-gelengkan kepala menyaksikan tingkah sang adik dan ayahnya itu.
Yaa, semenjak ibu mereka meninggal dunia tujuh tahun yang lalu, peliharaan seperti domba itulah yang mampu mengusir kesedihan sang ayah, mengisi waktunya.
Shari yang mendengar suara dengusan Sulaiman menjadi geram, kembali ia mencibir pada abangnya tersebut.
"Iih… Babeh?" teriak Shari pada sang ayah, lagi.
"Ya Allah, yaa Rabbi," kembali Babeh Djaja berpaling pada Shari. "Ni anak atu," dengusnya, dan mematikan keran air. "Lu samperin kek, pan lebih baek. Kagak usah tereak-tereak, Babeh belon budek."
"Ogah," sahut Shari, manja. "Babeh bau kambing," cibirnya. Di belakangnya, kembali Sulaiman terkekeh, dan Shari tahu ke mana arah tertawaan itu. "Berisik!" dengusnya pada Sulaiman.
"Ni domba lhoo, bukan kambing," protes Babeh Djaja sembari menunjuk pada domba tersebut.
Mbheek…!
"Nah lhoo," sahut Sulaiman. "Apa Abang bilang?"
"Brisik," kembali Shari mencibir. "Sama aja," serunya pada sang ayah.
"Same dari manenye?" goda Babeh Djaja pula.
"Iih…" sang gadis merasa geram dipermainkan sang kakak dan ayahnya itu. "Suaranya, baunya juga, sama. Sama ma Babeh."
"Bujug dah…"
Babeh Djaja pasang muka angker pada anaknya. Bukannya takut, Shari malah tersenyum manja, sepasang alis terangkat lebih tinggi.
"Anak durhaka," semprot Babeh Djaja pula. "Babeh sendiri disamein ame domba? Buset daah."
Sulaiman tertawa lebar mendengar gerutuan ayahnya. Meski Nyak udah gak ada, tapi… kebahagiaan keluarga ini masih seperti dulu, begitu gumam Silaiman di dalam hati. Dan begitu pula doanya, agar keharmonisan kelurganya itu tetap terjaga. Aamiin.
"Minyak akar tarok di mana, Beh?" Shari tersenyum manis.
"Mo buat ape lu ame minyak urut Babeh?!" kening Babeh Djaja mengerut.
"Ya buat urutlah, Beh," wajah cantik itu mengerut, manyun. "Masak buat luluran?"
Kembali Sulaiman tertawa, begitu juga dengan Babeh Djaja mendengar dan melihat tingkah si bungsu yang manja itu.
"Bakal siape?" selidik Babeh Djaja kemudian. "Minyak langka tuh, suseh Babeh dapetinnye."
"Iih," dara itu kembali geram. "Pelit amat sih Babeh? Itu buat…" Shari menggantung ucapannya sendiri, sedikit bingung, dan wajah yang tiba-tiba saja langsung memerah.
"Bakal siape?!" ulang Babeh Djaja.
"I-itu, itu…" rona kemerahan kian menghias kedua pipinya.
"Hayoo, buat siapa?" goda Sulaiman. Dan saat Shari menoleh padanya, ia dengan jelas melihat wajah sang adik yang bersemu dengan rona berbeda.
"Brisik!" dengus Shari pada sang kakak, dan berusaha menyembunyikan rona di wajah.
"Kesambet setan mane lu? Gagap kek gitu?" Babeh Djaja pun bisa melihat rona berbeda di wajah sang anak, semakin membuat pria tua bingung. "Heeh? Kesambet demit di mane?"
"Iih, Babeh mah," Shari jadi salah tingkah. Lalu, dengan suara yang dipelan-pelankan sedemikian rupa, Shari menjawab, "Bu-buat, Bang… Bang Rezqi, Beh."
"Ciee-cieee…," timpal Sulaiman, kembali menggoda sang adik. "Perhatian nih, ye."
Merasa tidak tahan, dan wajah yang kian panas terpanggang, Shari mendengus kencang kembali masuk ke dalam rumah. Ia mendorong begitu saja Sulaiman yang tertawa lebar.
"Heeh!" Babeh Djaja semakin bingung. "Kenape si Rezqi?" dan ia segera menyusul sang anak. "Hehh, Shari?" panggilnya lagi. "Calon mantu gue kenape?"
"Cie-cie-cie…," kembali Sulaiman menimpali di sela tawanya yang berderai. "Calon suami dong."
"Brisik…!" hanya suara gadis itu yang terdengar, sebab sosoknya sudah menghilang dari pandangan Sulaiman dan Babeh Djaja.
Dan Babeh Djaja, juga Sulaiman pun menghilang ke dalam rumah, menyusul Shari yang sepertinya sedang merajuk dengan segala kemanjaaan diri.
***
Di sebuah rumah sakit swasta.
Seorang wanita muda – berusia dua puluh enam tahun – melangkah tergesa-gesa menyusuri koridor salah satu lantai rumah sakit. Ia baru menghentikan langkahnya setelah menemukan ruang perawatan luka ringan. Ruangan yang sebelumnya diberitahukan seseorang pada diri wanita tersebut lewat sambungan komunikasi ke ponsel miliknya.
"Jodi?!" ujar sang wanita menyeru satu nama, saat mendapati ruang perawatan luka ringan tersebut dalam keadaan gordennya yang berwarna hijau itu tersibak lebar.
Jodi, si pelajar SMA menyambut kedatangan wanita tersebut dengan senyum di wajah. Bagaimana pun, Jodi memaklumi kekhawatiran yang begitu berlebihan ditunjukkan wajah dan gerak tubuh wanita itu sendiri terhadap dirinya.
"Kak Mia," sapa Jodi pada gadis tersebut.
Gadis itu bernama Amia Calva, merupakan satu-satunya saudara kandung yang dimiliki Jodi. Dan merupakan satu-satunya orang yang kini menjadi tempat Jodi bersandar, berkeluh-kesah semenjak orang tua mereka meninggal dunia, kedua-duanya. Amia pulalah yang kini mengurusi segala keperluan dan kebutuhan Jodi, termasuk soal pendidikan.
Dan tentu saja, Amia menjadi khawatir dengan sang adik yang sebelumnya Jodi lah orang yang mengabari pada Amia jika ia baru saja mengalami kecelakaan di jalan raya bersama motornya.
Amia bergegas mendekati sang adik yang sedang mendapatkan pengobatan dari seorang dokter dan seorang perawat di ruangan tersebut.
"Kamu gak apa-apa, Sayang?" dan kecemasan itu belumlah hilang dari pandangan dan wajah Amia.
"Tenang, Kak," jawab Jodi berusaha mengurangi kecemasan di diri sang kakak. "Cuman lecet-lecet di tangan aja, kok."
"Gimana, Dokter?" Amia mengalihkan pandangan kepada sang dokter. "Apa ada trauma yang lain?"
Sang dokter tersenyum, menggeleng. Dan menyerahkan sisa pekerjaannya pada sang perawat.
"Tidak ada, Bu," ia merapikan peralatannya. "Luka lecet di kedua siku tangan saja. Dan, sedikit memar di lutut kanan. Tidak ada yang berbahaya."
Sementara itu, Jodi meringis saat sang perawat menuntaskan pekerjaannya di tangan kanan pelajar tersebut.
"Syukurlah," Amia bernapas lega. Wajah yang tadinya pucat, sekarang berangsur memerah, seakan kehidupan kembali mengisi bagian itu.
"Kakak aja yang kelewat cemas," Jodi terkekeh. "Kan tadi di telepon udah Jodi bilangin kalau—"
Pletak!
"Aouw…!" Jodi meringis lagi, sebab keningnya baru saja dijitak oleh sang kakak. Remaja itu lantas menyeringai, terkekeh pelan. "Maap…"
"Kamu itu…" dengus Amia pula.
Amia sedikit geram sekaligus gemas dengan sifat sang adik yang keras kepala itu. Selalu saja membuat dirinya cemas. Tapi, terlepas dari itu semua, Amia sangat-sangat-sangat menyayangi sang adik. Dia sajalah satu-satunya keluarga yang ia miliki kini.