Chereads / Tirai Penghalang / Chapter 16 - Bentuk Lain Perhatian

Chapter 16 - Bentuk Lain Perhatian

"Beh!" tegur Shari yang rona wajahnya jelas mencemaskan kondisi pemuda tersebut. "Pelan-pelan, Beh! Kasihan Bang Rezqi."

Babeh Djaja terkekeh lagi, begitu juga dengan yang lainnya. "Gue gak mau lihat calon mantu gue tangannye cengklak."

"Babeh!" dengus Shari dengan wajah seperti kepiting rebus. Plus, satu tepukan sebagai protes di bahu sang ayah.

Dan itu disambut dengan gelak tawa semua yang ada di ruangan. Kecuali Rezqi yang menyahuti dengan teriakan kencang, kesakitan. Lagi, dan lagi.

"Yuk guys, kita cabut aja!" ajak Jong pada ketiga temannya.

Setidaknya, Jong ingin memberikan waktu bagi Shari untuk berlama-lama dengan Rezqi, meski harus sedikit terganggu dengan kehadiran Babeh Djaja.

"Bi Ayu, kita pergi dulu, ya," pamit Dinda pada Bi Ayu mewakili teman-temannya.

"Mari, mari," sahut Bi Ayu. "Hati-hati."

"Adooh, Mak…" kembali Rezqi berteriak kesakitan.

"Babeh!" Shari kembali terlihat panik. "Pelan-pelan dong, Beh!"

"Eeh, Rez?" seru Steaven pula. "Kita-kita mau main volly dulu nih. Besok jangan lupa, gue jemput lu, oke?"

"I—yaaa…" jawaban dari mulut Rezqi berakhir dengan teriakan panjang.

"Eeh, Shari," panggil Jong, Shari menoleh padanya. "Jangan lepasin, ok?" godanya pada gadis tersebut. "Kalo lepas, Shari kudu ame Abang," ia kedipkan sebelah matanya. "Autch!"

Jong melenguh pendek, rusuknya kena sodok siku Ambar. Jong mengusap-usap rusuknya itu. Dan Shari, kepalanya bahkan mengeluarkan kepulan asap.

"Beh, kite pamit ye," tak lupa Jong berpamit pada Babeh Djaja.

"Ho-oh, sono dah," ujar Babeh Djaja tanpa berpaling. "Hati-hati."

Sesaat berikutnya keempat muda-mudi itu melangkah keluar rumah. Meninggalkan sahabat mereka yang tengah diurut sang calon mertua, katanya. Berempat mereka menuju lapangan di dekat Mushala sana.

"Adoooh, Mak…"

Kembali mereka berempat terkekeh mendengar teriakan itu. Dua kali, tiga kali, hingga sayup-sayup sampai.

"Kasihan," Ambar terkikik geli hati.

"Tul," sahut Dinda pula.

"Haaah, elu lagi," timpal Steaven. "Tal-tul-tal-tul aja terus dari tadi."

Dinda mengangguk menatap Steaven. "Tul."

***

Malam hari, jam tujuh lewat lima menit, di rumah mewah kediaman Amia dan Jodi.

Saat itu, Amia dan Jodi ditemani oleh Pak Abdul dan seorang asisten rumah tangga bernama Zulaikha – berusia dua puluh sembilan tahun, asli Sunda. Sama seperti Pak Abdul sendiri, Zulaikha yang kerap dipanggil Ikha itu pun sudah cukup lama melayani keluarga Amia. Perlakuan baik dari Amia dan Jodi membuat sang ART dan si supir pribadi itu menjadi kerasan bekerja untuk kakak beradik tersebut. Seperti saat sekarang itu contohnya.

Pak Abdul dan Zulaikha berada satu meja dengan Amia dan Jodi, sama-sama menikmati hidangan makan malam. Dan bagi sang ART yang berjilbab itu, malam ini pun ia bertugas menjadi pengasuh bagi Jodi. Yaa, semua lantaran luka-luka lecet di kedua siku remaja tersebut. Kedua sikunya jadi susah untuk digerakkan.

"Haah, untung aja udah disuntik painkiller," ujar Jodi berkeluh-kesah.

"Itulah," Amia tertawa halus. "Lain kali, jangan keras kepala. Dikasi tahu yang baik, malah ngeyel."

"Maaf ya, Teh Ikha," ujar Jodi pula. "Teteh terpaksa nyuapin Jodi makan."

"Udah," Zulaikha tersenyum. "Gak apa-apa."

Bagaimana pun, Zulaikha sudah menganggap Jodi sebagai adiknya sendiri. Begitu pula terhadap Amia yang hanya terpaut tiga tahun saja usia mereka berdua.

"Jangan dimanja, Teh," timpal Amia menggoda Jodi. Padahal, kenyataannya, Amia justru sangat-sangat memanjakan sang adik. "Ntar jadi kebiasaan."

"Iiss…" dengus Jodi dengan mulut meruncing. "Jodi kan lagi sakit gini lhoo, Kak. Gak kasihan apa?"

"Salah kamu sendiri ini kok," Amia menahan tawa. "Ngeyel!"

"Udah sih, Mbak Mia," ujar Zulaikha menengahi. "Kasihan Jodi-nya."

Sementara itu, Pak Abdul hanya bisa tersenyum geleng-geleng kepala. Tapi, hal-hal seperti inilah yang membuat suasana di dalam rumah yang besar ini menjadi terasa lebih hidup, pikir laki-laki tersebut.

Sesaat kemudian, makan malam pun selesai. Sementara Zulaikha membereskan semua yang tersisa di atas meja makan, Amia dan yang lainnya melangkah ke ruang keluarga. Jodi melangkah dibantu oleh Pak Abdul, meski sebenarnya hal tersebut tidak perlu dilakukan Pak Abdul, mengingat Jodi masih bisa berjalan dengan baik.

"Baiklah, Non," ujar Pak Abdul sesaat setelah berada di ruang keluarga tersebut. "Den Jodi, saya pamit ke kamar dulu, mau Salat Isya. Kalau ada keperluan apa, panggil saja."

"Oke, Pak," angguk Amia yang duduk di atas sofa.

"Makasih ya, Pak," ujar Jodi pula.

"Sama-sama." Dan Pak Abdul pun berlalu.

"Obatnya udah diminum?" tanya Amia kemudian pada sang adik.

Jodi mengangguk. "Udah tadi."

"Motornya tadi ditarok di bengkel mana?"

"Deket ama rumah sakit yang tadi kok, Kak."

"Ya sudah," ujar Amia sembari membalik-balikkan lembaran sebuah majalah fashion ternama. "Besok Kakak mau ke sana, kamu simpan kan tanda terimanya?" Jodi mengangguk lagi. "Kakak mau jual saja tuh motor."

Jodi menghela napas dalam-dalam. Bagaimana pun, ada rasa sedih yang ia rasakan jika motor yang selama ini ia gunakan harus dijual. Tapi, di lain sisi, Jodi tidak ingin melihat sang kakak dalam keadaan yang terus menerus mengkhawatirkan dirinya. Lagipula, ia sendiri sudah berjanji untuk tidak akan lagi menggunakan motor.

"Kenapa?" tanya Amia, menatap ke dalam bola mata sang adik. "Kamu sedih?"

Jodi coba tersenyum, menggeleng lemah. Tapi. Jelas bagi Amia bila sang adik memang sedih karena hal tersebut.

"Terus," Amia melanjutkan kegiatannya pada majalah di tangan. "Kamu mau bikin Kakak jantungan lagi, begitukah?"

"Bukan," balas Jodi. Kembali Amia memandang kepada Jodi. "Heem, Kak, boleh nggak kalau tuh motor jangan dijual saja?"

"Kamu itu," Amia geleng-geleng kepala. "Masih saja ngeyel."

"Bukan kek gitu maksud Jodi, Kak," ujar Jodi pula. "Gimana kalau tuh motor diperbaiki saja dulu—"

"Terus, setelah itu?"

"Yaa," Jodi menundukkan pandangan. "Habis itu dikasiin aja ke Pak Abdul."

"Maksud kamu?" Lagi, Amia menghentikan keasyikannya membolak-balik majalah. Memandang sang adik yang tersenyum mamandang pula pada dirinya.

"Kalau enggak salah, anak sulung Pak Abdul di kampung pulang-pergi kerja naik angkot, Kak. Kadang jalan kaki, kasihan kan?"

"Ya sudah," ujar Amia, ia menujulurkan satu tangan, mengusap-usap kepala sang adik. "Kalau itu kemauan kamu, ya silakan saja. Lagian, motor itu kan punya kamu."

"Paling enggak," ujar Jodi pula. "Jodi lebih senang ngelihat motor itu jadi berguna bagi orang lain."

Amia menarik kembali tangannya. Pakaian yang dikenakan gadis itu malam ini, cukup terlihat sebagai pakaian bersantai. Dengan belahan dada sedikit rendah. Sehingga, saat ia menarik tangannya tersebut, kalung emas dengan liontinnya yang berbentuk salib kecil bergoyang-goyang, sedikit berkilauan.

"Pak Abdul?" panggil Amia kemudian. "Pak?"

Pak Abdul yang kala itu baru berganti pakaian di dalam kamarnya sebelum melaksanakan Salat Isya, mendengar panggilan sang majikan. Segera ia melangkah keluar, lalu menuju ke ruangan tengah tersebut.