Sepasang alis pemuda tersebut mengerut saat memandang kendaraan itu melintas pelan di depannya. Ia bisa melihat kaca jendela bangku belakang mobil tersebut, sedang bergerak ke atas – menutup.
"Aneh…" gumam pemuda itu lagi. "Keknya pernah lihat tuh mobil. Di mana ya?" Rezqi menggaruk-garuk dagu.
Untuk beberapa lama ia tidak bisa mengingat. Kembali geleng-gelengkan kepala, terseyum kecut.
"Pentingnya apa coba buat gue?" lalu tertawa sendiri.
Akan tetapi, hingga mobil mewah tersebut bergerak menjauh dan semakin menjauh, tetap saja Rezqi memandangi kendaraan itu, bahkan hingga tidak lagi terlihat dalam pandangan.
Bersamaan itu sebuah mobil sport menyalip angkot yang bergerak perlahan di sebelah kanan sana, dan berhenti tepat di hadapan Rezqi. Pemuda itu alihkan pandangannya, sedikit kaget dengan suara rem dari mobil itu sendiri yang berdecit cukup kencang.
"Haah," Rezqi akhirnya bisa bernapas lega. "Dateng juga tuh kunyuk."
"Rez, buruan!" sahut Steaven lewat celah kaca jendela mobil yang bergerak turun.
Tidak tunggu lebih lama lagi, Rezqi segera masuk ke dalam mobil.
"Gue kira lu gak bakal dateng," Rezqi tersenyum kecut, mengingat perutnya yang masih lapar. "Mana baterai hape gue habis lagi mo calling elu, haah... payah!"
Steaven tertawa renyah. "Sorry, Bro. Sorry," ujarnya kemudian. "Lu kan tau, Bro. Jakarta ini kalo gak macet, ya gak afdol."
"Iye…" sungut Rezqi, "muke lu tuh, kek dodol."
Steaven menanggapi dengan tawa kencang. Kembali pemuda bermata minimalis itu menjalankan mobil sport-nya, sebab di belakang bunyi klakson terdengar berkepanjangan.
***
"Lah-lah-lah…" Rezqi memandang Steaven dengan sejuta keanehan di wajah. "Eih, ikan haruan yang habis kesirem minyak panas, kok malah belok di sini sih elu?"
Steaven terbahak-bahak mendengar makian temannya tersebut. Makian yang jelas mengindikasikan dari mana asal laki-laki tersebut, Tanah Borneo.
"Sialan lu!" dengus Steaven pula. "Sejak kapan ada ikan haruan warnanya putih?"
"Ada, lu-nya aja yang mainnya kurang jauh."
"Somplak!"
"Laah kagak percaya," Rezqi jadi ikut-ikutan tertawa. "Lu maen-maen noh, ke toko ikan hias punya si Jong. Bakal lu temuin tuh, haruan putih. Albino."
"Pasti mahal tuh ikan, hemm…"
"Eeh, anak setan," dengus Rezqi pula. "Bukan itu maksud gue."
Tawa Steaven semakin terdengar berderai saja. "Santai, Bro. Emosi aja bawaan elu. Interview lu gagal lagi pasti nih."
"Lagian," lanjut Rezqi, mengalihkan pembicaraan mengenai interview pekerjaan yang ia lalui tadi. "Elu kan janjinya langsung nganterin gue pulang ke rumah Om Ali, kenapa ini malah ke rumah elu, Steav?"
"Gue lapar, coy," kekeh Steaven, kedua alis di atas matanya bergerak-gerak turun-naik. "Jadi, yaa… nganterin elu, habis makan aje."
"Aaah, gak asik lu!" Rezqi menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. "Awas lu ye," ancamnya pada sang teman. "Awas lu kalau ntar ngungkit-ngungkit soal tawaran kerja dari Bokap lu itu."
"Iye, iye…" lagi-lagi Steaven tertawa lepas mendengar ancaman dari sahabatnya tersebut. "Ribet amat hidup lu, men."
"Berengsek!"
Selang semenit kemudian, Steaven menghentikan mobilnya di depan sebuah pagar rumah yang tidak terlalu besar, tapi terkesan mewah. Lalu, ia memandang ke arah Rezqi yang hening memikirkan sesuatu.
"Kenapa?" tanya Rezqi saat mendapati tatapan Steaven seakan memintanya untuk melakukan sesuatu.
"Lu turun kek, men," dengus Steaven geleng-geleng kepala. "Bukain kek tuh gerbang. Jangan duduk manis doang, oncom!"
"Yaelah…"
Pada akhirnya, Rezqi turun juga. Melangkah mendekati gerbang. Karena sudah sering main-main ke rumah sahabatnya tersebut, Rezqi jadi tahu celah di mana posisi pengait pintu gerbang berada. Lagipula, orang tua Steaven tidak pernah memiliki asisten rumah tangga di rumah mewah mereka itu, yang bisa untuk dimintai bantuan guna membuka gerbang.
Well, dulu pernah sekali, akan tetapi mengingat kinerja sang ART yang boleh dibilang minus, lebih sering bermain dengan ponsel sementara pekerjaan yang harus dikerjakan jadi terbengkalai, akhirnya orang tua Steaven memecat ART tersebut. Daripada makan hati, begitu ujar orang tua Steaven pada Rezqi satu ketika dahulu. Dan semenjak itu, mereka lebih suka melakukan segala hal di rumah itu dengan mengandalkan diri masing-masing saja.
Begitu pintu gerbang terbuka lebar, Steaven membawa mobilnya memasuki halaman rumah. Rezqi pun segera menutup pintu gerbang itu kembali. Steaven memarkirkan mobilnya di garasi yang ada di samping kanan rumah, bersebelahan dengan sebuah mobil sedan berwarna hitam dengan merek dagang yang pastinya akan membuat pundi-pundi keuangan Rezqi menggigil lalu menjerit sekencang-kencangnya.
"Yuk, Rez," Steaven mendekati pintu samping rumah. "Lemes amat lu, men."
"Sialan lu!" Rezqi mempercepat langkahnya. "Inget tuh yang gue bilangin barusan."
"Iye, cerewet lu!"
Rezqi melangkah di belakang Steaven. Di ruang tengah yang merupakan ruang keluarga, Rezqi bertemu dengan kedua orang tua dari sahabatnya tersebut. Keduanya terlihat sedang bersantai.
"Pah, Mah," sapa Steaven, lalu menghambur ke salah satu sofa yang tersedia.
"Dari mana, Steav?" tanya sang ibu.
Steaven menjulurkan mulutnya menunjuk kepada Rezqi. "Habis jemput tuh Tuan Muda."
"Siang, Om, Tante," Rezqi mendelik pada Steaven. Sialan lu, makinya di dalam hati.
"Hai Rez, dari mana, nih?" balas Tante Liana – aslinya Lianhua Chen, lima puluh lima tahun.
Sementara Om Juan – aslinya Juanardo Liam, lima puluh sembilan tahun – tersenyum menanggapi sapaan Rezqi, di tangannya ia memegang sebuah surat kabar berbahasa asing.
"Biasa," sahut Steaven mendahului mulut Rezqi untuk berucap. "Interview," lalu tertawa geleng-geleng kepala.
Rezqi tersenyum kecut. Apalagi Tante Liana dan Om Juan sama tertawa mendengar ucapan anak semata wayangnya itu barusan. Yaa, mereka berdua pasti mengerti maksud Steaven tadi.
Salah gue juga sih, gumam Rezqi di dalam hati. Menolak tawaran Om Juan. Tapi, yaa… ini masalah prinsip. Masak cowok mengkhianati prinsipnya sendiri?
"Ayuk langsung ke dalam," ajak Tante Liana. Ia menoleh pada Rezqi. "Kebetulan, Tante udah siapin makan siang. Yuk, Rez, sekalian."
"Makasih, Tan. Rezqi masih kenyang, kok. Udah makan tadi," tolak Rezqi dengan halus.
Om Juan melipat surat kabar di tangan, dan meletakkannya ke atas meja. Ia menoleh pada Rezqi. "Yakin?" tanya Om Juan sembari membetulkan posisi kacamatanya.
"Makan kapan?" timpal Steaven, lau tertawa lagi. "Bukannya tadi di mobil lu bilang nungguin gue ampe kelaperan?"
"Sialan lu Steav," dengus Rezqi. "Buka kartu gue aja lu." Kembali Rezqi mengangguk pada Tante Liana, dan satu senyum yang dipaksakan.
Tante Liana tertawa halus. "Tenang, Rez," ujarnya tersenyum. "Hari ini tuh, menunya seafood, kok."
Rezqi tertawa kecil. Ia tahu itu. Yang dimaksud Tante Liana pastilah makanan halal dalam keyakinannya, tanpa daging B2. Begitu pikir Rezqi.
"Hayoo," ajak Om Juan sembari melangkah menuju ruang tengah. "Keburu adem ntar tuh makanan."
Steaven tertawa lantang melangkah mendahului yang lain. Disusul Om Juan, dan di belakangnya, Tante Liana menggandeng tangan Rezqi.
***
BERSAMBUNG ...