"Lu keknya perlu mandi tengah malem pake kembang tujuh rupa, deh," ujar Jong pada Rezqi.
Sore itu, kelima sahabat tersebut sedang duduk-duduk santai di samping lapangan. Duduk menjeplok begitu saja di atas rerumputan yang sepertinya menyerah untuk tumbuh lebih subur pada tanah yang lumayan kering itu.
Kelimanya melepas lelah dari tubuh masing-masing yang bermandikan keringat, mereka baru saja usai berolah raga, bermain volly. Yaah, kecuali Rezqi, yang lebih banyak berlari-lari kecil saja sekeliling tanah lapang tersebut sebab kondisi tangan kirinya yang masih bengkak, tentunya akan menjadi hal yang tidak baik jika ia memaksakan untuk ikut bermain volly juga.
Lapangan volly itu kini diramaikan oleh remaja-remaja sepantaran SMP dan SMA, mereka terlihat ceria memukul dan melambungkan bola volly yang sudah tidak lagi berwarna putih. Keceriaan mereka menjadi keceriaan juga bagi Jong dan yang lainnya yang menyaksikan permainan asal-asalan tersebut.
"Kesian amat gue lihatin nasib elu, men," lanjut Jong. "Kalo lu mau, gue bisa tanya-tanya nih, gue bantuin nyariin orang pinter."
"Tul," timpal Dinda, dan lalu menyeruput minuman isotonik di tangannya. "Kasihan."
Kening Rezqi mengerut tiga belas mendengar ucapan Jong. Dan wajah itu semakin aneh memandang pada Dinda.
"Lu setres," dengus Rezqi. "Hare gene masih percaya sama tahayul? Euw, please, man!"
"Tul," timpal Dinda lagi sambil menutup botol minuman isotonik tersebut. "Zaman modern masih cayaan ma tahayul, kasihan."
Kembali kening Rezqi mengerut aneh memandang dara cantik yang duduk di samping Ambar itu.
"Gue rasa," sambung Steaven menanggapi ucapan Jong, "Jong ada benernya."
"Hehh! Jangan bilang lu juga percaya ama yang begituan?" sanggah Rezqi dengan wajah yang kian mengerut aneh.
"Bukan masalah percaya gak percaya," Steaven menggeleng-gelengkan kepala. "Masalahnya, apa yang elu alami selama ini itu sangat aneh, men. Menyedihkan."
"Tul," timpal Dinda lagi. "Menyedihkan," ujarnya seraya menikmati sebatang coklat ternama di tangannya.
"Brengsek lu pada," dengus Rezqi tersenyum kecut.
"Gue juga ngerasa ada benernya lhoo, Rez," sahut Ambar sambil memikirkan sesuatu di dalam benaknya.
"Halaaah," dengus Rezqi. "Lu lagi, pake ikut-ikutan percaya ucapan si Jong. Beuuh!"
"Lu lihat sendiri, kan?" sambung Ambar tidak mau kalah. "Atau lu kagak ngerasa sedikit pun, haa?"
"Ngerasa apaan?" ujar Rezqi balik bertanya. "Kalo tangan kiri gue yang masih sakit sih, iya. Masih kerasa."
"Brengsek!" dengus Ambar, dan melempar Rezqi dengan handuk kecil di tangannya. "Dodol. Maksud gue, lu saban hari masukin CV, saban hari interview, diterima juga nggak. Apa itu gak aneh buat lu?" gadis hitam-manis bersungut-sungut. Rezqi mencibir. "IPK lu itu tiga koma tiga lhoo, Rez. Kalo IPK lu sama kek kebo di sawah sih, gue nggak heran."
"Tul," sela Dinda di tengah keasyikannya menyantap coklat. "Kebo di sawah, kasihan."
"Aaah, lu lagi," dengus Rezqi pada Dinda. "Dari tadi tal-tul-tal-tul aja, gak jelas banget. Makan aja teros kerjaan elu!"
Di sudut lain tanah lapang itu Shari menghentikan langkahnya. Di tangan, ia menenteng sebotol minuman yang airnya agak keruh.
Tadinya, Shari akan mengantarkan botol yang sebenarnya berisi ramuan herbal karya tangan Babeh Djaja itu untuk Rezqi. Yaa, tentu saja ke rumahnya Akhirali. Berhubung Shari melihat Rezqi sekarang berada di pinggir lapangan volly itu, tidak ada salahnya menyerahkan langsung air ramuan herbal tersebut kepada Rezqi di sana.
Masalahnya, teman-teman karib laki-laki tersebut juga sedang berada di sana menemaninya. Inilah yang sedikit membuat Shari berpikir ulang dan menghentikan langkahnya tiba-tiba. Yang kemarin saja, Shari nyaris tak sanggup menahan goda dan candaan teman-teman Rezqi. Ditambah lagi, sekarang ia hanya sendirian tanpa kehadiran Babeh Djaja, bisa-bisa teman-teman Rezqi malah semakin menggila menggodanya.
Untuk beberapa saat, Shari hanya berani memandang Rezqi dan kawan-kawannya dari kejauhan itu saja. Mereka tidak mengetahui keberadaan Shari sebab posisi duduk mereka yang sama-sama membelakangi keberadaan Shari sendiri.
Keceriaan Rezqi dan teman-temannya itu sedikit bisa membuat Shari cemburu. Cemburu ingin berada bersama mereka sekarang juga dan ikut merasakan keceriaan yang ada.
Pada akhirnya, Shari pun memberanikan diri melangkahkan kakinya mendekati Rezqi dan kawan-kawan meski ia harus menahan rasa jengah yang memerahkan pipinya saat itu juga.
"Eeh, Neng manis," ujar Jong yang pertama melihat kehadiran gadis tersebut. Serentak keempat yang lain palingkan wajah ke arah yang sama.
"Bang Jong," sapa Shari. Dan menganggukkan kepalanya, menyapa pada yang lain.
"Nyari Abang, ye?" goda Jong sambil senyam-senyum. "Ntu bakal Abang?" tunjuknya pada botol di tangan Shari.
"Gak usah er-ji, lu," timpal Ambar.
"Eeh? Er-ji?!" gantian kening Jong sekarang yang berkerut aneh.
"Mending," jawab Ambar, cuek. "Daripada gue bilang ge-er. Gejala rabies, mau?"
Dan disambut gelak-tawa dari yang lain. Termasuk Shari yang jadi salah tingkah, mesem-mesem sendiri.
"I—ni," Shari menoleh pada Rezqi. "Tadinya, mau ngantarin ini," ia mengunjukkan botol di tangan pada kelima sahabat tersebut. "Ke rumah… buat Bang Rezqi. Tapi, kan Bang Rezqinya lagi di sini. Yaa, sekalian di sini aja Shari ngasinya."
"Ecieee…" goda yang lain hampir berbarengan.
"Perhatiannya, cek-cek-cek-cek," decak Steaven dengan gelengan kepala.
"Apaan sih, lu?" dengus Rezqi pada Steaven sambil menyikut tangan pemuda tersebut. Rezqi cukup memhami, dengan mendatangi dirinya langsung di tengah para sahabatnya ini sudah membuat Shari serbasalah, apalagi harus mendapat godaan demi godaan. "Air apaan, tuh, Shari?"
"Ramuan buat tangan, Abang," senyum Shari, lantas menyerahkan botol tersebut. "Babeh yang bikin."
"Makasih ya, Shar," ujar Rezqi tersenyum tulus sambil menyambut pemberian orang. Sejenak ia perhatikan air ramuan yang keruh di dalam botol, keningnya mengernyit. "Kapan diminumnya?" balik ia memandang pada Shari.
"Kapan aja boleh, Bang," Shari tersenyum lagi. "Yang penting, dua kali sehari."
"Udah kek obat apotik aja tuh, Shar," timpal Ambar terkekeh. Shari juga tertawa halus dengan wajah yang semakin memerah.
"Bukan!" sanggah Steaven. Otomatis semua pandangan tertuju padanya. "Yang terpenting menurut gue, elu…" ia menunjuk pada Rezqi, dan beralih pada Shari, "ama Shari, jadian."
Sementara Rezqi mendengus kesal mendengar olok-olokan Steaven, dan Shari yang wajahnya persis seperti udang dalam penggorengan, teman-temannya justru tertawa terbahak-bahak.
"Tul," timpal Dinda, dan kembali melanjutkan tawanya. "Jadian."
"Hahh, lu lagi," dengus Rezqi.
Kembali pemuda itu memerhatikan air ramuan di dalam botol. "Gimana rasanya?"
Botol ia guncang sedemikian rupa. Kemudian membuka tutupnya. Mendekatkan ke hidungnya. Keningnya sedikit mengernyit saat indra penciumannya menangkap bau yang sedikit menyengat dari air ramuan tersebut.
"Yang pasti mah," timpal Steaven lagi. "Rasa cinta."
Lagi-lagi tawa para sahabat Rezqi bergema di tengah-tengah gerik tubuh Shari yang kaku, tertunduk, namun satu senyum teramat manis terukir di bibirnya yang indah.
"Sial lu pada," umpat Rezqi sembari terus memandangi air di dalam botol. Rezqi memandang pada Shari dengan sorot wajah yang aneh.
"Bener nih, bisa diminum nih air?"
Shari tersenyum mengangguk, seakan mempersilakan Rezqi untuk mencoba. Tidak mau berlama-lama lagi, Rezqi pun mencoba mereguk cairan tersebut.
Namun, begitu air ramuan masuk ke dalam mulut dan terus ke tenggorokannya, sontak Rezqi langsung memuntahkan cairan yang masuk tersebut.
"Hoeeck…!" sepasang mata memicing, kepala bergetar, dan mulut yang mengerucut. "Pahiiit…!"
***