Chereads / Tirai Penghalang / Chapter 18 - Tembok

Chapter 18 - Tembok

Awalnya, sepeninggal Jodi, Amia kembali berniat untuk melihat-lihat majalah fashion di tangannya tersebut. Akan tetapi, sebentar saja, majalah itu kembali ia taruh di pangkuannya. Lalu, satu tangan bertopang ke lengan sofa, dan tangan itu pun ia jadikan sebagai penopang kepalanya.

"Jadi dia orangnya, hemm…" gumam Amia seolah berbisik pada diri sendiri.

Orang yang membantu dirinya kala ia tak sengaja menjatuhkan tumpukan map dan berkas dalam dekapan siang tadi itu, ternyata orang yang sama yang ditabrak sang adik. Juga, pikir sang gadis kemudian, besar kemungkinan juga adalah orang yang sama yang ada di dalam lembaran map lamaran pekerjaan yang tak sengaja tersenggol lalu jatuh ke lantai, saat Amia sedang duduk di sebuah café siang tadi juga.

"Bukankah dia juga orang yang sama yang mendonorkan darahnya, disampingku?"

Lagi-lagi Amia tertawa halus geleng-geleng kepala mengingat kejadian beberapa hari yang lalu.

"Rezqi Buana," gumam Amia mengingat nama si pemilik CV yang sempat ia periksa siang tadi itu. "Apakah ini satu kebetulan semata?" pikir sang gadis lagi. "Menarik…"

Lalu, satu lengkung tipis tertarik indah di sepanjang garis bibir sang gadis, keindahan itu ditambah pula dengan hadirnya dua lesung pipit yang semakin mempertegas betapa cantiknya gadis tersebut.

***

"Sayang sekali," ujar pria tambun berpakaian rapi itu pada Rezqi. "Posisi yang sempat kosong, sudah ada yang menempati."

Rezqi mengangguk-angguk, hanya basa-basi saja. Hahh… tembok lagi, tembok lagi, gumam Rezqi di dalam hati.

"Terima kasih, Pak." Rezqi tetap melayangkan senyuman. "Permisi," ujarnya lagi, ia merasa percuma dan tidak ada gunanya berlama-lama lagi di dalam ruangan tersebut.

Pria tambun mengangguk, mempersilakan Rezqi. Mengawasi punggung pemuda tersebut melangkah keluar, hingga menghilang di balik pintu.

"Sayang sekali," guman si pria tambun. Menggeleng-gelengkan kepala. "Padahal nilai akademisnya bagus-bagus, meski minim pengalaman kerja."

Pria tambun mengalihkan pandangannya pada dinding kaca gelap di sisi kiri. Ia tersenyum menganggukkan kepala pada seseorang yang ada di balik kaca tersebut. Tidak begitu jelas, hanya siluetnya saja yang bisa dilihat sebagai seorang wanita yang berambut panjang.

"Apa tidak apa-apa, Bu?" tanya pria tambun, kembali pandangannya terarah ke pintu di mana Tadi Rezqi berlalu, dan kembali ke arah sosok di balik kaca yang sedikit gelap itu. "Sepertinya dia orang yang menjanjikan."

"Begitukah?"

"Yaah," angguk pria itu lagi. "Saya rasa memang begitu, mengingat nilai akademisnya bagus-bagus."

"Zaman sekarang kalau hanya melihat dari nilai akademis yang bagus," ujar wanita tersebut, dan ada suara tawa halus yang terdengar di sana. "Orang seperti Anda sendiri, tentu tidak akan dapat bekerja di sini, iya kan? Kepala HRD pula."

Pria tambun tersenyum, mengangguk-angguk. "Anda benar, Bu Mia. Saya hanya merasa sayang saja. Mungkin saja nilai-nilai itu memang atas kemampuan dirinya sendiri, tapi yaah… bisa pula dari hal-hal negatif lainnya. Siapa yang bakal tahu? Anda benar."

"Tidak jadi soal, Pak Zardan," ujar wanita itu lagi. "Saya tidak sepenuhnya menolak hal ini. Saya hanya ingin menguji laki-laki itu tadi, itu saja."

"Jadi," Zardan – berumur empat puluh dua tahun – tertawa bahkan sampai perutnya berguncang. "Anda mengenal dia, Bu Mia?"

"Heemm, Anda boleh katakan seperti itu."

"Aaah, baiklah," Zardan mengangguk lagi. "Jika demikian adanya."

"Saya berencana akan menerima dia di Graha Abadi nanti, kalau tidak ada halangan."

"Dia juga memasukkan lamaran di perusahaan Anda yang itu?"

"Begitulah," ujar wanita itu lagi. Lagi-lagi terdengar suara tawa nan merdu dari wanita tersebut.

"Benar-benar laki-laki yang gigih," ujar Zardan. "Well, tapi semua terpulang kepada Bu Mia sendiri sebagai pemilik perusahaan. Saya pribadi, hanya mencoba memberikan yang terbaik yang Anda minta."

Wanita di balik dinding kaca itu terlihat mengangguk-angguk.

***

Lama menunggu jemputan, Rezqi merasakan perutnya bernyanyi riuh minta diisi. Padahal, Steaven sudah berjanji akan menjemput sebelumnya, di tempat ini. Sampai sekarang pun, batang hidung tuh anak gak kelihatan juga, rutuk Rezqi di dalam hati.

"Ahh, pake lapar lagi," gumam pemuda tersebut seorang diri. Ia merogoh saku celana jeans-nya. Hanya ada tujuh ribu rupiah saja. "Asemm," Rezqi mendengus lemah. "Kalo gue jajanin, pulangnye pegimane? Mending tuh si anak gemblung dateng ngejemput. Hahh…"

Setelah menimbang-nimbang, menghitung-hitung, akhirnya Rezqi memutuskan untuk membeli sebungkus roti dan segelas air mineral di sebuah warung tepi jalan, tidak jauh dari tempat ia menunggu jemputan yang telah dijanjikan oleh Steaven.

Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, Rezqi kembali ke posisinya semula di pinggir jalan tersebut. Duduk setengah tak bersemangat di atas sebuah tembok setinggi pinggang dari sebuah bangunan di belakangnya.

"Haah…" keluh Rezqi sambil memandang sejumlah uang di telapak tangannya. "Sisa tiga rebuan. Sekali jalan doang ini," ia geleng-geleng kepala sembari berdecak berulang kali mengasihani diri sendiri. "Kepaksa ntar jalan kaki," rutuknya lagi sembari memasukkan uang di tangan ke kantung celana.

Rezqi mulai mengganjal perutnya dengan sebungkus roti dan segelas air sambil menunggu. Berharap Steaven akan menjemputnya, sebagaimana janji temannya itu yang tadi mengantarkannya untuk interview.

Lama menunggu Rezqi jadi uring-uringan. Masalahnya, jika memaksa naik angkot, sudah pasti nantinya dia harus melanjutkan dengan jalan kaki sebab kehabisan uang untuk naik angkot kedua. Dan jelas, jika si Steaven ternyata datang menjemput, dan dia sendiri tidak di sana menunggu saat itu, "Bisa habis kena maki gue," gumam Rezqi pula.

Namun, menunggu tanpa kepastian, lama-lama melelahkan juga. Dan yang pasti, dengan kekesalan yang bertumpuk di dalam dada. Lebih fatal lagi, Rezqi tidak bisa menggunakan ponselnya, kehabisan baterai.

"Dasar bodoh," gumamnya memaki diri sendiri. "Bisa-bisanya gue sampai lupa ngecas hape sebelum berangkat tadi," keluh pemuda tersebut sembari menatap ponsel yang kehilangan nyawa di tangannya itu.

Setengah menggerutu, Rezqi pun kembali menyimpan ponsel tersebut ke dalam tas sandang usang di bahunya.

Di kejauhan, arah kanan, Rezqi melihat satu angkot datang mendekat dengan asap hitam yang jelas terlihat mengepul di belakang bus tiga-per-empat berwarna merah kusam tersebut. Rezqi mengernyitkan keningnya, menghela napas dalam-dalam.

"Ahh, ya sudahlah. Terpaksa, naik angkot saja," Rezqi akhirnya berdiri, bermaksud untuk menghentikan kendaraan itu.

Hanya saja, sebelum pemuda tersebut sempat melambaikan tangannya, sudut matanya melihat sesuatu yang cukup menarik perhatian pemuda itu sendiri. Sebuah mobil mewah meluncur keluar dari halaman kantor tempat di mana tadi ia melakukan interview – dari sisi kanan posisi Rezqi berdiri.

Sepasang alis pemuda tersebut mengerut saat memandang kendaraan itu melintas pelan di depannya. Ia bisa melihat kaca jendela bangku belakang mobil tersebut, sedang bergerak ke atas – menutup.

TO BE CONTINUED ...