"Atau kalo nggak," lanjut Ambar pula. "Yaa, kamu tuh kerja di perusahaannya Papi si Dinda, noh."
"Tul," sahut Dinda – berusia dua puluh lima tahun – yang sedang asyik mengunyah rempeyek kacang.
Gadis yang satu itu adalah yang termuda di antara kelima sahabat tersebut. Asli keturunan Jogjakarta. Dinda sendiri tidak memiliki pekerjaan setelah menyelesaikan pendidikan S1-nya, lebih memilih menganggur saja menikmati sedikit kebebasan dari hal-hal yang memusingkan kepala.
"Tal-tul-tal-tul," Rezqi bersungut-sungut menatap pada Dinda. "Ngunyah aja terus. Gak jelas banget kamu itu."
Selagi yang lain mendengus menahan tawa, Dinda menggerak-gerakkan sepasang alis memandang Rezqi, tersenyum lagi, mengunyah lagi.
Uniknya lagi, Dinda yang hobi makan dan ngemil itu memiliki tubuh yang boleh dibilang langsing. Seolah, semua makanan yang masuk ke dalam perutnya hilang begitu saja.
"Nape lu keras kepala banget sih, Rez?" Jong mengembuskan napas yang panjang.
Aslinya, pemuda itu bernama Jonny Sadikhin. Berusia dua puluh delapan tahun, anak Betawi asli. Paling tua di antara mereka berlima. Dan yang paling kurus bila dibanding Steaven dan Rezqi. Jong punya usaha menjual ikan-ikan hias air tawar, lengkap dengan aquarium dan segala pernak-pernik aquarium itu sendiri.
Jong mereguk kopi dalam gelas di tangannya. "Gak ngarti lagi gue jalan pikiran elu, sumpah."
"Ini masalah prinsip, Jong. Prinsip," jawab Rezqi sembari membetulkan posisi duduknya.
"Makan tuh prinsip!" Saking kesalnya, Ambar melempari Rezqi dengan remahan rempeyek.
"Relax," elak Rezqi, tangan kanan dengan cepat melindungi wajah dari serbuan serpihan rempeyek. "Nona Jagoan."
"Sialan lu!" dengus Ambar, dan lantas melampiaskan kekesalannya dengan mengunyah rempeyek kacang. "Susah emang. Ngomong ama tembok lebih gampang keknya."
"Kapan lagi elu bisa ngumpul-ngumpul, Rez?" ujar Jong menyambung ucapannya yang terputus. "Umur dah makin tua, kapan elu mau married coba?"
Rezqi menahan tawa, ia tahu itu. Mengumpulkan uang, beli rumah, menikah, dan punya keturunan. Heemm, dua orang anak saja cukup kayaknya.
"Jodoh gue belum lahir," jawab Rezqi acuh tak acuh.
"Somplak!" kembali Ambar melempar Rezqi dengan potongan rempeyek. "Batu lu emang."
Dan yang lain, hanya bisa menggelengkan kepala.
"Kalau kalian bisa nyariin jodoh buat si Rezqi—" tiba-tiba satu suara terdengar menimpali percakapan kelima sahabat tersebut.
Bi Ayu muncul di ambang pintu masuk, membawa sebuah nampan yang di atasnya tersusun beberapa gelas kotor.
"—Bisa bikin dia nikah," lanjut Bi Ayu pula. "Bibi kasi bonus kalian semua."
Lagi-lagi muda-mudi tersebut tertawa. Setidaknya, Bi Ayu sudah mengenal pasti keempat sahabat dari Rezqi tersebut selama ini. Dan ya, mereka semua orang-orang baik dari keluarga yang baik-baik pula.
"Orang nikah kok dipaksa-paksa?" Rezqi terkekeh. "Kerja aja belum. Mau kasi makan apaan anak orang ntar?"
"Makanya Rez, mbok ya kamu itu terima saja tawaran Papinya si Dinda, atau Papanya si Steaven!" balas Bi Ayu setengah memaksa. "Kan enak. Habis itu kamu bisa nikah, kan?"
"Apa?! Mau ngomong apa?" potong Ambar saat melihat Rezqi akan membuka mulut untuk membalas ucapan Bi Ayu. "Mau bilang lagi kalau itu masalah prinsip?" sepasang mata melotot sangar.
Rezqi hanya bisa tertawa menelan ucapannya kembali. Setiap kali berkumpul, selalu saja terjadi pertengkaran kecil seperti sekarang. Ia tahu, semua itu bentuk kepedulian dari sahabat-sahabatnya tersebut. Nama lain dari perhatian.
"Ada yang mau nambah minum?" tawar Bi Ayu pada keempat muda-mudi itu sebelum berlalu menuju dapur.
Lagipula, pikir Bi Ayu, memaksa Rezqi sama dengan memaksa memindahkan batu karang besar dengan bermodalkan kekuatan kedua tangan. Itu artinya, sia-sia.
"Eeng, Bi," sahut Dinda dengan mulut yang penuh dengan rempeyek. "Es jeruk, segelas lagi, ya."
"Oke, Cantik," ujar Bi Ayu. "Yang lain?" Bi Ayu memandang bergantian pada Steaven, Ambar, dan Jong.
"Huuu…" timpal Steaven menyindir Dinda. "Gak deh, Bi. Masih ada nih."
Bi Ayu tersenyum lagi, dan berlalu menuju dapur setelah Ambar dan Jong pun menggelengkan kepala mereka pertanda minuman yang sebelumnya dihidangkan Bi Ayu sudah cukup bagi keduanya.
***
Shari melangkah dengan cepat. Lebih terlihat seperti seseorang yang sedang tergesa-gesa, mendahului langkah sang ayah yang tertinggal jauh di belakang. Di tangan kanan, sang gadis membawa sebuah botol ukuran sejengkal tangan, di dalamnya berisi minyak urut dari sejenis akar langka. Minyak di dalam botol itu sendiri berwarna kemerah-merahan, bening.
"Shari?" seru Babeh Djaja, ngos-ngosan.
Namun, anak gadisnya itu semakin mempercepat langkahnya. Kembali Babeh Djaja menyusul sambil memegangi perut.
"Tungguin Babeh nape?"
"Babeh kelamaan iih," sahut Shari di depan sana. "Cepetin langkahnya."
"Anak kurang ajar," seru Babeh Djaja dengan langkah kaki yang berserak. "Lu mau ngebunuh Babeh lu sendiri, ape? Oii… Shari," teriaknya lagi. "Pelanin dikit jalan lu kan bisa!"
"Babeh lelet iih," Shari cemberut, namun tidak juga memperlambat langkah kakinya.
"Oii, tungguin Babeh!"
Tanah kosong itu sebenarnya milik Haji Rahman, akan tetapi Haji Rahman memang sengaja mengosongkan tanah tersebut. Tujuannya, memberi kesempatan pada anak-anak, muda-mudi, untuk bermain di sana. Olah raga, atau kegiatan lainnya. Juga, sangat berguna bagi warga sekitar, semisal saat mengadakan kenduri, perayaan nasional dengan orgen tunggalnya, dan lain-sebagainya.
Sore itu, lapangan serbaguna tersebut cukup ramai oleh muda-mudi yang tengah bermain volly. Bima dan juga beberapa remaja sedang berebutan menendang bola plastik. Ada pula bocah-bocah yang sedang bermain layangan, salah satunya Arjuna.
Beberapa orang pemuda coba menggoda dengan menyeru pada Shari, kadang dengan siulan, ada pula dengan kode-kode lainnya, saat gadis manis berjilbab itu melintas di dekat lapangan. Hanya saja, begitu para pemuda tersebut menyadari jika beberapa meter di belakang si gadis manis ada sosok Babeh Djaja yang mengekor, serempak para pemuda terdiam.
Bisa-bisa sang ayah akan mengamuk jika mendapati mereka sedang menggoda anak bungsunya itu. Dan itu, bukanlah hal yang menyenangkan. Setidaknya, kuping akan terasa panas dan tebal kena maki Babeh Djaja.
Shari hanya tersenyum manis mendapati kekakuan para pemuda di lapangan, ia tahu pasti, semua pasti gara-gara melihat sang ayah di belakangnya itu. Lalu, pandangannya membentur sosok Bima.
"Bim, Bima?" panggil Shari pada Bima yang tengah asyik menendang bola bersama teman-temannya. Bima menoleh pada Shari.
"Iya, Kak?" sahut Bima pula.
"Bang Rezqi di rumah, gak?"
"Ada, Kak," jawab Bima, "ama temen-temennya."
Sejenak, Shari menghentikan langkah, gugup. "Aduh, gimana dong, ini? Pasti temen-temennya Bang Rezqi bakal nge-bully lagi," gumam Shari seorang diri.
Sempat berpikir untuk kembali saja. Namun saat sang gadis melihat sosok sang ayah, keraguan semakin membesar di diri Shari.
"Adduh… Babeh lagi," gumamnya lagi.
Jangankan orang lain, pikir sang dara, ayah kandungnya sendiri pun boleh dibilang sering mem-bully dirinya soal jodoh-menjodohkan dirinya dengan Rezqi.