Tapi, terlepas dari itu semua, Amia sangat-sangat-sangat menyayangi sang adik. Dia sajalah satu-satunya keluarga yang ia miliki kini.
Sang dokter dan sang perawat yang masih berada di ruangan yang sama, tertawa menanggapi tingkah kakak-adik tersebut.
"Hmm, dalam empat-lima hari, saya rasa luka-lukanya akan mengering," ujar sang dokter memberitahukan kondisi luka Jodi pada Amia.
"Terima kasih, Dokter," senyum dara tersebut.
"Terima kasih, Pak," ujar Jodi pula.
Sang dokter mengangguk, tersenyum. "Mari, Bu," pamit sang dokter dan melangkah keluar ruangan ditemani sang perawat.
Sekejap saja, dokter dan si perawat itu sudah tidak terlihat lagi dari pandangan Amia dan Jodi.
"Apa Kakak bilang?" dengus Amia sembari bertolak pinggang, menatap sang adik dengan sedikit ketegasan di sana. "Gak usah ngeyel bawa motor segala!"
Jodi tersenyum kecut sembari memerhatikan kedua siku tangan yang dibalut kain kasa putih. Rona merah dari cairan obat yang melapisi luka-lukanya merembes di beberapa titik. Lalu, ia pun merapikan baju putih seragam sekolah di pangkuan.
"Belum lagi kalau seandainya kamu kena razia polisi, siapa yang repot?"
"Iya, Kak, maaf…"
"Kan lebih baik kamu diantar-jemput sama Pak Abdul," Amia masih ingin menumpahkan kerisauan dan unek-uneknya pada sang adik.
"Iya, iya…, Jodi tahu kok," Jodi tersenyum lagi memandang pada sang kakak. Kembali mengenakan bajunya.
"Pokoknya, mulai hari ini kamu gak boleh lagi bawa motor, titik!" ujar sang kakak, dan lantas membekap pipi sang adik dengan kedua tangan, kemudian memeluk Jodi ke dalam dekapannya. "Kalau kamu kenapa-kenapa, apa yang harus Kakak bilang sama Mama dan Papa di surga sana?" suaranya terdengar serak.
"Kak…"
Jodi melepaskan rangkulan, tersenyum lagi memandang beningnya kedua bola mata sang kakak yang sudah berkaca-kaca. Bagaimana pun, Jodi merasa berdosa pada sang kakak. Sungguh, ia tidak ingin melihat sang kakak dalam keadaan sedih.
"Jodi gak apa-apa kok." Ia raih kedua tangan sang kakak mendekapnya ke dada. "Jodi janji, gak akan bawa motor lagi."
Sang kakak tersenyum, kembali memeluk sang adik.
Setelah menyelesaikan segala biaya admistrasi pengobatan Jodi di meja respsionis itu, Amia pun membawa sang adik melangkah meninggalkan ruang tunggu dari rumah sakit tersebut.
Jodi melangkah di samping kanan sang kakak, di tangan kanannya si pelajar SMA tersebut menenteng bungkusan putih berisi obat-obatan yang tentunya demi kesembuhan remaja itu sendiri.
Pak Abdul – berusia empat puluh lima tahun, Jawa asli – melihat sosok Amia dan Jodi keluar dari pintu besar berdaun ganda di bagian depan rumah sakit di hadapannya tersebut. Kebetulan, mobil terparkir di bagian depan halaman rumah sakit, jadi sang supir bisa dengan cepat mendekati Amia dan Jodi.
Saat Pak Abdul membuka pintu di sampingnya, dan bermaksud untuk membantu Amia dengan kondisi Jodi yang sekarang itu, Amia tersenyum mengangkat tangan.
"Udah," ujar gadis tersebut. Lesung pipit di pipinya kembali muncul menghiasi kecantikan wajahnya. "Gak apa-apa, Pak. Biar saya saja."
Pak Abdul tersenyum mengangguk. Bagaimana pun, selama ia melayani Amia dan Jodi selama ini, selalu mendapat perlakuan yang baik. Sang supir kembali ke posisi duduknya, menutup kembali pintu yang terlanjur terbuka.
Amia membukakan pintu depan sisi kiri, lalu meminta Jodi untuk naik terlebih dahulu. Jodi menurut saja. Setelah itu, Amia memilih duduk di bangku belakang.
"Jalan, Pak," pinta Amia pula setelah ia berada di dalam mobil.
"Langsung pulang, Non?"
"Iya, Pak."
Dan Pak Abdul pun menjalankan mobil tersebut, keluar dari lingkungan rumah sakit, memasuki jalan raya, dan meluncur menuju rumah sang majikan.
"Gimana kondisi tangannya, Den?" tanya Pak Abdul pada Jodi sesaat kemudian.
"Aah, gak apa-apa kok, Pak."
"Gak apa-apa gimana?" sahut Amia dari belakang. "Lecet-lecet kek gitu, masih aja kamu bilang gak apa-apa. Kamu tuh bikin Kakak jantungan lhoo, Jodi."
Jodi tersenyum kecut, sementara Pak Abdul geleng-geleng kepala.
"Iya, Kak," ujar Jodi kemudian. "Maaf. Kan tadi Jodi dah bilang, janji gak mau pake motor lagi."
"Baguslah kalau kamu mengerti mah, Sayang," Amia tersenyum, menjulurkan tangan menjangkau kepala sang adik, lalu mengucek-ucek rambut sang adik. "Hemm—ehh, sayangnya Kak Mia…"
"Iiih…" Jodi miringkan tubuhnya, menjauh dari jangkauan sang kakak. "Apaan sih, Kak? Jodi bukan anak SD lagi."
Pak Abdul tertawa pelan menanggapi kelakuan kedua kakak-adik yang juga adalah majikan bagi dirinya itu. Yaah, beginilah keduanya, pikir Pak Abdul. Dan laki-laki tersebut sangat bersyukur bisa bekerja untuk keluarga ini, melayani mereka sebagai supir yang siap mengantarkan ke mana saja mereka mau.
"Pokoknya nih, Pak Abdul," ujar Amia kemudian. "Mulai sekarang, Pak Abdul juga harus nganterin Jodi ke sekolah, juga menjemput nih anak satu saat pulang sekolah."
"Siap, Non," angguk Pak Abdul pula. "Dengan senang hati."
***
Ada empat orang muda-mudi yang sekarang berada di ruang depan itu. Empat orang sepantaran, yang duduk berdekatan dengan Rezqi Buana. Keempat orang tersebut adalah sahabat-sahabat terbaik dan paling akrab dengan si pemuda. Persahabatan mereka berlima sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Tanpa membeda-bedakan suku, adat, ras, dan agama.
Seorang pemuda tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan dari mulut Rezqi soal kecelakan yang dialami Rezqi beberapa saat yang lalu.
"Rez, Rez," ujar pemuda tersebut, geleng-geleng kapala.
Steaven namanya, pemuda keturunan Tionghoa Kalimantan ini berusia dua puluh tujuh tahun, memiliki sejumlah toko yang tersebar di beberapa tempat di Jakarta, juga di Kalimantan. Steaven masih memegangi perutnya yang kejang karena terlalu banyak ketawa.
"Itulah," Steaven geleng-geleng kepala, masih berusaha untuk tidak tertawa lagi karena terlalu kejang dan kram di perut yang ia rasakan. "Seharusnya, lu tuh terima aja tawaran Bokap gue. Yaa gak, guys?" Steaven alihkan pandangan pada tiga temannya.
"Huuu!" dengus Rezqi. "Salahin aja gue terus."
"Lhaa, bener kan?" timpal Ambar.
Gadis yang satu ini keturunan Palembang-Madura. Berusia dua puluh enam tahun. Ambar memiliki kulit sawo matang mengikuti gen dari sang ibu. Sedikit tomboy dengan gaya rambut yang pendek, juga pakaian di badannya itu, lebih mirip pakaian laki-laki.
Ambar memiliki usaha dengan membuka satu perguruan seni bela diri asal Korea. Yakni, Taekwondo. Meskipun tidak terlalu besar, dan hanya memiliki satu tempat latihan saja, tapi Ambar cukup puas. Setidaknya, gadis tersebut memiliki lebih-kurang lima puluh orang anak didik, dan tiga orang ahli pendidik yang sudah memegang ban hitam.
"Atau kalo nggak," lanjut Ambar pula. "Yaa, kamu tuh kerja di perusahaannya Papi si Dinda, noh."
"Tul," sahut Dinda – berusia dua puluh lima tahun – yang sedang asyik mengunyah rempeyek kacang. Gadis yang satu itu adalah yang termuda di antara kelima sahabat tersebut.