Chereads / Tirai Penghalang / Chapter 10 - Gawat!

Chapter 10 - Gawat!

Arjuna melangkah dengan riang, lalu berhenti sejenak, memasukkan mata pisau cutter kembali ke sarangnya, menyimpan pisau tersebut ke saku belakang celana, dan meneruskan langkah riangnya menuju rumah Bang Tohap.

Arjuna melangkah setengah berirama, terkadang mengangkat tinggi kakinya, kadang terlihat seperti seorang yang setengah berlari, kadang malah terlihat seperti sedang menari-nari. Apa pun itu gaya langkah bocah tersebut, selalu diiringi senandung kecil dari mulutnya. Senandung yang sangat-sangat-sangat tidak jelas banget syairnya.

Bang Tohap sedang duduk di beranda depan rumahnya. Ditemani segelas kopi hitam. Ia melepas penat, selonjoran duduk di atas bangku yang terbuat dari anyaman rotan, memberi kelonggaran pada perutnya yang terasa begah sehabis bersantap siang. Pria Batak itu bertelanjang badan saja di bagian atas, memamerkan perutnya yang melembung rada buncit.

Di kejauhan dari arah kanan, Bang Tohap bisa melihat sosok Arjuna yang melangkah riang sambil bersenandung. Bahkan, syair yang tidak jelas dan sangat-sangat-sangat semrawutan itu terdengar semakin lantang saja keluar dari mulut bocah tersebut.

"Om Tohap?" teriak Arjuna, meski sang bocah sendiri belumlah mencapai pagar rendah rumah tersebut.

Masih ada jarak sekitar lima meteran lagi, tapi Arjuna sudah berteriak sangat lantang, membuat Bang Tohap menjadi sedikit kaget karena suara melengking sang bocah.

"Eih?" sepasang alis Bang Tohap mengerut. "Yang mendekat dululah kau itu. Tereak-tereak kek yang kesurupan saja," serunya dengan lantang pula.

Arjuna tertawa geli hati, dan mendekati pagar rumah tersebut.

"Om Tohap?" panggil bocah itu lagi. Seolah, ia belum melihat laki-laki Batak itu sama sekali.

"Iyaa…" Bang Tohap bersungut-sungut mendengar teriakan anak itu. "Cukuplah sekali saja kau panggil, ndak usah diulang-ulang, baah. Belum butanya aku punya mata."

Bersamaan itu anak perempuan Bang Tohap yang seusia dan satu sekolahan dengan Arjuna muncul di ambang pintu. Ekspresi wajah Arjuna langsung berubah kala mendapati sosok imut teman satu kelasnya tersebut. Merah, dan tersipu, malu-malu.

"Eeh, Fraya," Arjuna mesem-mesem memandang pada gadis cilik di depan sana. "Hai…"

Bang Tohap berdiri, bertolak pinggang, memandang dengan segala keanehan pada Arjuna dengan sepasang mata membelalak lebar.

"Hoi-hoi-hoii, baah…" dengus laki-laki Batak itu kemudian. Tapi, Arjuna cuek saja, tidak menggubris pandangan aneh di wajah Bang Tohap.

"Juna?" sahut Fraya. Gadis kecil terlihat sedikit bingung. "Mau bikin pe-er bareng?" tanyanya lagi. "Kok, gak bawa buku?"

"Enggak," Arjuna senyam-senyum, disertai gerak-gerik tubuh yang semakin aneh di mata Bang Tohap. "Mau ketemu, Om Tohap," ujarnya acuh tak acuh saja dengan keberadaan Bang Tohap di sana.

"Woi-woi-woi," sergah Bang Tohap. "Macam mana pulaklah kau ini, baah? Jangan mentel kau itu!" (Mentel, istilah orang Sumatra untuk mengganti kata; genit.)

"Iih, Om sembarangan," elak Arjuna.

Dan tahu-tahu, gerak-gerik tubuh Arjuna berubah dengan cepat. Seolah ada tombol otomatis di dalam diri bocah tersebut. Tapi hanya untuk sebentar saja, sebab kala Arjuna memandang Fraya, sikap tubuhnya kembali berubah.

"Bahh, yang ada-ada sajalah anak-anak sekarang, kecil-kecil sudah mentel."

Tapi, memang begitulah bocah yang satu itu. Dan Bang Tohap sudah mengetahui hal tersebut. Di antara banyak anak kecil di lingkungan mereka, sepertinya hanya Arjuna satu-satunya bocah yang tidak takut sedikit pun dengan suara Bang Tohap yang menggelegar, khas orang Sumatra Utara. Alih-alih pada wajah sangar laki-laki Batak itu sendiri, meski sebenarnya, di sisi dalam, Bang Tohap adalah orang yang baik.

Hanya saja, yaa itu tadi, Arjuna seperti sudah putus urat takutnya terhadap Bang Tohap.

"Kau cari aku, kan, hemm?" ujar Bang Tohap kemudian, mendelik pada Arjuna. "Aku sudah di sini. Terus, kau itu mau apa sebetulnya, Juna?"

"Engg, Bang Rezqi, katanya gak bisa bantuin Om Tohap," jawab Arjuna, dan kembali senyam-senyum memandang pada Fraya.

"Eih, kenapa pulak?" jidat Bang Tohap mengerut aneh. "Jangan kau pandangi terus anakku itu, baah! Naksir kau, ya?"

"Iya, Om."

"Eiih, kau ini!" delik Bang Tohap. "Mentel kali kau kutengok."

"Eeh, maksud Juna, Bang Rezqi-nya, Om," ujar Arjuna lagi, tersenyum lebar. Sementara itu, Fraya yang mendengar Arjuna menyukainya jadi senyam-senyum juga pada akhirnya.

"Kenapa sama si Rezqi memangnya?" tanya Bang Tohap lagi.

"Bang Rezqi habis tabrakan, Om."

"Heee?!" Bang Tohap mendelik lagi. "Yang benarlah kau itu, jangan sembarangan kalau ngomong, aah."

"Bener, Om," balas Arjuna semakin lantang. "Sumpah deh. Udah gawat!"

"Hoi-hoi-hoi, baah," Bang Tohap menutup kupingnya. "Yang pelan-pelanlah sedikit. Belum toreknya telingaku ini." (Torek, sama dengan; tuli, budek, pekak.)

"Tangannya patah, Om," sahut Arjuna lagi. "Gak bisa bangun. Dah, gitu aja."

Dan seterusnya, Arjuna menyelonong pergi begitu saja sebelum wajahnya hangus kepanasan, memerah memandang Fraya.

"Hoi…!" teriak Bang Tohap memanggil anak tersebut. "Nantik dulu! Omongan kau itu belum jelas, Juna. Jangan pergi dulu kau itu, aahh!"

"Pokoknya gitu, Om," balas Arjuna di ujung sana.

Arjuna terus berlari meninggalkan Bang Tohap dalam kebingungan, dan meninggalkan Fraya yang masih tersenyum-senyum memandang punggung si bocah laki-laki yang semakin menjauh dari pandangan.

"Bahh…" dengus Bang Tohap setengah kesal, ia merasa mendapat informasi serbatanggung.

*

Dalam perjalanan pulang itu, Arjuna berpapasan dengan banyak orang. Dan setiap orang-orang yang bertanya pada bocah tersebut, lebih-lebih mereka yang akrab dan menyadari ada raut berbeda di wajah sang bocah, maka Arjuna pun akan menjawab apa adanya—ralat, bukan apa adanya, tapi dilebih-lebihkan.

Walaupun, sesungguhnya wajah Arjuna berubah sedikit berlainan tersebut gara-gara kepanasan kelamaan bertatap muka dengan Fraya, anak perempuannya Bang Tohap, meski yang satu di luar pagar, yang satu lagi di ambang pintu rumah. Tapi, yaa itu tadi, orang-orang tersebut tidak mengetahuinya. Yang mereka tahu, wajah Arjuna berlainan, itu saja.

Seperti saat sekarang itu contohnya, Arjuna berpapasan dengan Pak Saman. Laki-laki menjelang setengah baya itu pun menanyainya bocah tersebut. Arjuna pun memberi tahu jika Rezqi baru saja mengalami kecelakan. Tabrakan, dengan sedikit bumbu yang didramatisir, sehingga, Pak Saman pun menjadi kaget mendengar hal tersebut.

"Apa? Yang benar kamu, Juna?" ulang Pak Saman yang merasa salah mendengar berita dari mulut bocah tersebut. "Sampai gak bisa jalan? Beneran kamu?"

"Iya, Om. Udah gawat."

Dan seperti halnya perlakuan Arjuna pada Bang Tohap tadi, begitu pulalah yang terjadi dengan Pak Saman. Arjuna langsung meninggalkan laki-laki tersebut dengan segala kebingungannya.

"Oii-oii-oii, jangan pergi dulu!"

Tapi percuma, Arjuna sudah jauh membawa diri, tidak memperdulikan raut kebingungan sekaligus kecemasan di wajah Pak Saman.

"Aah," dengus Pak Saman kesal sembari memukul angin, serba menggantung informasi yang didapat. "Bocah somplak!"

Arjuna teruskan langkah kakinya. Dan berpapasan lagi dengan lain orang. Kali ini, Arjuna berpapasan dengan Haji Rahman – usia lima puluh delapan tahun, Betawi asli.