Chereads / Tirai Penghalang / Chapter 8 - Ampun Mak

Chapter 8 - Ampun Mak

Si wanita muda menyandang tas ke bahunya, dan dengan tangan yang sama, ia mengibaskan rambut hitamnya ke belakang. Melangkah menuju salah satu kafe di sebelah kiri. Saat melangkah, salah satu hak sepatunya melesak di antara celah susunan batako segi delapan yang melapisi trotoar.

Ia menjerit kecil, tubuhnya oleng. Refleks, ia berpegangan pada tiang penyangga kabel telepon, nyaris saja ia tersungkur. Sejumlah map dalam dekapannya berserakan di atas trotoar.

Sepasang alis Rezqi terangkat dengan mata sedikit melotot melihat kejadian itu. Tidak sedikit dari mereka yang berdiri di dekat pemuda tersebut sama mendengus, menyembunyikan tawa yang bisa saja terdengar oleh wanita itu.

Tidak tega melihat wanita tersebut memunguti lembaran-lembaran kertas dan map yang berserakan sendirian, Rezqi bangkit dari duduknya. Satu per satu map dan lembaran kertas dikumpulkan.

"Ini, Mbak," Rezqi menyerahkan map dan lembaran kertas.

Ouh shit… cakepnya, teriak Rezqi dalam hati saat ia bertatapan langsung dengan wanita muda tersebut, dengan jarak yang cukup berdekatan pula.

"Terima kasih," senyum si wanita mendapat bantuan.

Dan senyum itu, kian menambah kecantikan di wajahnya yang sudah cantik. Benar-benar gak adil nih, gumam Rezqi lagi di dalam hati. Udahlah kaya, cantik pulak. Arrg…

"Aah, gak apa-apa," hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut pemuda tersebut.

Samar, Rezqi bisa melihat ada lesung pipit di kedua pipi wanita tersebut. Sesaat ia terperangah, menatap sesuatu di leher gadis tersebut. Hanya sesaat, berikutnya kembali mengumpulkan map dan lembaran kertas yang masih tersisa di lantai trotoar. Saat pemuda itu coba menjangkau lembaran-lembaran di sebelah kiri dengan tangan kirinya, ia meringis. Bengkak di bagian siku tangannya itu membuat ia tidak bisa merentangkan tangan lebih jauh.

"Mas," gadis itu bisa melihat tangan kiri Rezqi seperti kaku, "Tangannya baik-baik saja?"

Rezqi berhasil meraih lembaran terakhir, meski menahan perih luar biasa. Dan menyerahkannya. Ia melirik, dan mengangguk.

"Yahh, gak apa-apa, kok."

Gadis itu mengernyitkan dahi, ia bisa melihat jika pemuda tersebut menahan sakit, hingga wajahnya memerah. Dan lagi, dengan berhadapan, ia bisa lebih leluasa melihat keseluruhan tangan kiri Rezqi. Memar, bengkak.

"Yakin?" selidik sang gadis, dan kembali berdiri sambil merapikan map dan lembaran-lembaran yang berantakan.

Ada sesuatu di diri pemuda tersebut yang sedikit menarik perhatian sang gadis. Hanya saja, beberapa saat mencoba menganalisa di dalam kepala, bagian mana yang menarik itu, sang gadis seolah tidak bisa menemukan bagian tersebut.

Aneh, guman sang gadis dalam hati. Di mana ya?

"Beneran, tangannya gak apa-apa?"

Kembali Rezqi mengangguk dengan sedikit senyum yang dipaksakan. Ia ikut berdiri. Dan berusaha untuk menyembunyikan tangan kirinya dari pandangan si gadis.

"Udah semua?" tanya Rezqi mengalihkan perhatian gadis tersebut, dan berpura-pura mencari sisa lembaran di lantai trotoar.

"Yup!" sahut si gadis. Plus, satu senyum manis, dan kembali lesung pipit itu memperindahnya. "Terima kasih, ya."

"Sama-sama, Mbak," jawab Rezqi.

Gadis itu terlihat sepantaran dengan pemuda itu sendiri. Yaa, mungkin saja memang sama. Kecuali, nasib keduanya yang bak Bumi dan langit.

"Mari," pamit si gadis sambil melangkah menuju kafe.

"Mari," sahut Rezqi, dan ia kembali melangkah ke tempat tadi ia duduk.

Belum sempat Rezqi mendudukkan diri ke reling besi itu, sebuah bus berhenti. Segera saja Rezqi menghampiri, bersama sejumlah orang lainnya.

Begitu akan menaiki bus, Rezqi menoleh ke kiri, mencoba untuk memandang wanita muda tadi.

Oops!

Gadis tersebut ternyata melakukan hal serupa. Memandang pada Rezqi. Sambil melangkah ia menoleh ke belakang. Tersenyum sangat manis, mengedipkan sebelah matanya.

Rezqi tertawa halus, mengangguk. "Ya Allah," gumam Rezqi setengah tak terdengar. "Jodoh hambakah gadis itu?"

Dan kemudian menghilang di antara kerapatan tubuh para penumpang bus.

Sang gadis teruskan melangkah, menuju salah satu café. Seorang pelayan—laki-laki muda yang terlihat bersih dan rapi—menghampiri gadis tersebut. Mempersilakan gadis itu duduk di salah satu kursi yang tersedia di sisi luar café itu sendiri.

Setelah menanyakan apa-apa saja yang akan dipesan oleh gadis cantik tersebut, si pelayan café pun akhirnya kembali menghilang ke dalam café, guna mempersiapkan pesanan orang.

Gadis cantik merapikan map dan berkas-berkas di atas meja. Lalu, sebuah map jatuh ke lantai di dekat kakinya. Ia meraih map tersebut. Map itu dalam keadaan terbuka, sehingga sang gadis dapat dengan mudah melihat isi map tersebut.

Sepintas, sepasang mata indah dan bening di wajahnya itu membesar. Lalu, ada lengkung indah yang begitu manis menghiasi bibirnya menatap pada isi map. Pandangannya lalu beralih ke titik di mana tadi orang-orang berkumpul menunggu angkutan.

Lagi, senyuman teramat manis itu menghiasi bibir sang gadis. Ia geleng-gelengkan kepala. Menutup map di tangan, dan kembali menggabungkan map tersebut dengan berkas-berkas lainnya.

***

"Maafin Rezqi ya, Bi," ujar Rezqi dengan lemah, sekaligus menahan sakit saat sang paman mengoleskan minyak urut ke siku tangan kirinya. "Adu-duhh…"

"Gak usah cengeng!" timpal sang paman – Akhirali, usia empat puluh lima tahun.

Setelah mengoleskan minyak urut itu, dan kembali meletakkan botol minyak urut ke atas meja, sang paman mulai memberikan pijatan-pijatan di tangan kiri sang keponakan. Sesekali tubuh Rezqi melonjak-lonjak karena sakit yang luar biasa si bagian siku yang diurut sang paman itu. Wajah si pemuda memerah, mengernyit, keringat-keringat dingin memercik lebih banyak.

"Ndak apa-apa, Rez," sahut Bi Ayu, "Bisa dibeli lagi," ia tidak meneruskan ucapannya, mengembuskan napas begitu panjang, lirih. "Yang penting, kamu selamat. Syukur cuman siku doang yang kesenggol."

"Aaa…" kembali Rezqi menjerit. Bahkan, ia sampai mengertakkan rahangnya kuat-kuat agar suaranya tak keluar lebih keras lagi.

"Kinoi!" semprot sang paman. Lalu terkekeh, sementara kedua tangan tetap mengurut tangan sang keponakan.

Rezqi menawan tawa di antara rasa sakit mendengar sang paman mengatai dirinya sama seperti tokoh adik si Unyil dalam cerita serial anak zaman dulu. Kinoi, yang selalu diidentikkan dengan anak yang cengeng. Meskipun, sejatinya Rezqi sendiri tidak pernah menonton acara tersebut, sebab acara itu tayang jauh sebelum generasi dirinya lahir ke dunia ini.

Semua hal berkenaan si Kinoi itu, hanya diketahui Rezqi dari mulut sang paman sendiri, yang sedari Rezqi kecil saja—kala di kampungnya di Sumatra Barat sana—sudah sering dikata-katai seperti itu oleh sang paman. Khususnya, bila Rezqi kecil pulang dalam keadaan menangis, entah itu karena terjatuh sehabis berlari-larian, atau karena diisengin oleh teman-teman sepermainannya dulu.

Karena penasaran kala masa dahulu itu, Rezqi kecil akhirnya bertanya pada sang ibu—yang merupakan kakak kandung sang paman—apa arti kata 'Kinoi' tersebut. Dan yaa, tentu saja sang ibu tahu soal istilah tersebut. Dan semenjak itulah Rezqi tahu, sang paman meledeknya sebagai seorang yang cengeng.