Karena penasaran kala masa dahulu itu, Rezqi kecil akhirnya bertanya pada sang ibu—yang merupakan kakak kandung sang paman—apa arti kata 'Kinoi' tersebut. Dan yaa, tentu saja sang ibu tahu soal istilah tersebut. Dan semenjak itulah Rezqi tahu, sang paman meledeknya sebagai seorang yang cengeng.
Bi Ayu tertawa halus. Begitu juga dengan sang suami, ia terkekeh, dan menjitak pelan kepala Rezqi.
"Ampun, Mak…" Rezqi berteriak lagi, tersentak menahan sakit. Sang paman sengaja menekan sedikit lebih kuat sikunya yang bengkak.
Lagi, sang paman terbahak-bahak. Bi Ayu geleng-gelengkan kepala, dan berlalu dari ruang depan itu, menuju dapur.
"Bang Rezqi," tahu-tahu si kecil Shinta muncul – berusia delapan tahun – bertolak pinggang, menatap garang pada Rezqi. Tangan kiri memegang sebuah buku, tangan kanan memegang pensil. "Berisik, tauk!"
"Hee?" Rezqi memandang adik sepupunya itu dengan wajah mengernyit.
"Shinta jadi gak bisa bikin pe-er," protes si kecil itu lagi sambil memperlihatkan buku di tangan.
"Ups…" Rezqi menutup mulutnya dengan tangan kanan.
Si kecil Shinta mendengus dengan gaya centilnya dan berlalu dari sana, kembali ke kamar.
"Dah tuh," ujar sang paman, lantas bangkit dan akan melangkah menuju kamar mandi untuk mencuci tangannya. Tidak lupa ia kembali meraih botol minyak urut guna disimpan ke tempat semula.
"Makasih, Niang," ujar Rezqi.
Niang, adalah singkatan dari kata 'Mak Uniang', yang berarti; Paman Berkulit Kuning – Bahasa Minang – sebab Akhirali memang berkulit kuning langsat, sama halnya dengan kulit tubuh Rezqi sendiri.
"Hehh, Bim?" panggil Akhirali pada anak sulungnya yang tengah asyik bermain game konsol keluaran merek dagang ternama di ruangan yang sama. "Main game mulu kamu itu, kapan belajarnya, coba?"
"Bentar lagi, Yah. Ni dah mo tamat," sahut Bima – baru berusia lima belas tahun.
"Tamat-tamat-tamat," dengus sang ayah. "Tiap hari kamu mainin, tamatnya di mana?" protesnya sembari bertolak pinggang.
"Iya, bentaran, Yah."
Akhirali mendesah panjang, menyerah dengan sikap kepala batu sang anak, dan lantas meninggalkan sang anak begitu saja, meneruskan niatnya untuk mencuci tangan di kamar mandi.
Kembali Bima meneruskan mainnya, tidak menghiraukan Rezqi yang beberapa langkah di belakangnya yang masih saja meringis menahan sakit.
"Bim?" panggil Rezqi pada adik sepupunya tersebut. "Bima?"
"Hmm?" balas Bima dengan berdeham pelan saja. Acuh tak acuh.
"Bantuin Abang, Bim?" pinta Rezqi sambil mengubah posisi kepalanya.
"Apaan?" Bima menoleh, dan tersenyum geli melihat abang sepupunya itu menggerakkan tubuh layaknya gerakan seekor ulat bulu yang beringsut di satu dahan pohon.
"Ke rumah Om Tohap, gih," pinta Rezqi. "Bilangin, Abang gak bisa bantuin ngecat rumahnya Kang Dudung, ya?"
"Yaaah, Bima lagi serius ngelawan bosnya nih, Bang," elak Bima. "Suruh si Juna aja, deh."
"Hahh…" dengus Rezqi mengembuskan napas panjang. "Payah lu!"
Bima tertawa kecil mendengar itu. Tapi remaja tanggung itu tidak begitu peduli, ia tetap saja sibuk dengan joystcik hitam di tangannya. Sepasang mata tertuju pada layar datar berukuran tiga puluh dua inci, yang menempel di dinding di atas bufet rendah di hadapan bocah tersebut.
"Ayolah, Bima…" pinta Rezqi pula dengan suara dimanis-maniskan sedemikian rupa. "Tolongin Abang doong."
"Iih, ribet aah…" ujar Bima menggerutu. "Jun?" teriak Bima sedetik kemudian, memanggil sang adik, "Juna…!"
Sesaat berikutnya Arjuna – umur dua belas tahun – muncul di depan pintu masuk, di tangan kanannya tergenggam sebuah pisau cutter berwarna biru kusam.
"Apaan?"
Arjuna merungut memandang pada Bima. Bahkan, kakak laki-lakinya itu tidak memandang ke arah dirinya, padahal jelas-jelas Arjuna mendengar suara sang kakak memanggil dirinya tadi.
"Malah didiemin," gerutu Arjuna. "Songong!"
"Bukan gue," timpal Bima, lagi-lagi tanpa berpaling dari layar televisi. "Bang Rezqi noh!"
"Jun," panggil Rezqi dan sengaja membuat senyuman semanis mungkin. "Bantu Abang, ya?"
"Ngapain?" Arjuna mendekati Rezqi.
Rezqi tertawa di dalam hati, merasa senyuman mautnya mampu membuat Arjuna menjadi penurut jadi adik sepupu yang baik.
"Juna pergi ke rumahnya Om Tohap," ujar Rezqi kemudian. "Bilangin ama Om Tohap, Abang gak bisa bantu, lagi sakit, gitu. Ya?"
"Tapi Juna lagi bikin layangan, Bang," sahut Arjuna.
"Ntar aja bikinnya lagi, ya, Ganteng?" Rezqi terus berusaha membujuk sang adik sepupu yang satu itu. "Ganteng kan tahu, Abang tangannya bengkak gini habis ketabrak motor. Tolong ya, Juna ganteng?"
Bima yang tengah asyik dengan permainannya, jadi tertawa lebar mendengar bujukan Rezqi pada Arjuna. Gak akan berhasil, gumam remaja tersebut dalam hati.
Sang adik yang merasa ditertawai sang kakak, menatap sengit pada kakaknya itu. "Apaan lu?" dengus Arjuna tidak terima. Bima kembali tertawa menanggapi wajah masam sang adik. "Sendirinya mainin pe-es mulu, huu…!"
"Biarin!" kekeh Bima lagi.
"Mau ya, ya?" pinta Rezqi dengan muka semanis mungkin. "Juna ganteng, manis, adek Abang. Mau ya, ke rumah Om Tohap?"
Arjuna tampak memikirkan sesuatu. "Iya, deh," jawabnya, lalu tersenyum sangat manis.
"Nah…" sahut Rezqi senang. "Ni baru Adik gue!" dan ia sengaja mengucapkannya dengan lantang, agar Bima mendengar dengan lebih jelas lagi.
Tapi Rezqi jadi melotot detik selanjutnya kala melihat Arjuna langsung menadahkan telapak tangan kepadanya.
"Hee…!?"
"Goceng, dong?" senyum Arjuna, sepasang alis bergerak-gerak turun-naik.
Dan tanpa ampun lagi, seolah mendapat peluru pamungkas, Bima tertawa terbahak-bahak, bahkan lebih kencang.
"Makan tuh," ujar Bima di sela tawanya yang berderai. "Adek Abang yang ganteng…"
Rezqi manyun dengan sebelah alis terangkat memandang Bima. "Diem lu!" dengus Rezqi pada Bima. Lalu, kembali beralih kepada Arjuna. "Dah kek Pak Ogah, lu, minta bayaran mulu."
"Mau gak nih?" Arjuna menggertak, lalu bergerak seolah akan meninggalkan Rezqi. "Gak mau ya udah, Juna bikin layangan lagi aja."
"Eeh, buseet," timpal Rezqi dengan mata membelalak. "Ngancem segala. Iye…"
Lalu, bersusah payah Rezqi memutar tubuh, dan merogoh saku depan celana jeans-nya.
Sayang sekali, Rezqi tidak memiliki uang lembaran lima ribu rupiah, yang ada hanya selembar uang sepuluh ribu, dan dua lembar uang seribu.
"Dua ribu aja, ya, Ganteng?" rayu Rezqi lagi, plus, senyuman manis yang malah terlihat aneh di wajahnya yang sedang menahan sakit di tangan itu.
Arjuna menggeleng-gelengkan kepala, tangan kanan masih menadah. Dan Bima terbahak-bahak untuk ketiga kalinya.
"Huu…" Rezqi menjitak kening adik sepupunya itu, lantas menyerahkan uang lembaran sepuluh ribu. "Jangan lupa, kembaliannya?" Rezqi mendelik. "Awas lu!"
Arjuna tersenyum menerima uang tersebut, segera menyimpannya ke kantung celana.
"Ntar," sahut Arjuna sembari berlalu. "Kembaliannya ntar aja."
"Apess, gak bakal ada kembalian dah tuh duit gue," Rezqi menepuk jidat.
Dan kembali Bima terbahak-bahak menertawainya.
Dengar aja tuh anak satu, dengus Rezqi dalam hati. "Diem, lu!"
*