Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Die inside (Hopeless)

nia_rahmah
--
chs / week
--
NOT RATINGS
113.5k
Views
Synopsis
Nia Anggraini adalah anak yang lahir diluar pernikahan antara Adikara, pebisnis sukes dan Sekar, penyanyi ternama. Kedua orang tuanya sering bertengkar dan Nia mendapat perundungan di sekolah. Ia hidup bagaikan zombie. Hanya fisik yang hidup sementara jiwanya mati. Sampai suatu ketika suara Nia mempertemukan dirinya dengan Kevin, siswa baru di sekolahnya. Kevin yang terpesona mencoba mendekati Nia. Mampukah Kevin melelehkan hati Nia yang sebeku kutub? Ditambah intrik keluarga yang tak pernah usai membuat hatinya semakin dingin. "SEHARUSNYA KALIAN TAK MELAHIRKAN KU JIKA AKU HANYA MENJADI MOMOK UNTUK KALIAN !" "Jangan mencintaiku, aku tak pantas mendapatkan simpati dari orang lain apalagi darimu"
VIEW MORE

Chapter 1 - Kehidupan sekolah yang bak neraka

Terlahir di keluarga kaya, terpandang, orang tua harmonis, dicintai banyak orang, pintar dan punya banyak teman yang tulus adalah impian semua orang namun tak ada kehidupan sesempurna itu.

Ada yang terlahir di keluarga kaya tapi orang tua mereka tak mempedulikannya dan dimanfaatkan para penjilat.

Ada yang terlahir miskin tapi orang tua harmonis dan punya teman yang tulus.

Ada yang orang tuanya baik baik saja tapi dituntut memenuhi semua keinginan orang tua tanpa melihat apa yang disukai anaknya.

Memang benar, tak ada yang sempurna. Selalu ada cacat ditiap keluarga.

Orang lain akan melihat kehidupan kita bahagia dan berjalan mulus tanpa tahu luka dan rintangan yang telah dilalui.

"Knok knok. Nona Nia, sarapan sudah siap."

Aku mendengar suara pintu diketuk. Kepalaku menoleh, pasti Bi Inem. Aku menutup buku diariku dan menaruhnya di laci.

Ku tatap wajahku di cermin. Kulit pucat, mata sembab akibat menangis semalaman dan bibir yang lebam. Ku coba menyentuh sudut bibirku. "Awh masih perih."

Aku memasang dasi dan memoles lipgloss untuk menutupi lukaku lalu beranjak ke dapur. Sepi sudah menjadi temanku, hanya suara gesekan sendok dan piring yang menemaniku. Bahkan tak ada orang tua yang duduk disamping sambil bersenda gurau saat makan. Sebuah keajaiban jika kami sarapan bersama sambil bercanda.

Seusai makan aku berangkat ke sekolah bersama Pak Rama supirku. Mungkin bagi sebagian orang sekolah adalah tempat indah namun tidak bagiku. Sekolah bagai neraka kedua setelah rumah. Tak ada hal menyenangkan selain ekstrakulikuler paduan suara, tempatku menyalurkan hobi.

Saat turun dari mobil, semua pasang mata menatapku. Mereka menatap seolah ada gelandangan memasuki kawasan mereka. Tatapan remeh dan senyum mengejek mereka layangkan padaku. Ku dengar mereka berbisik hal buruk tentangku yang bahkan tak mereka ketahui kebenarannya.

Cepat cepat ku langkahkan kakiku menuju kelas dan duduk di pojok. Duduk sendirian tanpa teman sebangku. Kesepian? Tentu. Tapi itu lebih baik daripada diganggu. Terlebih, aku bisa menatap keluar dengan mudah.

"Selamat pagi anak-anak."

Bu Susi masuk ke kelas dengan nada cerianya. Guru sejarah sekaligus Bahasa Indonesia itu menerangkan materi hari ini mengenai bab sejarah dunia. Membahas rumor yang beredar mengenai sejarah, kebohongan sejarah dan hal menarik lainnya.

Menarik, setidaknya untukku sebab anak-anak lain tak ada yang memperhatikannya. Padahal pembawaannya tidak semembosankan itu tapi kenapa mereka tidak acuh?

"Bu Susi, saya mau tanya." Seorang siswi berambut sedada mengacungkan tangannya.

"Ya ada apa Mela?" Bu Susi berhenti menjelaskan dan menatap Mela.

"Ini tak ada hubungannya dengan pelajaran tapi bagaimana keseruan kemah minggu kemarin? Apa menyenangkan?" tanya Mela seolah penasaran.

"Tentu saja. Kami mandi di air terjun, menikmati hutan rindang dan segarnya alam. Ini berkat sponsor orang tuamu."

Bu Susi mulai menceritakan kejadian saat kemah bersama guru-guru di SMA 1 Jakarta dengan semangat. Ku edarkan pandanganku ke seisi kelas. Ada yang makan, ada yang memainkan ponselnya, mengobrol, bahkan tidur. Mela memang sengaja memancing Bu Susi agar tidak mengajar.

"Dasar pemalas! Jika aku seperti mereka sudah pasti Ayah membunuhku," kataku pelan agar tak ada yang mendengarnya seraya mengangkat sedikit rok untuk melihat pahaku yang lebam. Perih masih terasa saat ku pegang pahaku. Dadaku sesak seperti diikat saat mengingat bagaimana tangan besar ayah memukulku saat nilaiku turun.

"Mela, kali ini tak kan ku biarkan kau mengangguku!" gumamku. Di tengah cerita aku mengacungkan tangan.

"Bu tahu tidak cerita tentang Daendles yang katanya sudah memberi upah untuk pekerja paksa melalui Gubernur tapi Gubernur malah tidak memberikan upahnya?"

Seisi kelas menatapku sinis saat pertanyaan itu terlontar dari bibirku. Aku dapat merasakan aura mencekam yang siap melahapku. Aku meremat tanganku yang keringat dingin. Rasa penasaranku lebih kuat dari rasa takut. Lagipula bukan pertama kali Mela dan temannya mengalihkan pembicaraan guru yang sedang mengajar.

Aku sudah muak tidak mendapat ilmu dari Bu Susi karena perbuatan mereka. Seperti mereka akan bertanggung jawab saja saat nilaiku jelek.

"Ternyata ada yang tertarik pada pelajaran hari ini. Begini Nia hal ini masih diperdebatkan. Ada bukti mengenai Daendles yang memberikan uang kepada pekerja paksa yang membangun jalanan melalui Gubernur. Namun tidak ada bukti bahwa Gubernur memberikan upahnya. Hal ini membuat beberapa orang menyimpulkan bahwa Gubernur pada masa itu korupsi. Sangat disayangkan bukan?"

Aku menganggukan kepalaku tanda paham akan penjelasannya. Tidak habis pikir jika benar uang itu dikorupsi. Sebab selama ini di buku sejarah tertulis bahwa rakyat pribumi dipaksa bekerja tanpa upah hingga banyak yang meninggal. Bagaimana bisa mereka setega itu? Padahal mereka berasal dari bangsa yang sama.

#

.

.

Bel istirahat berbunyi tanda pelajaran telah usai. Semua orang berhambur ke kantin termasuk diriku. Aku duduk sendirian di kursi belakang sambil makan ayam geprek dengan lahap. Tak peduli pada perutku yang mulai panas.

"Byur!"

Aku tersentak saat sesuatu yang panas mengguyur kepalaku.

"Panas! Sia-, Mela! Apa apaan kau menumpahkan bakso ke kepalaku?!" teriakku dengan mata melotot.

"Maaf yah gak sengaja," ujar Mela. Aku tau dia sengaja. Lihat senyum mengejek di wajah rubahnya!

"Duh kasihan sekali. Panas yah? Kamu sih sok jadi murid teladan. Menurut rumor kamu anak haram kan? Harusnya kamu tahu diri! " cemooh Mela sambil tertawa terbahak bahak. Wajahku mengeras menahan amarah. Mela yang melihatku kesal justru semakin senang.

"Yaudah, ku bantu deh," ucap Mela sambil mengelap rambutku dengan serbet bekas sambal. Ia mengedipkan mata ke Sarah lalu Sarah menumpahkan air dingin ke rambutku.

"Biar bersih. Yaudah yuk kita tinggalin aja anak haram satu ini," ajak Mela pada teman-temannya dan pergi meninggalkanku yang basah kuyup. Mataku agak perih karena kuah bakso mengenai mataku.

Bibirku bergetar menahan isak yang mau keluar. Ku gigit kuat bibirku hingga berdarah. Aku tak mau menangis di depan banyak orang. Awas saja akan ku balas kamu saat di kelas. Aku memang tidak bisa balik menyirammu tapi aku bisa mempermalukanmu.

#

.

.

Saat ini pelajaran Fisika, salah satu mata pelajaran yang tidak disukai Mela. Bu Rani menjelaskan rumus lalu bertanya apa ada yang bisa mengerjakannya. Mela yang ingin pelajaran cepat usai kembali beraksi. Ia menanyakan kemping tapi aku dengan cepat mengacungkan tangan.

"Bu katanya Mela mau jawab."

"Benarkah? Mela, maju ke depan," perintah bu Rani. Aku menyeringai saat Mela menatapku tajam. Ia nampak kebingungan dan hanya berdiam diri di depan.

"Bu, ini bagaimana caranya?"

"Pasti kamu tidak memperhatikan penjelasan Ibu. Nia, coba jawab."

Aku tertawa dalam hati saat wajah Mela memerah, puas sekali rasanya.

"Nia kamu memang pintar. Mela, contoh Nia ya," puji Bu Rani.

##

.

.

BRAK!

"Awh sakit. Apa apaan sih Mela?" ringisku saat punggungku menabrak tembok.

Mela menjambak rambutku sambil berkata, "Siapa kau berani denganku? Kau hanya anak haram. Bahkan ibumu yang artis itu tidak mengakuimu."

Kesal saat dia menyinggung ibuku, ku tarik rambutnya hingga rontok.

"Sialan. Hey Sani, Sarah, pegang tangannya," perintah Mela pada dua teman gengnya.

Kedua tanganku dipegang erat bahkan kakiku dipegang oleh mereka. Mela menjambak kencang rambutku. Dapat ku lihat helaian rambutku rontok. Tak puas hanya menjambak, ia menampar pipi putihku hingga warnanya berubah merah. Tangannya tak henti menampar pipiku hingga terasa panas.

Air mata mengalir deras membasahi pipi. Dapat ku lihat seringai di bibirnya. Ia lalu duduk di kursi dan menyuruh Sani memukul perutku.

"Ohok. B-berhenti," ucapku lirih dengan napas terengah.

"Apa? Aku gak dengar," tanya Mela. Ia menarik rambutku hingga kepalaku mendongak.

"Ku mohon, berhenti." Suaraku parau. Perutku seperti dikocok, mual juga perih. Jika Sani tak berhenti memukulku, aku bisa muntah. Mungkin muntah darah.

Mela memberi isyarat agar Sani berhenti memukulku. Senyum jahat nampak di wajahnya. Tangannya mengelus lembut pipiku lalu mencengkramnya.

"Lain kali jaga sikapmu atau kau akan mendapat ganjarannya," ancam Mela penuh penekanan.

Tubuhku merosot kebawah saat Mela dan teman-temanya pergi. Aku memeluk tubuhku sendiri sambil terisak. Tubuhku bergetar menahan tangis. Apa salahku sampai harus mendapat nasib seperti ini? Tak bisakah aku bahagia? Meski hanya sebentar?

##

.

.

"Non, Anda tidak apa apa?" tanya Pak Rama saat melihatku yang masuk ke mobil dengan rambut acak acakan.

Aku hanya diam dan membuka ponselku untuk menghindari pembicaraan. Tersirat kehawatiran di raut Pak Rama namun ia tak berani bertanya lebih lanjut dan memutuskan mengantarku pulang.

#

.

.

Aku menatap pantulan wajahku di cermin. Pandanganku menerawang pada kondisi wajahku. Rambut berantakan, pipi bengkak dan perut biru menjadi penampilan yang sudah biasa untukku. Buliran air jatuh dari manik coklatku membasahi pipi.

Aku dan Mela memang sudah bermusuhan sejak lama. Ia adalah sepupu dari pihak ayah. Mungkin Mela membenciku karena aku anak haram. Mela dan keluarganya menyebutku aib untuk keluarga Adikara, ayahku.

Ditambah ibuku, Sekar, seorang penyanyi kondang tak mengakuiku sebagai anak dan ayah sebagai suaminya. Ia mengaku sebagai saudara jauh ayah dan aku anak yatim piatu yang diurusnya.

Aku benci fakta kehadiranku tak dianggap di keluarga ini. Andai bisa memilih, lebih baik aku mati saat bayi atau malah tak usah jadi janin. Biarlah roh lain yang jadi anak ayah dan ibu. Ah bolehkah aku memanggil mereka ayah dan ibu?

Ku genggam erat cutter di tanganku. Napasku memburu menahan amarah. Aku meringis saat benda tajam ini menggores kulitku. Cairan merah mengalir dari lenganku. Cukup deras hingga spreiku basah.

Netraku menatap kosong darah itu. Anehnya aku suka melihat cairan merah kental ini. Aku menggores lenganku hingga tubuhku lemas. Ku harap malaikat maut mencabut nyawaku sekarang juga.