Chereads / Die inside (Hopeless) / Chapter 7 - Hukuman berbuah manis

Chapter 7 - Hukuman berbuah manis

Pernahkah kalian mempunyai guru yang galak? Guru yang tidak menerima alasan apapun ketika muridnya membuat kesalahan? Guru yang terlalu otoriter. Apa pendapat kalian? Baguskah guru yang seperti itu? Sebenarnya guru seperti apa yang benar? Guru galak atau guru lemah lembut?

"Tuk tuk tuk"

Suara sepatu menggema di kelas XII-IPS A saat wanita berusia diatas tiga puluh tahun itu memasuki ruangan segi empat bercat hijau muda. Kelas yang tadinya berisik hening seketika saat Bu Septi memasuki ruangan. Tak ada yang berani bicara atau menyenderkan bahunya. Semua duduk tegap dengan mulut terkunci.

Mata elangnya memicing saat melihat siswi yang masih menggunakan seragam olahraga. Ia membetulkan kacamata tebalnya, lalu melangkah mendekati siswi itu.

"Nia Anggraini murid terpintar yang tidak mematuhi aturan sekolah. Itukah julukan barumu?" ujar bu Septi sinis. Wajahnya yang mirip hilter versi perempuan tampak menakutkan dimata Nia. Oh Tuhan ia rasa bu Septi akan memenggalnya.

"Berdiri kamu!"

Nia ragu-ragu berdiri dan menatap Bu Septi yang lebih pendek 10 centi darinya. Sekilas paras Bu Septi terlihat lucu apalagi potongan rambut bob yang mirip Dora, hidung pesek yang membuatnya harus membetulkan kacamata berkali kali ditambah wajahnya yang suram.

Namun tak ada yang berani mengejek atau melawan Bu Septi. Salah ucap satu kata saja, aku yakin lidahmu akan putus.

"PLAK"

Seketika pipi Nia terasa panas saat tangan bu Septi menampar gadis jangkung itu. Tanda cap lima jari membekas di pipi seputih salju Nia. Perlahan buliran air mengalir dari pelupuk matanya.

"Jangan nangis! Ini hukuman karena kau melanggar aturan. Kau tau kan sekarang mata pelajaran akuntansi bukan olahraga?" ujar Bu Septi dengan nada tinggi. Urat kecil muncul di pipi guru yang kata orang galak itu.

"B-baju saya hilang bu. Ada yang mencuri baju saya." Nia menjelaskan sambil sesenggukan. Bahunya bergetar disela isakan.

Murid lain menonton Nia dan Bu Septi seolah sedang menonton drama. Bahkan Mela -pelaku pencurian- tertawa dalam hati. Wajahnya tersenyum bahagia persis orang yang mendapat give away.

"Halah alasan. Sekarang, keluar dari kelas saya!" kata wanita dengan rambut bob itu sambil memukul meja kencang menggunakan penggaris di tangannya.

"B-bu saya berkata jujur. Saya mohon biarkan saya mengikuti kelas ibu." Nia mengatupkan tangannya membentuk tanda permohonan.

Tapi Bu Septi tak mengindahkannya, dengan kasar, ia menarik lengan Nia keluar sampai menimbulkan ngilu di lengannya.

"Berdiri disini sampai pulang sekolah!" tegas Bu Septi yang dibalas dengan anggukan Nia.

"Ku rasa hari ini adalah hari sialku," tutur gadis manik kecoklatan itu sambil menendang udara. Wajahnya menatap lantai dan otaknya berpikir siapa gerangan yang mencuri seragamnya.

Tanpa Nia sadari, pemuda jangkung bermata sipit mengendap ngendap ke arah Nia. Saat sudah di dekatnya, tangannya menutup mata gadis berambut sepinggang itu.

"Siapa kamu? Hey!" tanya Nia panik.

Pemuda itu melepas tangannya dan mengaduh kesakitan saat kaki Nia menendang tulang keringnya. Kakinya melompat lompat kecil sambil meringis. Rasanya ia menyesal sudah mengagetkan Nia.

"Sialan. Apa maumu?" seru Nia. Tatapan Nia setajam silet saat mengetahui pemuda yang mengagetkannya adalah Kevin.

"Aku mau mengajakmu ke kantin," jawab pemuda yang mempunyai bibir tebal itu.

Alis Nia naik sebelah mendapat ajakan Kevin. "Dia taukan sekarang bukan jam istirahat?" ucap Nia dalam hati. Matanya menatap Kevin dari bawah sampai atas. Yang ditatap hanya memberikan cengiran bodoh.

"Tidak mau. Dan lagi sekarang masih jam pelajaran," tolaknya. Sang pemuda tak menyerah. Ia membentuk wajah memelas yang tak mempan pada Nia.

"Keras kepala. Ngomong-ngomong kau tidak penasaran kenapa aku ada disini?" ujar pemuda itu sambil menyunggingkan seringainya.

"Tidak sama sekali"

"Mau dengar ceritaku?" gadis didepannya membuang muka tanda menolak. Tapi sepertinya Kevin tak peka dan ia menceritakan kronologi yang terjadi hingga ia ada diluar padahal jam pelajaran masih berlangsung.

#

.

.

(Sudut pandang Kevin)

Aku berkali kali menghela napas mengingat Nia yang seragamnya dibuang Mela. Gadis itu! Andai saja keluarga kami tak dekat, sudah pasti aku akan memarahinya habis habisan. Kakiku tak bisa berhenti mengetuk ngetuk lantai. Tanganku pun sama, mengetuk meja untuk melampiaskan resahku.

Guru cantik di depan sana menjelaskan sejarah penjajahan Jepang di Indonesia. Suaranya lembut bagaikan seruling dan senyumnya semanis madu.

Banyak murid laki-laki yang terpesona dan memperhatikan wajahnya. Iya wajahnya bukan materi yang beliau ajarkan. Tapi aku tidak seperti mereka, yang ada dipikiranku hanya gadis seputih salju yang rambutnya sering terurai.

Aku takut dia dimarahi gurunya atau mendapatkan hukuman. Aku harus cari cara untuk menemuinya. Aha aku tau! Aku mendapatkan cara agar bisa keluar dari kelas. Kalo kalian lihat di kartun sekarang di atas kepalaku ada bola lampu yang menyala saat tokoh mendapatkan ide.

Aku menendang kursi di depanku berkali kali. Awalnya pemuda di depanku diam tapi saat aku menjambak rambutnya, ia berteriak dan memukul wajahku.

Seisi kelas panik melihat kami saling pukul. Beberapa murid laki-laki mulai memegangiku, beberapa menjauhkan lelaki yang ku pukul dariku. Bu Susi yang melihat pertengkaran kami mendekatiku. Wajah lembutnya berubah keras dan itu mulai membuatku takut.

"Kevin, keluar sekarang!" teriak Bu Susi yang langsung ku turuti. Dalam hati aku meminta maaf pada teman sekelasku itu. Besok aku akan mentraktirnya sebagai permintaan maaf.

#

.

.

"Begitulah kejadiannya. Aku melakukan ini semua agar bisa menemuimu," tutur Kevin berapi api sambil melebarkan senyumnya.

Nia menautkan kedua alisnya dengan mulut membuka. "Pemuda yang sangat aneh," pikir Nia.

"Ternyata kamu lelaki sinting! Kau sengaja membuat keributan demi menemuiku? Buat apa?"

"Adalah alasanku. Pokoknya aku ingin menemuimu. Yaudah ayo ke kantin."

"Tak mau."

"Ck memang kau ingin berdiri disini sampai bel pulang? Masih sejam setengah lagi loh." Kevin menaik turunkan alisnya sementara Nia menggigit bibirnya dan menggerakkan bola matanya ke kanan dan kiri untuk berpikir.

"Baiklah," kata gadis yang mempunyai bibir semerah darah itu lalu mendahului Kevin ke kantin. Mulut Kevin melengkung membentuk senyuman dan menyusul Nia.

Suasana kantin lenggang karena hanya ada beberapa siswa dan siswi yang membolos dan para penjual makanan. Nia dan Kevin duduk di salah satu kursi lalu Kevin memesan makanan untuk mereka berdua. Nia menatap punggung tegap Kevin dan berpikir bahwa Kevin pemuda teraneh.

"Ini bakso untukmu," ucap Kevin.

"Ya," ucap Nia singkat membuat Kevin meringis.

Nia menuangkan banyak saos dan sambel ke baksonya hingga warnanya kemerahan. Pemuda di depannya menatap baksonya yang bening. Ia merasa terhina lalu menuangkan sambel ke baksonya dan memakannya lahap.

"Sial! P-pedas! Air.... air," Kevin berujar heboh sambil minum airnya yang segelas besar habis bahkan ia meminum es teh milik Nia.

Nia tersenyum sinis sambil berkata, "oh kau tak kuat pedas."

Ia lalu membeli susu hangat yang dapat meredakan pedas dan langsung diteguk oleh Kevin.

"Tak usah pura-pura kuat pedas kalo aslinya tidak bisa makan makanan pedas," cerca Nia.

Pipi kevin sudah semerah udang saking pedas dan malunya. Netranya menatap Nia yang senyum mengejek. Kemudian ia melotot saat melihat bekas tamparan di pipi Nia.

"Siapa yang menamparmu?!"

"Eh ini... bukan urusanmu," jawab Nia sambil menutup pipinya.

Kevin tau ada yang disembunyikan gadis cantik ini tapi tak ada yang bisa dilakukan jika ia menolak untuk cerita. Ia mengelus sebentar pipi Nia lalu menghabiskan makanannya.

"Yak jangan sentuh aku!" sergah Nia.

Nia dan Kevin terlalu asik hingga tak sadar ada seorang gadis yang sedari tadi memperhatikan mereka dengan tangan terkepal. Gadis itu mengambil ponselnya lalu memotret mereka.

"Lihat saja Nia. Besok akan ada kehebohan," gumam sang gadis lalu pergi meninggalkan dua sejoli itu.