Chereads / Die inside (Hopeless) / Chapter 9 - Menunggu cahaya bintang

Chapter 9 - Menunggu cahaya bintang

Malam terlihat cerah dengan menampilkan bintang yang menari di cakrawala. Lampu jalan benderang menyinari jalan. Hari sudah larut tapi kota sibuk tak kenal sepi. Masih ada beberapa orang berlalu larang di jalan. Kuda besi yang mondar mandir, dan kereta yang masih memiliki penumpang.

Kehidupan malam berbeda untuk setiap orang. Ada yang menghabiskannya di kelab malam, ada yang sekedar jalan jalan, dan ada yang harus banting tulang hingga pagi. Salah satu anak adam yang menghabiskan waktu di kelab malam adalah pria jangkung bermata sipit dan bibir tebal.

Kevin hendak bertemu teman temannya di salah satu kelab malam. Setelan kaos putih polos yang dibalut kemeja dan celana jin memberi kesan kasual. Pemuda itu memang sering ke kelab.

Tapi tenang saja haram baginya menyentuh narkoba dan main wanita. Ia hanya menari dan minum sedikit alkohol.

Netranya menatap lurus jalanan, ia harus fokus agar tidak terjadi tragedi mengerikan. Namun fokusnya teralihkan saat manik hitamnya menangkap sosok yang dikenalnya.

Ia menghentikan kuda besinya dan mengamati gadis berambut sepinggang yang tengah berdiri di jembatan penyembrangan. Sosok itu terlihat familiar.

Perlahan ia mendekati sosok itu. Sebenarnya ia tak yakin, apalagi gadis itu hanya mengenakan piyama dan sepatu sandal. Rambutnyapun acak acakan, tapi hatinya menuntutnya tuk mendekat.

Ia terbelalak saat gadis itu menaikkan kakinya ke atas pembatas jembatan. Kakinya melangkah cepat dan tangannya menarik pinggang gadis itu hingga jatuh diatasnya.

Ia menilik wajah di atasnya dan terkejut karena gadis yang ia tolong memang gadis yang ia kenal. Apa gerangan yang membuatnya memutuskan hal gila tadi? Punggungnya ngilu saat ia bergerak. Ah ternyata kulitnya tergores dan lagi tubuh gadis ini berat!

"Awh Kau berat juga Nia"

"K-Kevin?!"

"Yah ini aku"

#

.

.

"Kamu membuat kesalahan besar," gadis itu mendengus, matanya mendelik tajam ke arah Kevin.

"Maksudmu? Aku tak paham," tanya pemuda itu. Apa yang salah dari menolong orang? Apalagi orang yang ia kenal. Sedari kecil ia diajarkan untuk saling menolong sesama manusia.

"Seharusnya kau membiarkanku melompat ke bawah sana," sahutnya lirih. Sorot matanya meredup seakan tak ada kehidupan di dalam sana. Hatinya beku bagaikan kutub. Baru saja ia ingin melarikan diri, tapi Tuhan telah menggagalkan rencananya. Ia mengirim Kevin untuk mencegahnya.

Alisnya bertaut mendengar jawaban yang dilontarkan Nia. "Hanya orang tak punya empati yang akan melakukannya. Kau harusnya berterimakasih padaku," kata pemuda yang memakai kaos polos itu tegas.

Dalam hati gadis itu tertawa mengejek. Untuk apa berterimakasih pada orang yang membuatnya gagal bunuh diri? Ia ingin tenang tapi tak bisa. Bibirnya tersenyum miring. Matanya menatap tajam pemuda di depannya lalu ia berdecih, "Cih tak akan".

Ia memicingkan matanya. "Jangan membuatku menyesal sudah menolongmu!" decak pemuda itu kesal.

Nia memang gadis unik, tidak, bukan unik, tapi aneh. Gadis lain akan bahagia saat ada pemuda tampan yang menolongnya bahkan banyak dari mereka pura pura membutuhkan pertolongan demi mendapat perhatian dari Kevin. Tapi Nia? Sungguh gadis yang tak bersyukur.

"Lagian siapa juga yang minta pertolonganmu?" ketus Nia. Ia menengadah ke langit malam yang dipenuhi bintang. Cahayanya menerangi langit yang gelap. Akankah suatu saat akan datang cahaya yang menerangi hidupnya yang kelam? Seperti bintang yang menerangi malam.

"Haish sabar Kevin. Anak sabar pantatnya lebar eh rejekinya luas," ujar Kevin seraya mengelus dada bidangnya. Tanpa sadar ucapan Kevin menimbulkan senyum tipis di bibir Nia.

"Nia, kau tak kedinginan? Ini, pakailah kemejaku," ujar Kevin sambil menutupi tubuh Nia dengan kemejanya. Bulu kuduknya seketika berdiri saat kemejanya terlepas. Ia saja kedinginan, bagaimana dengan Nia?

"Tak usak. Kemejamu bau," cibiran keluar dari bibir manis Nia. Sang empunya kemeja hanya menghela napas panjang. Kesabarannya diuji saat berhadapan dengan gadis berbibir tipis pink itu.

"Dan lagi aku tidak kedingi-."

"Sudahlah pakai saja. Aku tau kau kedinginan," tukas Kevin. Ia menahan tangan Nia yang ingin melepas kemejanya lalu menggandeng lembut ke tempat motornya terparkir.

"Dimana rumahmu? Biar ku antar,"

"Aku bisa sendiri," ketus Nia. Ia lalu jalan ke arah lain dan dengan cepat Kevin mengejarnya

.

"Hey jangan keras kepala. Ayo ku antar," pinta Kevin.

#

.

.

Semilir angin menerbangkan surai halus gadis jangkung yang sedang dibonceng pemuda bermata tajam. Nia menurut setelah Kevin mengancam akan menyebarkan gosip Nia yang ingin terjun dari jembatan.

Tangannya berpegangan pada ujung kaos Kevin. Sesekali bola mata Kevin melirik paras Nia yang terpantul di kaca. Jantungnya berdegup kencang. Saking kencangnya, gadis di belakangnya bisa mendengar suara dari dada Kevin

.

"Bisakah kau bersikap biasa saja? Aku risih dengan suara jantungmu,"

"O-oh maaf. Um Nia... kamu lapar tidak? Tak apa kan kita mampir bentar?"

"Terserah"

Dan sampailah mereka di salah satu caffe. Banyak mata memperhatikan mereka saat masuk ke dalam caffe. Beberapa bisik bisik bahkan ada yang diam diam memotret mereka.

"Aku tau kau suka pedas. Caffe ini terkenal dengan makanan pedasnya,"

"Oh gitu," ucap Nia singkat. Kevin meringis dengan sikap dingin Nia. Baru kali ini ia bertemu gadis secuek Nia.

Pelayan wanita menghampiri dan berkata, "Ada yang bisa dibantu?"

"Oh iya. Aku pesan ayam geprek level paling pedas,"

"Aku... ayam geprek level sedang," ujarnya sambil meremat ujung kaos. Semoga lidahnya tidak terbakar.

#

.

.

Kevin tercengang saat pesanan datang terutama saat ia melihat pesanan milik Nia. Ia sudah kepedasan hanya dengan melihat makanan milik Nia.

Tangan pemuda tiang listrik itu bergetar saat menyentuh ayam geprek miliknya. Ia menghitung lima detik sebelum memasukkan ayam itu ke mulutnya.

"Wahh e-nak. Dan pedas, iyakan?" ucap Kevin terbata bata. Ia memaksakan senyumnya, lalu kembali makan ayam itu hingga habis. Padahal keringat sudah bercucuran dari dahinya dan wajahnya merah bak api yang membara.

"Pedas? Ini mah kurang. Boleh nambah sambal tidak ya?" jawab Nia santai. Memang lidah Nia sudah mati rasa. Makanan sepedas itu dianggap biasa saja oleh Nia. Sudut bibir Kevin berkedut mendengar jawaban Nia. "Haha aku selemah ini dihadapan Nia," ucapnya dalam hati.

Kevin terduduk lemas di depan minimarket. Hampir saja terjadi tragedi karena ia yang tak fokus menyetir. Kepalanya terlalu pusing efek terlalu banyak makan sambal.

"Perutku meledak!" keluh Kevin. Saat ini perutnya seperti terbakar. Mungkin perutnya sudah dipenuhi api saking panasnya. Berbanding terbalik dengan Nia yang santai.

"Berhenti bersikap jagoan! Nih susu untukmu." Nia memberikan susu ke tangan Kevin dan langsung ditenggak hingga habis. Tangannya terulur mengelap keringat di kening Kevin.

Jantung Kevin terlalu lemah. Ia berdebar saat kulit sehalus sutra menyentuh keningnya. Samar semburat muncul di pipi. Senyumnya merekah saat maniknya bertabrakan dengan caramel Nia.

Seperti terhipnotis, wajahnya mendekat pada paras secantik putri salju itu. Bibir tebalnya semakin mendekat pada bibir tipis Nia. Caramel gadis yang memakai piyama itu terbuka lebar saat menyadari jarak mereka hanya beberapa centi. Ia bisa merasakan deru napas pemuda itu. Satu gerakan saja, aku yakin bibir mereka akan saling menempel.