"Hah rambutku," keluh Kevin meratapi rambutnya yang rontok dan acak acakan. Gadis di depannya hanya memutar bola matanya.
"Itu hanya rambut."
"Tidak. Rambut sudah seperti jiwaku. Ketampananku berasal dari rambut berkilauku," kata pemuda berambut hitam berkilau bak iklan sampo. Ia menggunakan layar ponsel sebagai cermin dan menata rambutnya.
Gadis di depannya mengerutkan kening. Ia menatap jijik pemuda di depannya. Bagaimana bisa ada pemuda seaneh Kevin? Ia yang gadis saja tidak sepeduli itu pada rambutnya.
Selanjutnya hanya keheningan yang menemani mereka. Bibir mereka sama sama terkunci. Tubuh gadis manis itu berbaring di lantai dingin atap dengan bertumpu pada lengannya. Maniknya menatap lurus awan.
Kevin yang kini duduk disampingnya menatap paras Nia. Ia tidak berkedip saat angin menerbangkan poninya. Mulutnya membuka takjub akan kecantikan yang dimilikinya. Untung saja tak ada liur yang menetes.
Tangannya terlulur menyelipkan poni Nia ke telinga. Sontak gadis itu terkesiap akan perlakuan Kevin. Caramelnya bertemu dengan manik kelam Kevin. Kevin mengulas senyum.
"Kenapa senyum senyum? Kau gila yah?" tanyanya sambil menangkis tangan Kevin.
Seketika pemuda jangkung itu gelagapan. Ia menggaruk tengkuknya sambil berkata, "a-ada nyamuk. Iya nyamuk".
Nia menaikkan sebelah alisnya. Nyamuk? Itu alasan terbodoh yang pernah Nia dengar. Nia semakin merasa Kevin orang aneh. Dia tidak boleh terlalu dekat dengan Kevin.
Ia lalu berdiri dan menepuk nepuk bajunya. "Sebentar lagi bel masuk. Aku turun duluan. Kau, turun saat aku sudah jauh!" perintah Nia yang membut Kevin mengerjapkan mata bingung.
"Kenapa? Kita bisa turun bersama."
Nia memutar bola matanya jengah dengan Kevin yang selalu bertanya. "Turuti saja kataku. Aku pergi," kata Nia yang berlalu meninggalkan Kevin sendiri diatap. Kevin hanya menatap punggung Nia yang kian menjauh. Ia mengulas senyum tipis dan turun setelah tak ada suara langkah kaki.
Di kelas, Nia memperhatikan guru yang sedang mengajar. Mulutnya melengkung membentuk senyuman saat melirik seragam di kolong meja. Ia tak tahu niat terselubung apa yang dimiliki Kevin. Tapi sikap Kevin membuat hatinya menghangat.
Namun senyumnya memudar ketika kenangan saat SMP terputar diotaknya. Rasa takut menghantui dirinya. Ia meremas kuat sisi roknya dan berusaha menetralkan napasnya yang berat. Ia berharap ada cahaya yang menerangi hidupnya. Tapi di sisi lain ia takut akan kehilangan.
#
.
.
"Nia, kau teman terbaikku," ungkap seorang gadis disamping Nia. Senyumnya merekah dan matanya berbinar. Ia memeluk Nia erat. Nia senang bisa membantu temannya. Apapun akan dilakukan demi kebahagiaan temannya.
"Tolong kasih surat ini ke Bagas. Jangan sampai diambil temannya yah," ucap gadis berdimple di sampingnya. Nia mengangguk. "Tenang saja."
Nia berdiri di depan kelas Bagas. Untung kelas sepi karena tak ada pelajaran sampai satu jam mendatang. Nia melambaikan tangannya ke Bagas, teman satu organisasinya. Yang dipanggil menunjuk dirinya sendiri.
Nia menepuk dahinya. "Tentu saja. Cepat kesini," perintah Nia setengah berbisik. Bagas menurut dan mendekat. Ia berdiri di depan pintu. Tanpa aba aba, tangannya ditarik Nia ke taman belakang. Nia melihat ke kanan dan kiri memastikan tak ada orang yang lewat. Lalu ia mengambil surat di saku dan meletakkannya ke tangan Bagas.
"Ini surat dari Ina"
Surat dengan amplop warna pink itu membuat Bagas heran. Ia membolak balik surat itu sebelum membukanya. Matanya melebar saat membaca isi surat itu. Ia tersenyum dan memeluk Nia erat. Wajahnya berseri seri menandakan betapa bahagianya Bagas.
"Kau menyukaiku Nia? Aku juga memiliki perasaan yang sama untukmu."
"Hah? Bukan aku. Ina yang menyukaimu," sela Nia sambil melepas pelukan Bagas. Sudah Nia duga, menyatakan perasaan lewat surat adalah ide buruk.
Bagas menggelengkan kepalanya dan menggengam erat kedua tangan Nia. Ia memberi senyum simpul dan menatap dalam manik coklatnya. "Aku tau kamu hanya berkilah dengan membuat alasan ini surat dari Ina padahal darimu. Sekarang kita resmi pacaran."
"Apa? Tidak. Aku-"
"Nia! Kau Penghianat!" murka Ina saat melihat pujaan hatinya pelukan dengan temannya. Ia menatap nyalang Nia dan menampar keras pipinya.
"Aku kecewa. Sekarang, kau bukan temanku!"
Oh tidak. Kesalahpahaman macam apa ini? Semuanya berantakan. Ia tak bermaksud menghianati Ina, bahkan ia tak punya perasaan pada Bagas. Pertemanannya hancur karena cinta.
"Nia."
"Nia Anggraini."
Lamunannya terhenti saat namanya dipanggil berkali kali oleh bu Rani. Wajah kebingungan nampak di paras Nia. Bu Rani hanya menggelengkan kepalanya.
"Lain kali jangan melamun di kelas saya."
"Baik bu. Maaf," cicit Nia yang malu ketahuan melamun.
#
.
.
Tepat saat bel pulang berbunyi, semua siswa berhambur keluar kelas. Mereka bergerombol dengan teman-temannya sembari membicarakan hal apa yang akan dilakukan sepulang sekolah. Nia menatap iri mereka. Ia ingin jalan-jalan sepulang sekolah dengan teman-temannya, tapi... ia tak punya teman di sekolah ini.
Gadis itu menggendong ranselnya keluar kelas. Suasana sekolah ramai seperti semut yang berebut keluar sarang. Keramaian ini berbanding terbalik dengan hatinya. Ia merasa sepi, seolah ada di pulau terpencil sendirian.
Ia muak dengan kesepian yang melanda dirinya. Ia tak mau seperti ini terus. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Tak ada. Ini membuatnya harus mandiri dan serba bisa. Karena tak ada teman yang akan menolongnya atau menghibur saat ia sedih.
Nia jalan di lorong penghubung kelasnya dan tempat parkir. Matanya berkeliling ke penjuru lorong. Ia merasa ada sesuatu yang aneh. Matanya menyipit saat sadar sekelilingnya menatap sinis. Ia sudah biasa namun kali ini terasa berbeda. Aura intimidasi ini lebih kuat dari biasanya dan mereka terlihat marah. Orang orang di sekeliling Nia berbisik sambil menatap sinis gadis kulit pucat itu.
Nia melangkahkan kakinya dengan cepat. Ia mau cepat sampai di parkiran. Namun langkahnya terhenti saat ia melihat sekumpulan orang berdiri di depan mading.
Dahinya mengernyit. Apa yang mereka lihat? Apakah ada pengumuman yang penting? Atau suatu hal lain? Kenapa setelah mereka melihat mading, mereka menatap sinis Nia? Apakah sesuatu di mading itu berhubungan dengan Nia? Pikiran Nia berkecamuk dengan segala kebingungan dan curiga. Ia takut dirinya difitnah atau suatu hal lain yang buruk tentang dirinya.
"Mereka lihat apa sih? Mencurigakan," gumam Nia. Ia menimbang nimbang harus kesana atau segera ke parkiran. Ia yakin pak Rama sudah menunggunya tapi ia penasaran apa yang tertulis di mading.
Kakinya melangkah berat ke mading. Ia mendorong orang yang menghalangi jalannya. Seketika matanya membelalak saat melihat foto yang terpampang di mading.
Ada foto dirinya dan Kevin sedang makan di kantin. Dan yang membuatnya tercengang adalah tulisan "Seorang siswi XII-IPS A memalak siswa baru."
Apa apaan ini? Siapa yang memotretnya? Dan lagi Nia tidak memalak Kevin. Kevin yang menawarkan diri membayar makanan gadis caramel itu. Bahkan ia membayar minumannya sendiri.
"Oh jadi dia gadis di foto."
"Sok jagoan yah."
"Sok cantik."
"Mukanya emang cantik. Kalo aku gak keberatan dipalak perempuan cantik."
"Cantik cantik kelakuan minus."
Umpatan keluar dari bibir seluruh murid SMA 1 Jakarta yang ada di dekat Nia. Gadis kuncir kuda itu melangkah mundur. Kepalanya seperti berputar saat suara mereka berdenging di telinganya. Ia dengan cepat menerobos kerumunan dan pergi ke tempat parkir. Ia harus segera pergi dari sini.