Chereads / Die inside (Hopeless) / Chapter 13 - Takdir

Chapter 13 - Takdir

Matahari mulai menyebarkan hangatnya beriringan dengan sinarnya yang menelusup ke dalam ruangan luas bercat pink. Gadis yang sedang tertidur pulas menyipitkan matanya merasakan sinar yang menyinari wajahnya.

Ia melenguh dan menutupi matanya dengan selimut. Indra pendengarannya mendengar suara pintu terbuka. Tak lama seorang wanita menggoyangkan tubuh gadis itu -berusaha membangunkan-. Tahu usahanya sia-sia, ia menarik selimut gadis itu dan mencipratkan beberapa tetes air ke wajahnya.

"Ck! Siapa kau berani mengganggu tid-"

"I-ibu." Gadis itu sontak bangun bersiap memaki siapapun yang membangunkannya. Namun, ucapannya tercekat saat tahu orang yang membangunkannya adalah ibunya. Dengan kikuk ia duduk bersandar dan menyapa ibunya.

"S-selamat pagi ibu."

"Selamat pagi sayang. Ayo mandi setelah itu ke ruang makan. Ibu sudah menyiapkan makanan untukmu." Sekar menyapa anaknya dengan lembut. Bibir merahnya mengulas senyum. Lalu ia beranjak menyiapkan sarapan.

"Padahal aku mau bangun siang." Nia menggerutu pelan karena rencana bangun siangnya gagal. Di sisi lain ia senang dibangunkan ibunya. Dengan begitu ia merasa diperlakukan seperti anak pada umumnya.

Tidak seperti biasanya, pagi ini terdapat senyuman di wajah Nia. Ia melangkah dengan semangat ke ruang makan setelah mandi. Ia duduk bersampingan dengan ibunya di meja makan. Nasi goreng di meja terasa lebih enak dari nasi goreng manapun. Karena ini buatan ibunya. Jarang sekali ibunya memasakkan makanan untuknya, mengingat ibunya wanita tersibuk.

Sekar hanya menggelengkan kepala diselingi senyuman melihat anaknya yang makan dengan lahap. Hatinya menghangat saat senyum menghiasi paras Nia. Ia sadar sering menyakiti hati anaknya. Dan membuatnya senyum di wajah anaknya menghilang.

"Bagaimana kegiatanmu di sekolah? Menyenangkan?" Sekar membuka suara pertama kali. Sang anak terdiam beberapa saat, bola matanya berkeliling seperti memikirkan sesuatu.

Hampir saja Nia melompat saat mendapat pertanyaan itu. Jantungnya berdebar kencang seolah ada orang di dalam jantung yang sedang main drum. "Baik. Semua teman-temanku baik, guru-guru memujiku, aku juga punya penggemar," jawab Nia yang tentu saja itu semua bohong. Jangankan penggemar, temanpun tak punya. Tangan Nia terasa basah saat membohongi ibunya. Ia hanya tidak mau ibunya khawatir.

"Sungguh? Kamu tidak mendapat perundungan kan?"

"Tidak kok. Oh ya apa hari ini ibu libur?" Dengan cepat ia mengganti topik agar ibunya tidak menanyai kehidupan sekolahnya. Selain itu ia ingin tahu apakah bisa jalan-jalan dengan ibunya atau tidak.

"Tidak nak. Ibu ada acara Meet&Great untuk film yang dibintangi ibu."

Nia mendesah pelan. Seketika senyum diwajahnya luntur. Nasi goreng yang tadi terasa enak mendadak hambar, sesuai suasana hatinya yang merosot turun. Sekar menyadari perubahan sikap anaknya. Ia menggenggam tangan anaknya lembut dan mengucapkan maaf.

"Tak perlu minta maaf," sahut Nia. Ia diam lima detik kemudian menatap ibunya. "Aku boleh ikut?"

"Maaf sayang. Tidak bisa. Disana banyak wartawan dan penggemar ibu." Matanya terkulai saat ia sadar ucapannya menyakiti anaknya. Tapi Sekar memang tidak bisa membawa Nia. Ia harus menyembunyikan keberadaan anak semata wayangnya.

"Ku mohon. Aku ingin melihat ibu." Tangannya terkatup memohon ijin ibunya. Manik coklatnya menatap penuh harap. Tak peduli jika ia harus sembunyi seperti bayangan. Ia hanya ingin menghadiri acara ibunya.

"Baiklah. Tapi kau jadi penonton. Ibu juga tidak akan berinteraksi banyak denganmu saat disana. Ini, uang untuk beli tiket."

"Tak apa. Yang penting aku datang ke acara Meet&Great ibu." Terpampang senyum diwajah gadis berusia 17 tahun itu saat ibunya mengatakan iya. Rasanya ia ingin terbang sampai langit ke-tujuh saking bahaginya. Sementara si ibu hanya tersenyum simpul dengan perubahan drastis anaknya.

#

.

.

"Ibu antar sampai sini saja ya. Kamu tinggal naik transjakarta dan turun dua halte setelahnya." Sekar menurunkan Nia di transjakarta dekat mall yang akan dikunjunginya. Ia memberikan kartu transjakarta lalu melaju setelah memastikan anaknya masuk ke halte.

Nia menatap nanar mobil ibunya yang kian menjauh. Rasanya ia ingin melempar orang yang menulis takdirnya tapi tentu saja itu mustahil. Kakinya melangkah gontai masuk ke dalam bus transjakarta.

Netranya berkeliling ke seisi bus. Nampak bus dipadati penumpang bahkan ada yang harus berdiri. Manik coklatnya menangkap keluarga kecil yang duduk di depannya. Ayah, ibu, dan tiga orang anak yang masih kecil. Ia tertawa pelan saat anak seusia SD berkelahi dengan adiknya yang seusia TK. Sedangkan anak yang paling kecil sedang tidur pulas di pangkuan ibunya. Balita yang menggemaskan. Pipi gembulnya mengundang siapapun ingin mencubitnya. Semoga mereka selalu harmonis, tidak seperti keluarganya.

Ia turun saat sudah sampai di dekat Mall. Kaki jenjangnya melangkah masuk ke mall yang sangat besar dan ramai. Butuh waktu cukup lama baginya menemukan tempat Meet&Great ibunya. Ia hampir tersesat karena mall dipadati lautan manusia. Untung saja acara baru mulai dan masih ada kursi kosong.

Ia menengok ke kanan dan kiri mencari ibunya. Sudah 15 menit ibunya belum muncul. Ia mulai bosan sekaligus malu karena beberapa orang memperhatikannya yang duduk sendirian.

"Sendiri saja nona?" tanya seseorang dibelakangnya.

Nia terlonjak saat telinganya mendengar suara laki laki. Refleks jari lentiknya menampar sosok di belakangnya.

"Awh! Ini aku, Kevin. Sshh sakit," keluh Kevin kesakitan. Nia membalikkan badannya dan menyengir malu atas reaksi berlebihannya.

"Siapa suruh mengagetkanku," ujar Nia datar. Meski suaranya dingin, ada rasa bersalah saat melihat bekas tamparan di pipi Kevin. Ia menempelkan botol dingin yang dibelinya ke pipi pemuda oriental itu.

"Terimakasih. Oh ya kau sendirian kan? Gabung sama aku dan adikku yuk," ajak Kevin yang tak tega melihat Nia sendirian. Lagipula bisa saja ini menjadi kesempatan untuk mendekati Nia.

"Tidak. Aku sendiri saja."

"Ayolah. Daripada sendirian. Adikku juga sepertinya menyukaimu. Dia melihatmu terus."

Nia menaikkan sebelah alisnya dan melihat anak kecil laki-laki yang ditunjuk Kevin. Anak kecil yang mempunyai rambut mangkok dan memakai baju kodok terlihat menggemaskan saat menutup wajahnya ketika Nia menatapnya.

"Baiklah aku ikut. Hey siapa namamu?" tanya Nia yang langsung duduk di sampingnya. Pipi anak laki-laki itu merona.

Bibir mungilnya berkata pelan, "A-aku Rendi." Bibir kecilnya dan pipi gembulnya membuat Nia gemas. Apalagi saat anak mangkok itu menggenggam ujung baju Nia. Hati Nia seperti meleleh. Ia mendekatkan telinganya ke bibir Rendi, tahu Rendi ingin mengatakan sesuatu.

"Kakak sangat cantik. Rendi suka." Seketika tawanya menggelegar mendengar pujian anak kecil itu.

#

.

.

Nia, Kevin, dan rendi duduk bersebelahan menunggu Sekar dan aktor lain datang. Mata penonton langsung tertuju pada Sekar, wanita 30-an yang terlihat seperti 25 tahun. Kevin tak berkedip melihat Sekar yang menyapa penonton.

"Aku baru tahu tipemu tante tante," ledek Nia saat melihat Kevin yang terpana pada Sekar.

"Enak saja. Aku hanya mengaguminya. Dan lagi wajahnya awet muda."

"Tetap saja dia lebih tua darimu."

"Biar saja," ucapnya ketus. Sedetik kemudian ia melanjutkan kalimatnya. "Ah Sayang sekali ya diumur 30 tahun dia belum menikah. Padahal banyak aktor dan penyanyi yang menyukainya."

Nia terdiam sesaat. "Haha iya sayang sekali." Ia berucap sinis sambil menyunggirkan seringainya. Dia menatap ibunya yang tersenyum ramah pada penonton. Dalam hati ia berandai jika semua orang mengetahui rahasia keluarganya. Pasti menyenangkan melihat kekacauan yang terjadi.

"Semua yang sudah memiliki tiket, masuk ke teater 2. Film segera di mulai." Mc memberi instruksi dan semua penonton juga aktor berhamburan masuk ke teater. Di dalam sangat gelap. Lampu hanya menyala di area kursi penonton. Mereka langsung mencari kursi yang mereka pesan.

Seperti takdir, kursi Nia bersebelahan dengan Kevin. Gadis itu ingin memaki takdir yang membuatnya terus bertemu pemuda sipit itu. Kebalikan dengan Kevin yang merasa Dewi keberuntungan berpihak padanya.

"Rendi, kamu mau tukar tempat duduk dengan kakakmu? Nanti kakak berikan yang Rendi mau."

"Rendi, kalo kamu tetap disitu nanti kakak kasih uang."

Rendi melirik gantian Nia dan Kevin. Ia mau duduk disamping Nia tapi kakaknya berjanji memberi uang untuknya. "Maaf kak Nia, Rendi tetap disini."

Nia mendengus sebal gagal membujuk Rendi. Tak lama kemudian film dimulai. Film ini menceritakan dua oranng yang saling jatuh cinta di jaman penjajahan. Laki-laki rakyat pribumi sementara si wanita dari keluarga Belanda.

Teater hening, tak ada yang bicara sampai ada adegan tokoh utama menghajar penjahat. Nia berdecak kagum. Bibirnya berkali kali mengatakan "wow hebat."

Berbeda dengan penonton lain, Kevin sibuk menonton wajah Nia. Matanya melebar mengagumi paras cantiknya. Bibirnya tersenyum simpul. Ia menumpu dagu dengan tangannya. Bagi Kevin, wajah Nia lebih menarik dari film yang ia tonton. Telinganya serasa tuli dan waktu seolah berhenti. Fokusnya hanya tertuju pada manik cerah dan bibir mungil Nia.

Sementara wanita di depan mereka memperhatikan interaksi Nia dan Kevin. Netranya mengatakan tak suka dengan kedekatan mereka. Tersirat kebencian dari maniknya saat melihat pemuda berkulit putih itu memperhatikan wajah Nia. Entah apa yang membuat ia membenci Kevin. Yang pasti ia tak suka Kevin mendekati Nia.