Chereads / Die inside (Hopeless) / Chapter 18 - Setitik kebahagiaan

Chapter 18 - Setitik kebahagiaan

Hujan turun dengan derasnya membasahi bumi. Membasahi jalanan beraspal. Membasahi gedung gedung dan pepohonan. Hujan memiliki aroma khas yang menenangkan jiwa, suara gemeiricik air yang menjadi melodi indah bagi beberapa orang.

Biasanya orang yang sedang diluar melindungi tubuh mereka dari awan yang menumpahkan airnya, entah dengan payung atau lainnya. Namun tidak dengan dua manusia yang justru saling lempar alat pelindung mereka.

Gadis berwajah manis dan pemuda berwajah maskulin justru saling melempar payung. Tak ada yang mengalah, mereka sama sama tidak mau memakai payung padahal mereka membutuhkannya.

"Apa susahnya sih menerima payungku, Nia?" Kevin berdecak sebal dengan Nia yang menolak bantuannya. Ia masih melempar payung ke Nia sedangkan si gadis bersikukuh menolak. Tiap kali Kevin melempar payung padanya, dengan sigap Nia melempar balik payung itu. Alhasil tubuh mereka basah kuyup seperti habis tercebur di kolam.

Tak terasa mereka sudah sampai di tempat parkir. Nia menunggu Pak Rama di dekat gerbang. Setelah menunggu 10 menit, Pak Rama datang dan langsung memayungi Nia

.

"Maaf non, saya terlambat," sesal Pak Rama. Ia membungkukkan tubuhnya meminta maaf pada Nia. Gadis itu menggigil kedinginan, bibirnya membiru. Dengan bibir bergetar, Nia berkata, "T-Tak apa. Nanti bapak ngebut yah. Saya mau cepat sampai."

Nia menatap Kevin angkuh. "Sana minggir, tubuh raksaksamu menghalangi jalan," usir Nia yang membuat Kevin menggeser tubuhnya. Lalu Nia masuk ke dalam mobil. Seketika tubuh Nia menghangat saat Pak Rama menyalakan penghangat meski dingin masih sedikit terasa.

"Non, laki laki tadi pacar non?" tanya Pak Rama tanpa menoleh. Ia melirik wajah majikannya dari cermin. Nia terbatuk mendengar pertanyaan Pak Rama. Ia mengorek kupingnya barangkali ada yang menyumbat pendengarannya. Ia salah dengar kan? Masa Pak Rama mengira Nia pacaran dengan Kevin?

"Bapak ngaco! Saya gak ada hubungan apa apa sama dia. Malah saya risih. Kalo bisa pindah planet aja biar gak ketemu dia," jelas Nia panjang lebar yang diangguki pria berkumis itu. "Saya lihat dia perhatian sekali sama non, jadi saya kira pacar non."

"Hih amit amit jadi pacarnya. Saya pernah terkesan dengannya tapi makin hari dia semakin mengesalkan." Nia berkata sambil begidik geli seolah melihat hal menjijikan. Bulu kuduknya meremang membayangkan mereka pacaran. Ia mengetuk kepalanya tiga kali lalu mengetuk jok tiga kali sambil berkata, "Amit amit jabang bayi." Kebiasaan orang Indonesia memang.

Pak Rama betul betul mengikuti perintah Nia untuk ngebut. Hanya 15 menit mereka sudah sampai di kediaman Nia. Bi Inem segera membuka pintu dan membawa handuk untuk Nia. Setelah itu membuatkan teh hangat agar majikannya tidak kedinginan.

Wanita paruh baya itu mengetuk pintu kamar Nia. "Non, ini tehnya." Bi Inem memberikan segelas teh hangat. "Oh makasih Bi Inem. Saya aja yang bawa, bibi lanjut kerja aja," ujar Nia lalu menutup pintu kamarnya.

Setelah mandi, Nia duduk di kasurnya. Jari lentiknya menggengam cangkir. Bibir kecilnya menyeruput teh yang memberi efek hangat pada tubuhnya. Matanya terasa berat sementara perutnya keroncongan. Ia bimbang memilih tidur atau makan.

"Tidur ajadeh baru makan. Tumben aku sengantuk ini," gumamnya lalu membaringkan tubuh semampainya ke ranjang empuk. Kelopak matanya menutup hingga terlelap ke alam mimpi.

#

.

.

Matahari sudah lama terlelap dan kini waktunya bulan bekerja. Bersama bintang, sinarnya menerangi malam yang gelap. Jam menunjuk pukul 00.30, cukup larut untuk seseorang terjaga. Gadis yang rambutnya sepinggang itu terbangun ketika cacing di perutnya berdemo.

Ia melirik jam dan sadar belum makan sejak pulang sekolah. Tubuhnya terasa dingin seperti mayat. Bisa gawat jika ia menahan lapar lebih lama dari ini. Dengan tertatih ia bangkit dari ranjangnya ke dapur. Sesekali tangannya mengucek kelopak matanya juga menguap. Kantuk masih menguasai namun apa daya, perutnya harus segera di isi.

Manik coklat itu melebar dengan tubuh terlonjak tatkala penglihatannya melihat seorang pria duduk di meja makan sambil minum sesuatu yang menyengat. Indra penciumannya terganggu dengan bau yang menguar dari botol. Ia dapat melihat pria di meja tengah meracau tak jelas. Netranya setengah tertutup dan pipinya merona seperti buah peach.

Gadis itu mendekat, bola matanya berputar mengetahui siapa yang sedang minum alkohol, ayahnya. Jemari lentiknya mengambil botol yang masih terisi alkohol. Pria yang disebut ayah sontak mencengkram tangan putrinya, menahan agar tak membuang botol itu.

"Ayah, lebih baik uang untuk beli alkohol kau gunakan untuk membantu orang susah."

Adikara memicingkan matanya tak suka dengan perkataan Nia meski ada benarnya. Toh alkohol hanya merusak tubuh. "Terserah aku. Aku tidak menggunakan uangmu untuk membelinya."

"Aku tau, tapi ayah sering seperti ini. Kalo tidak bertengkar dengan ibu, ya minum. Apa kau tak bosan?" tanya Nia jengah dengan sikap ayahnya. Ia menatap pria di depannya yang tengah menatap tajam dari meja makan.

"Tidak. Cepat kembalikan minumanku dan kembali tidur," perintah Adikara berusaha meraih botol dari genggaman Nia.

"Gak mau. Aku mau membuangnya. Lagipula apa ayah tak malu minum alkohol di depan anaknya?" cibir Nia yang risih dengan kebiasaan ayahnya. Seolah tuli, ia tak mengindahkan perkataan ayahnya dan berjalan ke tong sampah.

"Ku bilang kembalikan!" teriak Adikara. Nia terperanjat saat Adikara merebut botol itu dari tangan Nia. Tubuh gadis itu limbung karena Adikara mendorongnya. Punggungnya menabrak kulkas cukup keras.

"Ugh s-sakit," ringisnya menahan nyeri yang mendera punggungnya. Manik coklat Nia berair. Tangannya menghapus air yang sebentar lagi turun ke pipi lalu mengambil mie gelas di laci rak makan. Dengan tergesa gesa ia menuangkan air panas lalu kembali ke kamar sesegera mungkin.

#

.

.

Pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan menggujur dari kemarin sore hingga pagi menyebabkan suhu turun beberapa derajat celcius. Gadis bermanik coklat cerah itu menatap jalanan yang digenangi air.

Langit masih menurunkan sisa sia air semalam. Gerimis menyebabkan semua orang harus memakai payung atau topi. Disamping gadis itu ada wanita cantik yang duduk manis sambil mengecek jadwal di ponselnya.

Nia menatap ibunya yang nampak serius. Senyum mengukir paras cantiknya. Hatinya yang semalam mendung berubah cerah saat ibunya berangkat bersama. Katanya ia ada urusan di sekolah Nia. Gadis semanis madu itu tak peduli dengan alasan ibunya, yang penting adalah fakta ibunya mau berada di mobil yang sama tanpa ia harus merengek terlebih dahulu.

"Ibu turun disini ya sayang. Kamu belajar yang rajin. Jangan mengecewakan ibu," pamit Sekar saat mereka sudah sampai di wilayah sekolah. Sekar turun di tempat yang sepi sementara Nia turun di gerbang sekolah. Pagi ini Nia tak peduli pada tatapan orang orang yang tak menyukainya. Kakinya berjalan sambil melompat lompat kecil.

Saat sampai di kelas, ia langsung mendudukkan dirinya di bangku. Jemarinya mengambil tisu dan tiner, hendak menghapus coretan di meja. Namun matanya membulat ketika tulisan di meja menghilang. Siapa yang menghapusnya? Ia ingat kemarin ada tulisan berisi makian di mejanya. Apakah penjaga sekolah? Mungkin saja.