Chereads / Die inside (Hopeless) / Chapter 14 - Hubungan kakak beradik

Chapter 14 - Hubungan kakak beradik

Manik hitam pemuda pucat itu tak berkedip menatap gadis berambut sekelam malam. Netranya tertuju pada satu titik, wajah Nia. Jakunnya berkali kali naik turun, menelan ludah. Dadanya bergemuruh kencang, seperti ombak yang menabrak bebatuan. Ia terpesona pada kecantikan alami yang dimiliki gadis itu. Bahkan Dewi Aphrodite kalah cantik dari gadis yang mempunyai bibir tipis itu.

Sementara gadis yang ditatapnya mulai merasakan hal aneh, seperti ada yang memperhatikannya. Dan benar saja, pemuda itu sedang menatapnya dalam.

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya gadis itu risih. Ia menjauhkan wajah pemuda itu dengan telunjuknya.

"Karena kau cantik. Sangat cantik sampak aku tidak bisa berpaling," gombalnya. Nia menatap jijik Kevin. Lalu gadis caramel itu menutup wajah kirinya dengan lengannya.

"Hey jangan ditutup. Aku tidak bisa melihatmu."

"Itu tujuanku," ujar Nia tegas. Kevin tidak menyerah begitu saja. Ia mengenggam tangan Nia dan menaruhnya di pegangan kursi. Sekarang tangan besar Kevin dan tangan kecil Nia saling bertautan.

"Apa yang kau lakukan?"

"Menggandengmu," kata Kevin polos. Nia menggeram pelan. Dengan kasar ia menyentak tangan Kevin. Dan tanpa sengaja kukunya melukai telapak tangan Kevin.

"Awh." Kevin berdesis dan meniup telapaknya yang luka. Nia merasa bersalah tapi egonya lebih tinggi. Ia memilih tak peduli dan menonton film dengan fokus.

Air conditioner terasa dingin di dalam ruangan tak berventilasi itu. Dinginnya membuat gadis yang rambutnya digerai itu mengigil. Berkali kali ia meniup telapak tangannya yang beku. Lampu temaram menambah kesan dingin lebih kuat. Nia menyesal tidak membawa jaket. Ia hanya menggunakan baju crop top dan celana kulot.

Kevin menyadari Nia kedinginan. Untung saja ia memakai pakaian tebal dan jaket. Pemuda itu bersikap gentle dengan memakaikan jaketnya pada Nia. Sontak Nia kaget dan berusaha melepas.

Kevin menggelengkan kepalanya dan menahan tangan Nia. "Jangan dilepas. Pakai saja. Setidaknya selama di bioskop."

"Terserah lah," ketus Nia dan tetap memakai jaket Kevin, meski sebenarnya ia tak mau. Selain itu ia sebal dengan Kevin yang terus menatapnya dengan cengiran kuda.

#

.

.

"Akhirnya selesai juga. Aku hampir tidur disana." Nia memicingkan matanya mendengar ucapan Kevin apalagi saat dia merenggangkan tubuhnya. Nia menyikut pinggang Kevin saat orang sekitar menertawakan pemuda itu.

"Kau memalukan."

Dengan cepat Nia melangkah menjauh, kemana saja asal tidak bertemu pemuda yang sering menyengir itu. Kevin dengan sigap mengejar Nia dan menahan tangannya.

"Lepas." Aura hitam menguar dari punggung Nia. Matanya berkilat menatap tangan Kevin yang menggenggam tangannya. Kevin menciut mendapat sikap dingin dari Nia. Terpaksa ia melepas genggamannya.

"M-maaf. Aku hanya mau mengajakmu makan."

"Makan saja sendiri."

"Ayolah, setelah makan, aku akan mengantarmu pulang."

"Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Dan ini, ku balikin jaketmu."

Kevin hanya pasrah dan membiarkan Nia yang kian menjauh. Ia meremas jaket di lengannya dan berbalik arah. Tapi tak disangka Rendi lari mengejar Nia. Kevin membelalakkan matanya saat adiknya mengejar Nia.

"Rendi! Ck anak itu!" Kevin berteriak kesal dan berlari mengejar Kevin. Sayangnya mall terlalu penuh dan ia kehilangan jejak adiknya.

Rendi terus mengejar Nia. Ia menghindar dari tubuh besar pengunjung mall. Kaki kecilnya berlari sekuat tenaga meski tak bisa menyamai langkah Nia. Keringat mengalir deras dari dahinya mengotori wajahnya. Saat dirinya hampir sampai, tanpa sengaja ia tersandung kakinya sendiri.

"Ukh s-sakit." Air mata berlinang mengalir ke pipi putihnya. Bibir mungilnya bergetar menahan sakit. Ia terisak saat kakinya terasa seperti di injak gajah, sakit, bergerak pun susah.

Telinga Nia mendengar tangisan seseorang yang dikenalnya. Ia mencari sumber suara dan terperanjat kala melihat Rendi yang duduk di tengah jalan sambil menangis.

"Rendi, kamu kenapa?"

"R-Rendi jatuh kak. Sakit," cicit Rendi kesakitan. Air mata tak berhenti keluar dari mata bulatnya. Hati Nia mengiba, ia menggendong Rendi ke kursi terdekat, mengeluarkan ponsel dari sakunya lalu berkata, "Kamu tahu nomor kakakmu?"

Rendi menggangguk. "Tahu kak, nomornya 0852539292345."

Nia menelfon dan menunggu orang disebrang mengangkatnya. Tak lama Kevin mengangkat telfonnya dan terlonjak mengetahui Rendi terluka. Dengan sigap ia lari ke tempat yang Nia katakan.

"Kenapa kamu jatuh?" tanya Nia penasaran apalagi karena Rendi tidak bersama Kevin. Apakah Kevin meninggalkannya? Atau Rendi kabur?

"Um... Rendi tadi kejar kak Nia terus jatuh." Rendi menundukkan kepalanya, takut Nia marah dan tidak mau bertemu dengannya lagi. Ia terdiam beberapa saat lalu mendongakkan kepalanya.

"Rendi mau kak Nia makan bareng Rendi dan kak Kevin. Tapi kakak malah pergi. Yaudah Rendi kejar," terangnya polos. Mata bulatnya berkilat seperti cahaya saat menatap Nia.

Nia tertegun dengan ucapan Rendi. Segitu inginnya ia makan dengan Nia. Ia merasa bersalah, bagaimanapun Rendi jatuh karena mengejar Nia. Tanpa sadar matanya menggenang. Ia kaget ketika air mengalir ke pipinya. Hatinya tersentuh, ia tak pernah diperlakukan seperti ini.

"Kak kok nangis? Rendi salah yah? Maafin Rendi kak."

"Kakak kelilipan aja kok. Eh itu kak Kevin sudah sampai."

Rendi berbinar ketika melihat kakaknya datang. Ia melebarkan senyumnya dan lari kecil. Tangannya memeluk kakaknya yang jauh lebih tinggi dari Rendi. Kevin melotot dan memarahi Rendi yang lari meninggalkannya. Apalagi saat tahu Rendi tersandung. Namun dibalik marahnya, tersirat rasa khawatir dan sayang pada adiknya.

"Kakak dan adik memang seperti ini yah. Meski sering bertengkar, kalo ada yang terluka, akan khawatir juga. Sering bertengkar, tapi saling sayang," gumam Nia melihat kedekatan Kevin dan Rendi.

#

.

.

Suara gesekan sumpit dan kotak terdengar dari salah satu meja. Suara berisik pelayan dan pengunjung saling bersahutan. Di depan pintu, orang-orang mengantri dan menulis nama mereka di waiting list. Restoran terlalu penuh karena banyak pengunjung mall ingin makan.

Nia, Kevin dan Rendi makan bento di depannya. Rendi terlihat kesusahan memakai sumpit. Nia dengan inisiatif menyuapi Rendi. "Biar kakak suapin. Atau mau kakak bawain sendok dan garpu?"

"Rendi mau disuapin aja. Suapin Rendi, kak."

Bibir Nia tertarik ke atas membentuk senyuman, dengan telaten ia menyuapi Rendi. Kevin yang disamping Rendi cemberut. Ia membentuk puppy eyes. "Kevin juga mau disuapin kak Nia."

Nia merasa geli dengan nada manja Kevin. Tangannya menjitak kepala Kevin kencang dan memberi tatapan tajam. "Mau disuapin? Pakek sekop yah?!" teriak Nia kesal. Kevin yang diteriaki hanya cemberut dan makan dengan cepat.

"Drtt. Drrtt." Dering ponsel berbunyi. Nia menyipitkan matanya melihat nama yang tertera di layar.

"Iya bu? Pulang sekarang? Iya, tunggu sebentar." Nia mendesah pelan karena ibunya menyuruh Nia pulang. Nia menatap Kevin dan Rendi sedih.

"Mau ku antar?" ajak Kevin bersiap mengantar Nia.

Nia menggeleng. "Tak usah. Aku dijemput ibuku. Rendi, sampai ketemu lagi yah."

"Iya sampai ketemu lagi," kata Kevin.

"Ck! Aku bicara pada Rendi, bukan kamu."

"Ketus sekali. Nanti tambah tua loh. Tuh muncul keriput di dahimu," ledek Kevin yang memperparah emosi Nia. Gadis itu menarik hembuskan napasnya beraturan agar emosinya reda.

"Aku pergi! Dah rendi."

"Dah kak Nia. Nanti Rendi telfon kakak pakai ponsel kak Kevin yah," ujar Rendi menggemaskan dan dibalas anggukan oleh Nia.

#

.

.

Nia memakai topinya saat sudah sampai di tempat parkir. Ia mengendap ngendap dan masuk dengan cepat ke mobil ibunya. Bukannya mendapat senyuman, ia malah mendapat tatapan dingin dari ibunya. "Kemana saja kau?"

"Aku tadi makan dengan temanku," jelas Nia.

"Teman? Bukan pacar?" Manik hitamnya menyipit menelisik wajah Nia, mencari kebohongan di matanya.

"Bagus. Kalo kamu berani pacaran, ibu hukum! Kamu harus fokus pada pendidikanmu." Nia menundukkan kepalanya. Ia meremas ujung bajunya, tak berani menatap ibunya. "Iya, Nia akan mematuhi ibu," cicit Nia.

"Jalan pak," perintah Sekar pada supir. Netranya menerawang, dalam hati ia mengatakan, "Kau tak boleh pacaran dengan orang itu. Dia berasal dari keluarga jahat."