Chereads / Die inside (Hopeless) / Chapter 15 - Pembullyan

Chapter 15 - Pembullyan

Hening, itu yg terjadi di dalam mobil Porsche panarema itu. Tak ada seorangpun yang bersuara. Dingin dari Air Conditioner tak ada apa apanya dibandingkan dingin dari suasana di dalam mobil. Keheningan itu terus terasa sampai Sekar dan Nia sampai di rumah.

Tanpa mengucapkan apapun, Sekar masuk ke kamarnya. Nia heran dengan ibunya, apakah dia membuat kesalahan? Atau rekan kerjanya membuatnya marah? Nia menatap punggung ibunya dan masuk ke kamarnya sendiri.

Di dalam kamar dengan cat krem, seorang wanita duduk di meja rias. Tangannya memegang kotak kayu yang ditaruh di meja. Ia mengambil selembar foto. Disana ada foto Sekar dan tiga orang lainnya. Matanya berembun dikala kenangan buruk terlintas di pikirannya. "Aku membencimu," lirih Sekar.

Sementara di kamar lain, seorang gadis baru saja mandi. Ia membaringkan tubuhnya sesaat, merefresh otaknya yang lelah. Kamar itu terbilang luas. Di sisi kanan ada rak berisi buku-buku, mulai dari buku pelajaran, pengetahuan umum, seputar musik, hingga novel. Sisi kiri ada gitar dan meja belajar, lalu ada meja rias dekat ranjang berukuran queen size.

Setelah dirasa cukup istirahat, ia beranjak dari kasur ke meja belajarnya. Di depan meja belajar banyak stiker note berisi catatan penting pelajaran. Selain itu ada lampu belajar, dan laci dibawah untuk menaruh buku. Ia mengambil buku di laci dan mulai mengerjakan setiap soal yang ada, sesekali ia membaca ulang materi dan melirik stiker notenya.

Di atas meja ada kaleng berisi cemilan. Tangan kirinya memasukkan biskuit ke mulutnya dan tangan kanannya tetap menulis. Dahinya mengernyit kala tak paham soal yang dikerjakan. Ia mengambil buku di rak buku dan membaca dengan teliti sampai ia bisa mengerjakan soal itu.

Semua orang mengira ia beruntung karena pintar. Beruntung sering memenangkan lomba dan olimpiade. Mungkin iya dia beruntung, tapi tentu saja ada usaha yang dia lakukan. Seperti saat ini, baru saja pulang jalan-jalan, ia sudah belajar. Rak bukunya penuh, bahkan sampai beberapa buku ia taruh di meja belajar dan meja rias.

Ketika Nia asik dengan bukunya, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Sekali, tak Nia hiraukan, dua kali juga sama. Ketiga kali, darah mulai mengalir ke pipinya dan urat di dahi menonjol. Ke empat kali, Nia muak, ia mengambil ponselnya, siap memaki orang yang berani mengganggunya belajar.

"Berhenti mengangguku!" jerit Nia yang sudah tak bisa sabar lagi.

Orang di sebrang sana refleks menjauhkan ponsel dari telinganya. "Maaf. Ini aku, Kevin."

"Ck ada hal penting apa kau menelfonku?" gerutu Nia mengetahui pelaku yang mengganggunya. Untuk apa Kevin menelfonnya? Mereka tidak sedekat itu kok.

"Harus hal penting?" tanya Kevin bingung. Ia menekuk dahinya berpikir alasan apa yang harus digunakan agar bisa bicara dengan Nia.

"Tentu. Kalo tidak penting, tutup saja telfonnya," jawab Nia ketus. Ia memutar bola matanya jengah. Ingin rasanya melempar buku tebal ke wajah pemuda sipit itu untuk melampiaskan emosinya.

Dengan cepat pemuda itu menjawab sebelum Nia mematikan telfonnya. "Penting kok. Besok pakai seragam apa?"

Seketika Nia melongo dengan pertanyaan konyol Kevin. Ia memang murid baru, tapi tidak sebaru itu sampai tidak tahu seragam apa yang harus dipakai. Ia menggeram pelan lalu menjawab Kevin.

"Astaga! Putih abu abu dan rompi! Bodoh!" Setelah mengucapkan itu, ia mematikan telfon dan mengubahnya menjadi mode pesawat.

"Hhh orang aneh! Andaikan Rendi tidak tersesat, sudah pasti dia tak tahu nomorku." Nia menyesal sudah menelfon Kevin tadi sore, harusnya ia pinjam ponsel orang lain. Nasi sudah jadi bubur, semoga pemuda itu tidak mengganggunya lagi.

#

.

.

Matahari sudah naik ke atas langit menggantikan rembulan, menandakan waktunya para manusia beraktivitas. Gadis di kamar cat pink sudah menggunakan seragam sekolahnya. Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, ia turun untuk sarapan. Hanya makanan sederhana, roti dengan selai coklat dan susu. Setelah itu ia berangkat sekolah diantar Pak Rama.

Gadis itu memakai topinya lalu turun dari mobil. Sepanjang jalan menuju kelas, orang-orang berbisik membicarakannya. Ia berusaha tak peduli dan mempercepat langkahnya. Keadaan di kelas tak beda jauh dengan di lorong. Teman-teman sekelasnya menatap sinis. Ia meremas ranselnya kuat dan duduk di kursinya.

Manik coklatnya melotot melihat mejanya yang kotor dengan coretan berisi umpatan.

"Pelacur."

"Tukang malak."

"Cewe caper."

"Pergi dari sekolah ini."

"Sekolah ini tidak pantas untukmu, sampah!"

Ia naik pitam saat membaca coretan di mejanya. Tangannya terkepal kuat. Netranya menatap nyalang teman-teman sekelasnya yang menertawakannya. Tak kuat menahan emosi, ia memukul mejanya.

"Wow santai lah. Kenapa sih Nia?" kata salah satu temannya.

"Santai katamu? Siapa yang mencoret mejaku?!" tanya Nia berteriak. Tapi teman-temannya hanya mengangkat bahu tak peduli. Mereka malah sibuk dengan kegiatan masing masing.

"Aku sampah? Kalian semua yang sampah!" Nia mengumpat sambil menendang kursinya sendiri lalu membersihkan mejanya dengan tisu basah. Tapi tulisan itu tak bisa hilang, mungkin karena ditulis dengan spidol.

Waktu cepat berlalu, tak terasa pelajaran sudah dimulai. Nia memperhatikan guru meski pikirannya bercabang. Rumus di papan tulis membuat otaknya terbakar, padahal itu makanan sehari harinya. Sepertinya otaknya macet karena masalah yang menimpanya.

"Kita sudah belajar bagaimana memeriksa fungsi kontinu. Ada 3 syarat yang membuat fungsi jadi diskontinu. Ada yang tau apa saja?" tanya guru di depan. Seisi kelas bergeming, tak ada yang menjawab lalu guru menunjuk Nia.

"Nia apa jawabannya?"

"Hah? Apa?" tanya Nia gugup. Ia tak tahu apa yang ditanya guru. Guru MTK itu menggelengkan kepalanya dan mengulang pertanyaan.

"Oh.. satu, Jika limit fungsinya tidak ada. Dua, fungsi tersebut tak terdefinisi. Tiga, kalo nilai fungsinya dan nilai limit fungsinya berbeda." Jawaban Nia membuat guru tepuk tangan puas.

"Tepat sekali. Tapi, jangan melamun di pelajaran saya yah."

#

.

.

Bel istirahat adalah waktu yang paling disukai anak sekolah. Mereka bisa ke kantin, ke perpustakan, bermain bola, ataupun tidur di kelas. Nia hendak ke perpustakaan, namun, baru satu langkah keluar dari kelas, rambutnya ditarik seseorang.

"Aaaa Mela! Lepas!" Nia menjerit kesakitan. Mela tak mengindahkan permintaan Nia. Ia terus menarik rambutnya dan membawanya ke pojok. Bibirnya tersenyum sinis.

"Girls, tutup pintu dan gorden," titah Mela pada teman-temannya yang langsung dituruti. Mereka bertiga berdiri di depan Nia yang mengaduh kesakitan. Tangan Nia memukul mukul tangan Mela tapi Mela tak bergeming.

"Ada hubungan apa kamu dengan Kevin?"

"Tidak ada. Kami sama sekali tak dekat."

"Bohong!" Mela semakin menarik rambut Nia sampai helaian rambutnya rontok. Nia menjerit, kepalanya terasa sakit. "Oh ya, ku dengar kamu memalak Kevin, berani sekali kamu." Maniknya menatap tajam Nia.

"Itu semua fitnah," lirih Nia menahan sakit. Bola matanya berair.

"Fitnah ya? berarti kamu mengemis pada Kevin."

Mela merogoh rok Nia, mengambil dompet disakunya. Nia membelalak dan menendang Mela. Tapi gadis kulit tan itu menahan kaki Nia dan mengambil uang di dompetnya.

"Nih, ku balikin," ujar Mela sambil melempar dompet yang sudah kosong itu ke muka Nia. Ia melepas cengkraman pada rambut dan tangan Nia. Lalu Mela dan teman-temannya pergi meninggalkan Nia yang sesenggukan di lantai.