Chereads / Die inside (Hopeless) / Chapter 12 - Apa salahku?

Chapter 12 - Apa salahku?

Saat bel pulang berbunyi semua siswa berhambur keluar kelas. Dari kejauhan mereka terlihat seperti lautan manusia. Saking banyaknya sampai terasa sesak. Beberapa orang jalan beriringan dengan temannya, beberapa jalan sendirian, salah satunya Nia.

Nia selalu pulang sendirian. Tak ada yang mau mengajak Nia pulang bersama selama tiga tahun ia sekolah disana. Mereka lebih suka mengajak gadis populer seperti Mela. Bahkan banyak yang saling sikut hanya untuk mendapat kesempatan pulang bersama Mela. Sedangkan Nia, ia harus menahan iri saat teman-teman sekelasnya pulang bersama.

Nia pun tak paham kenapa seisi sekolah tak suka padanya. Wajahnya tidak buruk. Ia punya mata coklat yang cerah, hidung mancung, kulit putih seperti orang Asia Timur, dan bibir tipis berwarna pink yang terlihat imut. Rambutnya juga hitam pekat, lurus, wangi. Ia tak sejelek itu untuk dibenci.

Mungkin Nia dibenci karena gadis yang sering menguncir rambutnya itu dikenal yatim piatu, meski kenyataannya ia punya orang tua, hanya saja tidak diakui. Mereka mengira Nia gadis miskin yang sekolah disana karena bantuan orang kaya. Memang siswa yang berhak sekolah disana hanya konglomerat dan orang pintar yang mendapat beasiswa.

Gadis dengan rok selutut itu jalan menelusuri lorong penghubung kelasnya sambil menunduk. Perasaannya tak enak saat orang orang di sekelilingnya berbisik sambil menatap sinis. Dan benar saja ternyata ada rumor buruk tentangnya. Seseorang memfitnahnya memalak Kevin, siswa baru di SMA 1 Jakarta.

Kakinya melangkah cepat menjauhi kerumunan. Maniknya fokus ke depan sementara telinganya ditutup, berharap dapat meredam cacian orang di sekelilingnya. Ia terus lari hingga tak sengaja menabrak seorang laki laki.

Ia jatuh tersungkur dan orang di depannya segera membantunya berdiri. "Kau tak apa?" kata pemuda jangkung itu khawatir. Ia terkejut melihat gadis itu meneteskan air mata.

Tanpa satu patah katapun Nia bangkit meninggalkan Kevin, pemuda yang ia tabrak. Kevin termenung memikirkan apa yang terjadi pada Nia. Dan setelahnya ia paham saat melihat fotonya terpampang di mading.

"Aku harus mencari tahu siapa pelakunya," gumam Kevin tegas. Ia menatap punggung Nia yang sudah jauh. Wajahnya mengeras menahan amarah. Tak akan ku biarkan siapapun menyakiti Nia, ucap Kevin dalam hati. Ia bertekad menghukum siapapun yang membuat Nia sedih.

#

.

.

Suara petikan gitar terdengar dari kamar bercat pink. Seorang gadis tengah bersenandung ria. Ia memejamkan mata menikmati iringan musik. Bibirnya mengeluarkan lantunan indah dan jarinya dengan lincah memetik senar gitar. Ditengah lagu, matanya menggenang. Hatinya mendadak sakit saat menyanyikan bait ini.

"Tenangkan hati... semua ini bukan salahmu~"

"Jangan berhenti... yang kau takutkan tak kan terjadi~"

Ia mendesah saat menyanyikan bait itu. Benarkah semua ini bukan salahnya? Bukankah kelahirannya saja sebuah kesalahan? Lirik yang konyol, penipuan! Bahkan orang tuanya berkali kali mengatakan menyesal memiliki Nia sebagai anaknya.

Ibu nya pernah bilang, "andai bisa, ibu akan masukkan kamu ke perut lagi." Konyol! Kenapa tidak kau gugurkan saja sejak awal? Lagipula dirinya sendiri menyesal sudah dilahirkan. Andai bisa, ia tak kan mau terlahir ke dunia.

Tapi nasi sudah jadi bubur, mengeluhpun percuma. Gadis yang menyukai warna pink itu hanya bisa bertahan semampunya. Jika tak kuat tinggal mengakhiri hidupnya. Meski ia tak tahu akan berani atau tidak.

Netranya menerawang saat teringat kejadian di sekolah sore tadi. Ia mengerutkan keningnya berpikir siapa gerangan yang memfitnahnya? Bisa siapa saja karena hampir semua murid di sekolah membencinya. Otaknya langsung memunculkan wajah Mela mengingat ia yang paling membenci Nia. Ya, pasti dia. Waktu itu Mela memang di kelas, tapi bisa saja dia menyuruh orang lain membuntuti Nia.

Memikirkan dalang yang menyebar rumor tentangnya membuat tenggorokan Nia kering. Ia beranjak dari kamarnya dan turun ke lantai bawah. Suara langkahnya menggema di seisi rumah. Matanya berkeliling dan ternyata tak ada siapapun di rumah dua lantai itu. Ia seperti hidup sendiri. Tak apa, gadis mancung itu sudah terbiasa.

Setidaknya dengan begini ia bisa bebas begadang. Apalagi besok hari Minggu, ia bisa tidur sampai siang. Tangannya dengan gesit menyiapkan peralatan begadang, sebotol air dingin dan cemilan. Kakinya berselonjor pada soffa lebar. Saking lebarnya sampai ia bisa tidur dengan kaki lurus.

Nia berkali kali menguap. Sudah setengah jam ia hanya gonta ganti chanel TV. Dan berakhir pada stasiun TV yang menyiarkan acara perlombaan nyanyi. Ibunya terlihat cantik di layar kotak itu. Ia baru ingat ibunya menjadi juri. Pantas saja ibunya belum pulang. Eh tidak, ibunya memang sering pulang larut.

Nia tertawa hambar ketika telinganya mendengar hal menggelikan. Ibunya mengatakan sayang pada salah satu peserta dan menganggapnya seperti anak sendiri. Lihatlah interaksi mereka yang mirip seperti ibu dan anak. Dia yang anak kandungnya saja jarang diperhatikan seperti itu.

Ia iri saat ibunya merangkul pundak peserta itu, mengajaknya berduet dan membelikannya sepatu atas keberhasilannya menyelesaikan tantangan. Bahkan ibunya membela peserta itu saat juri lain mengkritiknya.

Ia ingat pernah mengajak ibunya tampil berdua di acara pentas seni sekolah. Tapi ia menolak mentah mentah dengan alasan takut ada yang sadar mereka ibu dan anak. Iya, dia hanya anak asuh dimata publik. Anak yatim piatu yang dipenuhi semua kebutuhannya. Muncul dipublik pun saat acara amal saja. Ia dianggap wanita yang murah hati dan senang menolong. Dan Nia, anak yang patut bersyukur karena dikasihani.

Ia terisak, matanya sudah dibanjiri air mata. Napasnya memburu menahan amarah dan sedih. Bolehkah ia menyalahkan Tuhan? Sang pembuat takdir seolah mempermainkannya. Orang bilang Tuhan tak akan memberikan cobaan diluar kemampuan hambanya. Tuhan terlalu menganggapnya kuat, padahal ia tak sekuat itu.

"Knock knock. Nia! Buka pintunya."

Nia terperanjat saat seseorang mengetuk pintu rumah. Ia menyeka air matanya dan dengan langkah gontai melangkah ke pintu.

"Lama sekali. Kau tak tahu saya kedinginan!" gerutu pria berjas hitam itu. Adikara masuk ke rumah dan melempar jasnya ke Nia. Refleks Nia menangkap jas itu dan menggantungnya.

"Dimana ibumu?"

"Belum pulang."

"Ck wanita itu. Suami sampai rumah tapi dia masih berkeliaran diluar." Adikara menggrutu lagi.

"Dia kerja, bukan berkeliaran. Lihat itu, dia sedang jadi juri," sergah Nia sambil menunjuk TV. Ia kembali duduk di soffa menghiraukan ayahnya yang bergumam tidak jelas. Bola matanya melirik sekilas ayahnya yang duduk disampingnya.

"Lihatlah ibumu, dia terlihat bahagia. Mungkin karena ada pria lain disana," sindir pria dengan manik sehitam langit malam itu. Nia hanya memutar bola matanya menyikapi ayahnya yang cemburuan. Tidak bisakah ia berpikir positif sekali saja tentang ibunya?

"Berhenti cemburu tidak jelas. Ibu tidak seperi itu," kata Nia membela ibunya. Nia memang kesal tapi ia tak suka sifat cemburu yang dimiliki ayahnya. Cemburu memang wajar, tapi ayahnya terlalu berlebihan. Nia yang anaknya saja muak, apalagi ibunya.

"Kau masih anak-anak. Aku tahu ibumu genit. Cih wanita murahan. Awas saja kau murahan sepertinya," cemooh Adikara. Ia tega yah menghina istrinya murahan.

Nia tersenyum miring, ayahnya menggelikan sekali. "Kalo ibu murahan, kau apa?"

Dahi Adikara berkerut lalu menatap serius anaknya. Tangannya terlipat di dada dan suara baritonnya terdengar dalam. "Apa maksudmu?"

"Kau pikir aku tidak tahu kau pernah berbuat apa pada sekretarismu? Aku tidak tahu sekarang kau masih melakukannya atau tidak," sindir Nia sambil tertawa remeh. Manik coklatnya menajam. Mungkin kalian mengira Nia tidak sopan. Tapi gadis yang memakai piyama pink itu sudah terlalu lama memendam perasaan. Ia sudah tak mau bersikap lemah.

"Apa maksudmu? Ayah tidak paham." Laki laki di depannya mengelak. Namun Nia tak sebodoh itu. Ia tahu ayahnya gugup. Lagipula ia pernah melihatnya sekali.

"Ah kau berusaha mengelak yah. Tak apa, aku tidak akan memberitahu ibu."

"Katakan apa maksudmu!" Suaranya meninggi. Nia ciut mendengarnya tapi ia berusaha tenang dam fokus pada TV. Meski keringat dingin membanjiri telapak tangannya.

"Dengar saat ayahmu bicara," kata Adikara penuh penekanan. Aura hitam menguar dibelakangnya. Nia menelan ludahnya susah dan ragu ragu menatap ayahnya.

"Oke. Apa yang mau kau katakan pak Adikara yang terhormat?"

"Apa yang kau lihat?" Adikara berdiri dan jalan mondar mandi di depan Nia. Ia memijat pelipisnya yang mendadak pusing. Lalu menatap tajam anaknya.

"Kau bersetubuh dengan sekretarismu. Kalian terlalu asik sampai tidak sadar ada yang membuka ruang kerjamu. Padahal kau yang menyuruhku mengantar dokumen ke kantormu."

"Jadi, kau lebih murahan dari ibu," lanjut Nia.

Plak! Tamparan mendarat di pipi Nia. Perih, itu yang dirasakan. Entah perih dari pipinya atau hatinya. Sorot mata Adikara menajam. Ia tidak terlihat menyesal sudah menampar anaknya.

"Jangan sekalipun berani menghinaku," murka Adikara. Suaranya tegas dan penuh ancaman. Setelah itu ia berlalu meninggalkan Nia yang semakin hancur.

Apa salahnya sampai mendapat orang tua tidak bertanggung jawab seperti mereka? Apakah mereka mengira tanggung jawab mereka sudah terpenuhi dengan memberinya harta? Harta saja tak cukup. Mereka harus bersikap layaknya orang tua. Memberi kasih sayang, memberi teladan yang baik, dan tidak menyakiti anak.