Chereads / Die inside (Hopeless) / Chapter 3 - Cinta? nyatakah itu?

Chapter 3 - Cinta? nyatakah itu?

Riuh penonton memenuhi studio, dikala dua penyanyi diatas panggung berkolaborasi menyanyikan lagu makna cinta. Penonton mengayunkan kedua tangan mereka mengikuti iringan lagu.

Dua penyanyi diatas panggung bernama Sekar dan Duta saling menatap seolah pasangan yang sedang kasmaran. Sekar terkesiap saat Duta melingkarkan lengannya ke pinggang Sekar. Namun, ia berusaha profesional dengan mengelus tangan Duta.

Sontak penonton histeris atas fanservice yang diberikan. Di akhir lirik, Sekar menyenderkan kepalanya di bahu Duta, yang dibalas dengan elusan Duta pada rambutnya.

Hati semua penonton serasa meleleh melihat kemesraan Duta dan Sekar, kecuali pria di ujung kursi. Pria itu mengepalkan kedua tangannya, selain itu rahangnya mengatup keras. Urat dilehernya terlihat menandakan emosi yang meluap. Seringai tampak di bibirnya melihat pemandangan diatas panggung. Entah hal jahat apa yang akan dilakukan pria itu.

#

.

.

.

.

(Di belakang panggung)

"Wah Sekar, Duta, kalian hebat sekali. Aku seperti melihat sepasang kekasih sedang menyanyi bersama." Manajer Sekar tepuk tangan atas penampilan Sekar dan Duta.

"Sukurlah penampilan kami berjalan dengan lancar. Ini semua berkat Sekar." Duta menyunggingkan senyumnya pada Sekar.

"Ah tidak. Ini karena kamu yang membuat penampilan kita terlihat intens." Sekar tersipu mendengar pujian Duta.

Sekar, manajer Sekar dan Duta sedang duduk santai di ruang ganti, beristirahat setelah penampilan mereka. Diam diam Duta memperhatikan wajah Sekar. Matanya melebar saat Sekar merapihkan rambutnya ke telinga. Pria muda itu menarik napas dalam seakan habis berlarian. Tangannya berkeringat padahal pendingin ruangan menyala.

"Duta, wajahmu merah. Kamu sakit?" tanya Sekar sambil melambaikan tangannya diwajah Duta.

"Aku hanya terpesona pada kecantikanmu. Eh maksudku aku... aku... lelah." Duta bicara terbata bata sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal.

"S-sebaiknya aku menemui manajerku."

Duta segera berdiri hendak meninggalkan ruangan. Ia berjalan terburu buru hingga kepalanya terpentok pintu. Duta merutuki kecerobohannya yang lupa membuka pintu. Sekar menaikan sebelah alisnya saat Duta sudah pergi. Heran dengan kelakuan Duta yang tak biasa.

Manajernya menyenggol bahu Sekar. Matanya menyipit dengan senyuman yang sulit diartikan. Alis sekar naik sebalah tak paham dengan sikap manajernya. Manajernya menghela napas berat. Berpikir bahwa Sekar seperti anak-anak yang polos.

"Sekar kamu sudah 30-an tapi tak paham dengan sikap Duta? Dia menyukaimu!" ujar manajernya semangat.

Dahi Sekar berkerut dengan matanya menyipit. Netranya berkedip beberapa kali mencerna perkataan sang manajer. Benarkah Duta menyukainya? Jika benar apa yang harus ia lakukan? Menerimanya? Tidak mungkin. Ia mempunyai Adikara, mustahil ia berhubungan dengan Duta. Duta memang baik, tampan, sama sama penyanyi. Tapi mereka hanya rekan kerja.

Sekar diam beberapa saat dengan tangan terlipat di depan dada. Memikirkan benar-tidaknya Duta menyukainya dan segala kemungkinan yang akan terjadi jika ia menolak atau menerima perasaan Duta.

Sekar terus diam hingga terdengar derit pintu. Seorang pria masuk menyapa mereka berdua. Tangannya membawa kotak makanan untuk Sekar dan manajernya.

"Wahh apa nih? Pizza? Terimakasih pak Adikara. Sekar, ada kakakmu tuh". Manajer menyentuh bahu Sekar menyadarkan Sekar dari lamunannya.

Sekar menolehkan kepalanya dan membeku saat melihat Adikara di depan pintu. Tengkuknya terasa dingin saat Adikara melempar senyum padanya. Sekar menggigit bibirnya tahu ada bahaya yang menanti.

"Bu manajer, bisa tolong tinggalkan kami? Kamu bawa saja salah satu kotak itu," ujar Adikara dingin.

Setelah sang manajer keluar, Adikara mendudukkan dirinya di depan Sekar. Matanya menatap intens Sekar. Bibirnya membentuk seringai saat Sekar menghindari kontak mata.

Adikara mencondongkan tubuhnya dan mendekatkan bibirnya ke samping telinga sekar. Ia mengelus surai Sekar seraya berkata, "Sudah puas main main dengan penyanyi itu? Sejauh apa hubungan kalian?"

Bulu kuduk Sekar berdiri mendengar ucapan Adikara. Tubuhnya bergetar saat tatapan Adikara berubah tajam. Ia menjerit ketika rambut panjangnya ditarik, sakit sekali.

"Aku tidak ada hubungan apapun dengan Duta," kata Sekar terbata bata.

Adikara mengalihkan pandangannya ke samping dan mengambil rokok di sakunya. Ia menyalakan rokok dan menghembuskannya ke wajah Sekar.

Sekar memijat telapak tangannya dan kakinya mengetuk ngetuk tanpa sadar karena tekanan yang diberikan Adikara. Adikara mengangkat gaun Sekar keatas lalu menempelkan ujung rokok yang masih menyala ke paha Sekar.

"Jika kau berteriak, kau akan menerima hukuman yang lebih parah."

Sekar mengangguk pelan dan mengigit bibirnya menahan agar tak menjerit. Air mata jatuh membasahi pipi. Pahanya terasa terbakar ketika ujung rokok mengenai pahanya.

#

.

.

.

.

Jam menunjuk pukul 5 sore. Semua anak sekolah sudah pulang ke rumah menyisakan beberapa siswa yang masih aktif melakukan aktiftas organisasi.

Gadis berambut sepinggang berdiri di atas panggung menyanyikan lagu Michael Jackson-Heal the world. Senyuman terpatri di parasnya. Sesekali matanya terpejam menunjukkan betapa ia menghayati lagu.

Pelatih tersenyum hangat melihat penampilan Nia. Suaranya merdu seperti kicauan burung di pagi hari. Murid lain juga menikmati suara Nia. Mereka melupakan fakta bahwa gadis rambut sekelam malam itu adalah orang yang mereka benci dan sering mereka tindas.

Seorang siswa yang sedang lari terburu buru berhenti seketika saat mendengar suara dari balik ruangan ber Ac tempat anak paduan suara berlatih.

Kepalanya mengintip dari jendela untuk melihat siapa yang menyanyi. Matanya tak berkedip ketika melihat paras gadis beramput sepinggang yang sedang menyanyi. Bibirnya membuka takjub akan suara gadis itu. Seketika pemuda itu lupa dengan tujuannya berlari.

"Cantik yah?" tanya seseorang disamping pemuda itu.

Tanpa sadar si pemuda mengangukkan kepalanya.

"Iya dia cantik. Siapa namanya?" sahutnya tanpa menolehkan kepala. Belum sadar ada orang lain di sampingnya.

"Namanya Nia Anggraini. Siswi kelas XII IPS-A," ujar orang disamping pemuda itu.

Sang pemuda menekuk dahinya saat sadar bahwa dia tidak sendirian. Pemuda yang wajahnya seperti artis China itu menelan ludahnya susah dan ragu ragu menolehkan kepalanya kesamping.

Orang disampingnya yang tak lain adalah pak Yoga, guru olahraga di sekolahnya, berkacak pinggang dengan tatapan tajam.

Wajah pak Yoga kotor oleh gambar abstrak. Itu adalah perbuatan si pemuda yang tak takut mati di tangan pak Yoga. Si pemuda hanya memberikan cengiran seolah tak berdosa.

"Ampun Pak aaaa sakit. Aduh telingaku bisa lepas!" teriak si pemuda kesakitan saat telinganya dijewer pak Yoga.

Kegaduhan diluar menghentikan aktivitas anak paduan suara termasuk Nia. Semua anak paduan suara berhamburan keluar untuk melihat pertengkaran antara pak Yoga dan siswa yang sepertinya murid baru.

Mereka tak pernah melihat ada siswa maupun siswi yang berani menjahili Pak Yoga. Nia tertawa dengan keras sambil memegangi perutnya yang keram karena terlalu banyak tertawa. Air mata Nia keluar saking senangnya melihat kejadian di depannya. Entah senang karena Pak Yoga atau siswa baru itu.

Si pemuda tersenyum melihat tawa Nia. Perutnya geli seperti ada kupu kupu yang hendak keluar. Sepertinya pemuda itu telah terpesona pada Nia.