Chereads / Die inside (Hopeless) / Chapter 8 - Ribut besar

Chapter 8 - Ribut besar

"Aku berani sumpah tak punya hubungan spesial dengan Duta," lirih sang wanita. Manik coklatnya meredup saat pria di depannya menuduhnya telah mendua. Padahal ruang di hatinya telah terisi penuh akan pria di depannya. Tak tersisa sedikitpun untuk pria lain.

Ia menatap suaminya dengan penuh kasih sedangkan suaminya menatap nyalang dengan rahang mengeras hingga wajahnya memerah

.

"Bohong! Aku tidak percaya padamu!" Teriak sang pria sambil menepis genggaman istrinya.

"Aku sudah sumpah tapi kau tetap tidak percaya" suaranya kian bergetar menahan sesak yang mendera dadanya. Hatinya serasa teriris pisau saat dirinya tak dipercaya suaminya sendiri.

Ekspresi Adikara mengeras mendengar pembelaan istrinya. Ia memberi seringai miring dan mendekatkan bibirnya ke telinga Sekar, "Kau pikir aku bodoh? Aku tau kalian sering makan bersama."

"Bagaimana kau tau?" Alis Sekar bertaut, ia heran darimana suaminya tahu perihal makan bersama antara dirinya dan Duta. Apakah ia tahu dari manajernya? Atau yang terparah ia menyuruh seseorang menguntitnya?

"Kau lupa aku bos perusahaan teknologi? Menyadap ponsel hal mudah bagiku. Bahkan aku bisa melihat aktivitasmu dari kamera ponsel," lagi lagi pria di depannya memberi seringai.

Matanya menajam seolah mencoba menusuk Sekar lewat tatapannya. Tangan Adikara menyilang di pinggang untuk menunjukkan betapa angkuh dan hebatnya ia.

Bagai tersambar petir, Sekar terkejut luar biasa dengan sikap suaminya. Suaminya terlalu tak percaya pada dirinya hingga berani melanggar garis privasi.

"Kau gila! Kau sudah melanggar privasiku tuan Adikara," seru wanita yang memiliki mata semanis anak anjing.

"Privasi? Kau sudah tertangkap basah. Dasar pelacur!" Cerca Adikara dengan mata melotot. Tangannya terkepal kuat menahan emosi yang sebentar lagi meledak.

"Kau tega menghina istrimu?" Hatinya hancur berkeping keping saat hinaan terlontar dari bibir suaminya. Ia menahan air matanya yang memaksa keluar.

"Kau yang lebih tega. Kau menduakanku."

"Sudah ku bilang aku tidak selingkuh. Aku memang sering bertemu dengannya, tapi hanya untuk membahas pekerjaan." Sekar menangkup kedua pipi pria berbadan tegap itu dan memberikan tatapan melas. Ia ingin suaminya percaya bahwa hatinya terkunci untuk siapapun selain dirinya.

"Masih saja mengelak?!" Suaranya meninggi menandakan emosi telah berkuasa. Urat terlihat di lehernya dan matanya melotot. Setan di sebelah kirinya tertawa menang karena berhasil mengaduk aduk emosi anak adam ini.

"Plak!"

Seketika pipi Sekar memanas saat mendapat salam lima jari dari Adikara. Tampak manik hitam legam Adikara membesar.

Air mata yang sedari tadi wanita itu tahan, mengalir deras membasahi pipi. Rasa panas dari pipinya merambat ke dada. Dadanya serasa ditusuk beribu pisau. Sakit, itu yang dirasakan, padahal tak ada darah yang mengalir.

Di sisi lain seorang gadis tengah berkutat dengan buku setebal dosa para manusia. Tangannya tak berhenti mencoret buku tulis sementara bola matanya bergantian membaca buku tebal dan melihat buku tulis.

Otaknya memanas seolah ada api yang membara dan asap mengepul diatas kepalanya. Ia memang pintar, tapi tak mudah memahami rumus rumus MTK.

"Aku berani sumpah tak punya hubungan spesial dengan Duta"

"Bohong! Aku tidak percaya padamu!"

Telinganya berdenging saat mendengar suara teriakan kedua orang tuanya. Otaknya yang sudah kepanasan daritadi semakin panas saat mendengar pertengkaran orang tuanya.

Ia meraih earphone dan menyalakan lagu sekencang mungkin. Namun percuma, suara mereka lebih besar dari suara lagu yang ia putar. Netranya menatap lurus pintu, ia menimbang nimbang akan turun ke bawah atau tetap disini.

"Ck sial! Apa mereka tak bisa tenang sehari saja?" decak sebal gadis itu. Ia melangkahkan kaki jenjangnya setelah menghela napas dalam. Kepalanya bisa pecah jika tiap hari mendengar keributan terus.

"Kalian bisa diam tidak?! Setiap hari bertengkar, apa kalian tidak capek?!" bentak Nia tak tahan melihat kelakuan orang tuanya.

Sang ayah mengalihkan pandangannya dari istrinya. Netranya membara saat mendengar teriakan dari anaknya. Harga dirinya serasa jatuh mendapat bentakan dari anaknya. Hampir saja ia melayangkan tamparan jika istrinya tidak memegang tangannya.

Sedangkan sang ibu menatap sendu wajah anaknya. Cepat cepat ia mengusap air mata yang membasahi pipi lalu mendekati anaknya. Ia memaksakan senyumnya dan tangannya terulur mengelus surai hitam anaknya.

"Maaf ya, kamu pasti terganggu. Yaudah ayo belajar lagi," ujar Sekar lembut.

Mata Nia menyipit melihat merah di pipi ibunya. Dengan berani ia mendekati ayahnya. Tangannya terkepal kuat, dadanya naik turun saat emosi menguasai. Ia tak terima dengan perlakuan ayahnya.

"Kau tak berhak memukul ibuku! Cepat minta maaf!" Gadis berkulit putih itu geram dengan sikap ayahnya. Jika membunuh tidak dosa, atau tidak ada hukuman penjara, sudah dari lama ia membunuh sosok yang tak pantas disebut ayah ini.

"Siapa kau berani memerintahku?" hardik pria yang mempunyai hidung mancung dan mata bulat hitam itu. Pantang baginya minta maaf pada orang lain, terlebih pada wanita yang ia anggap tak lebih hebat dari pria. Sungguh patriarki Adikara ini.

"Ku bilang minta maaf!" jerit Nia. Pelupuk matanya bengkak menyimpan air mata. Ia meremat kuat ujung bajunya, tak mau terlihat lemah di depan ayahnya.

"Berani teriak padaku? Anak kurang ajar!" Maki Adikara.

Bogem mentah mengenai pipi mulus Nia dan memaksa air mata yang sedari tadi ia tahan keluar. Ibunya memekik tatkala si suami menampar anaknya. Hatinya sakit seolah ia yang ditampar.

Gadis itu menggigit bibirnya agar isakan tak lolos dari bibir mungilnya. Tak sudi menangis kencang di depan ayahnya. Ia merasa lemah dan malu jika meraung di depannya.

Saat si ibu mencoba mendekat, ia buru buru pergi meninggalkan dua insan yang terdiam menatap kepergian anaknya. Dengan beralaskan sepatu sendal dan piyama, ia lari entah kemana.

#

.

.

Kakinya menuntunnya ke jembatan layang di Simatupang, Tanjung Barat. Jembatan berbentuk tapal kuda itu ramai dengan kendaraan bermotor dan beberapa pejalan kaki. Jembatan layang ini kini memiliki jembatan untuk orang yang ingin menyebrang melintasi rel kereta api.

Tangannya memegang erat pembatas jembatan. Matanya berkeliling melihat pemandangan malam. Cahaya lampu benderang bagaikan bintang malam. Suara bising kendaraan menjadi melodi yang sudah biasa untuk anak Jakarta.

Netranya menatap jauh bawah jembatan. Rasa penasaran menguasai otaknya, apa yang akan terjadi jika ia melompat? Bagaimana reaksi orang dibawah sana? Reaksi orang tuanya? Teman-temannya? Bahagiakah mereka?

Matanya terpejam lama dan hidungnya menghirup dalam udara malam. Saat ia membuka mata, kakinya sudah ada di pegangan jembatan.

Angin berhembus kencang hingga bulu kuduknya berdiri. Kepalanya terasa pusing saat melihat kebawah. Satu langkah lagi, nyawanya akan melayang meninggalkan raga.

"Selamat tinggal dunia"

BRAK

Punggungnya terasa menubruk sesuatu. Apakah ia sudah jatuh? Tapi kenapa ia tak merasa ada darah yang keluar? Atau sekarang ia sudah ada di surga? Indra pendengarannya menangkap suara orang yang mengaduh kesakitan.

Nia tercengang seketika atas kemunculan pemuda yang tak ia duga. Darah mendesir merangkak naik ke wajahnya saat pemuda yang tak ingin ia lihat kini ada dibawahnya.

"Kau berat juga Nia"

"K-Kevin?!"