Chereads / Die inside (Hopeless) / Chapter 4 - Cinta atau obsesi?

Chapter 4 - Cinta atau obsesi?

"Aku pulang"

Nia melangkahkan kakinya ke rumah besar milik Adikara. Rumah itu terasa seperti kuburan karena sepi. Pembantu pun sudah pulang semua kecuali pak Rama yang bersiap pulang setelah mengantar Nia. Tak lama pak Rama pamit dan menyisakan Nia sendiri di rumah.

Nia tak mempedulikannya dan masuk ke kamar. Ia menghempaskan tubuhnya ke ranjang lalu menatap langit. Pikirannya menerawang pada kejadian tadi sore. Bibirnya tersenyum saat teringat pemuda yang dimarahi pak Yoga.

"Pak Yoga terkenal killer tapi dia berani mencoret wajah pak Yoga dengan spidol. Hm pemuda yang menarik."

Malam ini rembulan bersinar terang dan banyak bintang bermunculan, seolah sedang berpesta. Mungkin mereka ikut senang karena malam ini ada kebahagiaan dihati Nia.

Netranya menatap langit langit kamar. Senyum menghiasi wajahnya. Jika saja perutnya tak bunyi, mungkin ia akan terus melamun hingga pagi.

#

.

.

.

.

Pagi pagi sekali bahkan saat ayam belum berkokok terdengar suara berisik dari balik kamar. Disaat rembulan masih tenang diatas langit, dua manusia di dalam kamar malah ribut. Mereka saling teriak, saling menyalahkan dan mengumpat. Tak ada yang mau mengalah diantara mereka berdua.

Si pria merebut lipstick di tangan si wanita. Menghalanginya yang sedang memoles bibirnya. Si wanita tak peduli dan mengambil lipstick lain di tas make up nya. Si pria geram dan meremas tangan si wanita. Tak peduli pada erangan kesakitan yang dikeluarkan si wanita.

Dua manusia itu adalah Adikara dan Sekar. Pagi ini Sekar harus menghadiri acara gosip di stasiun Tv. Biasanya Adikara setuju, namun kali ini tidak. Sebab ada Duta disana, orang yang dia benci. Adikara menganggap Duta adalah musuh yang akan merebut Sekar.

Sekar berusaha meyakinkan Adikara, bahwa mereka hanya partner kerja dan kedekatan mereka palsu. Sekar melakukannya agar karirnya melonjak karena penonton Indonesia suka sensasi dan hal viral.

"Sekali tidak tetap tidak. Kau mau jadi istri durhaka?!" Adikara berbicara dengan nada tinggi.

"Aku akan tetap pergi. Namaku bisa buruk jika tiba tiba membatalkan kontrak. Dan lagi aku harus membayar denda" ujar Sekar tak mau kalah dengan Adikara.

"Denda? Aku bisa membayarnya asal kau tak pergi."

Sekar menatap nyalang Adikara saat mendengar perkataannya. Ia tahu Adikara pria kaya tapi ia rasa tek etis membatalkan janji. Lagipula dia muak dengan Adikara yang selalu cemburu.

"Kau terlalu sombong. Lagipula aku tidak punya perasaan apapun padanya."

"Jangan bohong! Aku melihatmu kemarin sangat dekat dengannya" kata Adikara tak percaya.

Sekar menghela napas dan memijat kepalanya setelah mendengar ucapan suaminya. Apakah suaminya tak tahu istilah gimick? Meski Duta benar menyukainyapun, Sekar tak akan mau dengannya. Sebab Sekar tahu dia bersuami.

"Suamiku, aku hanya mencintaimu. Sudah yah aku mau berias dulu."

Sekar mengecup pipi suaminya lalu memunggunginya. Ia kembali bersolek. Dada Adikara naik turun, giginya rapat dan matanya menatap tajam punggung Sekar. Tangannya menarik rambut Sekar keras. Hal itu membuat Sekar teriak kesakitan.

Adikara tak peduli, ia menyeret tubuh Sekar dan membantingnya ke kasur. Ia menduduki perut Sekar dan menatap nyalang wajah Sekar.

"Turuti aku atau kau akan berhenti bernapas."

"Kau mau membunuhku? Pantas saja dulu pacarmu meninggalkanmu. Kau tak pantas dicintai" hardik Sekar.

Adikara semakin tersulut dengan perkataan Sekar. Ekspresinya mengeras dengan mata melotot. Sekar mengigit bibirnya dan tubuhnya bergetar ketika melihat wajah Adikara.

Air mata memenuhi matanya saat tangan besar Adikara menekan lehernya. Dia memejamkan matanya, pasrah dengan sikap suaminya. Tak apa jika ia mati, setidaknya suaminya akan senang.

#

.

.

.

.

Di ruangan lain dalam rumah itu terdapat seorang gadis yang tertidur nyenyak. Terpampang senyum diwajahnya, entah apa yang sedang ia impikan. Namun senyumnya memudar dikala telinganya samar-samar mendengar suara dari kamar orang tuanya. Matanya mengerjap membiasakan diri. Dia melihat keluar jendela dan sadar masih subuh.

Kakinya melangkah melewati lorong gelap. Hawa dingin menusuk hingga bulu kuduknya berdiri. Ia berkali-kali menguap tapi kakinya tak berhenti berjalan. Saat sudah sampai di depan kamar orang tuanya, telinganya mendengar suara teriakan dan umpatan.

"Astaga, ini masih pagi dan mereka sudah bertengkar?" Nia memutar bola matanya bosan dengan rutinitas mereka.

Nia hendak pergi namun alisnya bertaut saat mendengar teriakan ibunya. Dia menbuka sedikit pintu dan mengintip. Raut wajahnya pucat pasi melihat apa yang dilakukan ayahnya.

Jemarinya bergetar dan basah oleh keringat. Nia memejamkan matanya sebentar -meyakinkan diri- lalu mendobrak pintu. Ia berlari dan menendang pinggang ayahnya. Segera Nia membawa ibunya keluar kamar. Ibunya terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya yang ngilu. Ayahnya sudah gila!

#

.

.

.

.

Matahari naik ke langit menggantikan rembulan, membiarkan ia istirahat. Orang-orang sudah memulai aktivitasnya, ada yang olahraga, bersiap sekolah, bersiap kerja, dan ada yang masih memejamkan mata di kasur.

Nia, salah satu manusia yang bersiap sekolah. Seperti biasa, ia diantar pak Rama. Matanya menatap kosong. Kepalanya berdenyut mengingat kejadian subuh tadi. Yang membuat darahnya mendidih adalah saat ia melihat ayahnya mencekik ibunya.

"Apakah ayah berniat membunuh ibu?" gumam Nia dalam hati.

Tangannya meremat kursi mobil sambil menghitung sampai sepuluh. Ini kebiasaan yang dilakukan tiap kali marah. Ia mendapatkan tips ini dari drama korea berjudul fix you.

Nia sampai di sekolah yang sebenarnya ia benci. Tak ada hal menyenangkan di sekolah selain latihan paduan suara. Biasanya orang yang membenci sekolah, ingin berada di rumah. Tapi bagi Nia, rumah dan sekolah sama buruknya. Keduanya adalah neraka dunia. Kesalahan apa yang sudah Nia lakukan di masa lalu hingga saat reinkarnasi ia diberi ujian seberat ini.

Nia mengedarkan matanya ke penjuru sekolah dan sadar banyak siswa/siswi yang diantar orang tuanya ke sekolah. Kebanyakan dari mereka menggunakan mobil, yah karena ini SMA elit. Nia mendengus sebal karena setiap hari diantar pak Rama.

Tubuh nia tersungkur ke depan saat seseorang menyenggol bahunya. Matanya memicing saat mendapati orang yang menabraknya adalah pemuda yang mencoret wajah pak Yoga.

"Maaf, aku tidak sengaja" pemuda itu menyatukan kedua tangannya membentuk permohonan maaf.

Nia menatap tajam pemuda itu namun ia malas memulai perkelahian. Ia sudah pusing dengan masalah di rumah dan tidak mau membuat masalah di sekolah. Si pemuda menahan tangan Nia. Terpaksa Nia membalikan tubuhnya. Tangannya terlipat di dada dan menatap datar si pemuda.

"Namaku kevin, kau siapa? Aku kemarin melihatmu di ruang paduan suara. Suaramu sangat bagus" mata pemuda itu berbinar saat mengatakannya.

"Apakah penting mengetahui namaku?" tanya Nia heran. Nia memutar bola matanya malas meladeni pemuda ini.

"Tentu saja. Kamu sangat cantik dan mempunyai suara yang indah. Apa kamu tahu? Kamu muncul dalam mimpiku semalam" lagi-lagi matanya bersinar saat mengatakan betapa ia terpesona pada Nia.

Pipi Nia berubah merah muda mendengarnya. Darahnya serasa naik ke wajahnya. Tak pernah seorangpun di sekolah ini memujinya -kecuali pelatih paduan suara yang menyukai suaranya- namun sekarang ada seorang pemuda yang memujinya. Jantungnya berdebar kencang dan samar senyum mengembang.

"Namaku Nia, kelas XII-IPS A. Sudah kan? Aku pergi." Nia mengucap ketus lalu melangkah menjauh dengan wajah yang seperti terbakar dan jemari sedingin es. Sebenarnya Nia senang dengan pujian itu tapi Nia terlalu malu mengakuinya.

Kevin, pemuda yang barusan mengajak Nia kenalan hanya tersenyum simpul. Sebenarnya dia sudah tahu nama Nia dari pak Yoga. Tapi ia ingin berkenalan secara resmi. Sikap ketus Nia tadi tidak menyurutkan semangat Kevin untuk mendekati Nia. Justru hal itu membuatnya semakin penasaran. Mungkin ia akan menanyakan Nia pada sahabatnya, Mela, temen sekelas Nia.