Sepulangnya dari kediaman sang Paman, Ganjar langsung menceritakan apa yang di amanatkan oleh Haji Syarif kepadanya di hadapan sang Ayah. "Paman mempercayakan Ganjar untuk mengelola beberapa hektar tanahnya," dengan lirihnya Ganjar mengawali perbincangan dengan sang Ayah.
Pak Edi hanya tersenyum menatap wajah Ganjar seorang pemuda tampan yang terlahir dari rahim sang Istri tercinta, yang tumbuh besar menjadi seorang putra kebanggaannya itu. "Kalau seandainya kamu bisa, apa salahnya jika dicoba, Insya Allah Bapak akan mendukungmu, Nak!" ucap Pak Edi penuh dukungan terhadap putra semata wayangnya itu.
"Baik, Pak. Insya Allah Ganjar akan amanah dengan apa yang dipercayakan oleh Paman." Ganjar tampak bahagia dan senang mendengar jawaban dari sang Ayah yang senantiasa mendukung dan memberikan arahan baik untuknya.
Pak Edi mengangkat tangan dan meletakkannya di atas pundak putranya itu, dengan berkat lirih penuh kelembutan. "Hal ini tertera dalam surat Al-muminun ayat 8 dan 11 yang artinya, Dan sungguh beruntung orang yang memelihara amanah-amanah dan janjinya. serta orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang yang akan mewarisi. Yakni yang akan mewarisi (surga) Firdaus, mereka kekal di dalamnya," ucap pria paruh baya itu mengutip sebuah ayat Al-Qur'an.
"Iya, Pak. Ganjar akan berusaha untuk amanah," ucap Ganjar. "Mulai besok lusa Ganjar akan mencari orang untuk membantu Ganjar dalam membuka lahan pertanian tersebut," tambah Ganjar balas menatap wajah pria paruh baya yang menjadi tumpuan harapan dan bangkitnya rasa semangat dalam dirinya itu.
"Kita merekrut para petani kan harus diberikan upah, terus kamu bayar mereka pakai apa, Nak?" Pak Edi tampak ragu dan merasa bingung bagaimana cara memberikan upah kepada para petani yang akan membantu pembukaan lahan pertanian putranya tersebut.
"Alhamdulillah, Pak. Paman Haji sudah memberikan modal untuk Ganjar dan uang tersebut cukup untuk dijadikan modal awal sampai menunggu panen kelak." Ganjar dengan lirihnya menjawab keraguan dalam pikiran sang Ayah.
"Kalau memang seperti itu, Insya Allah nanti malam Bapak akan mencari orang untuk ikut bekerja dengan kamu," ujar Pak Edi dengan raut wajah berbinar-binar tanda ikut bahagia dengan apa yang didapatkan oleh putranya itu.
"Iya, Pak semoga apa yang Ganjar harapkan bisa terlaksana dan cita-cita Ganjar menjadi petani muda di desa ini bisa tercapai," ungkap Ganjar memegang tangan pria paruh baya itu.
Pak Edi merasa terharu dengan ucapan putra semata wayangnya itu. Sejatinya, ia sangat menyesal karena tidak bisa membiayai kuliah Ganjar. "Iya, Nak. Bapak akan mendukung dan mendoakan kamu," ucapnya dengan bola mata berkaca-kaca jiwa dan perasaan Pak Edi saat itu diselimuti rasa haru, merasa bangga melihat keteguhan dan kerja kerasnya Ganjar yang terus berusaha untuk mewujudkan cita-cita yang ia impikan. "Maafkan, Bapak ya, Nak!" ucap Pak Edi menambahkan.
"Maaf kenapa, Pak?" Ganjar mengerutkan kening tidak paham dengan ucapan sang Ayah.
"Bapak tidak bisa menyekolahkan kamu lebih tinggi lagi, Nak," ungkap Pak Edi menjawab pertanyaan dari Ganjar.
Ganjar tersenyum dan memeluk erat tubuh pria paruh baya itu penuh kasih sayang dan rasa hormat terhadap orang tuanya tersebut. ***
Pagi itu, suasana tampak cerah tak sedikitpun awan hitam terlihat di atas sana. Keadaan desa yang asri dengan kesejukan dan panorama alam yang sangat terjaga. Ganjar sudah bersiap untuk segera berangkat mencari beberapa petani untuk membantunya mulai membuka lahan baru di ladang milik pamannya itu. Saat itu, Ganjar langsung menjumpai Duki sahabat kecilnya itu. Ganjar hendak meminta bantuan Duki untuk mencarikan calon pekerja yang akan ia pekerjakan di lahan pertanian yang akan dikelolanya itu.
Dan Duki pun menyanggupi permintaan dari sahabatnya tersebut. "Insya Allah ada, Jar. Memangnya butuh betapa orang?" tanya Duki di sela perbincangannya dengan Ganjar.
"Lima orang saja, Ki. Nanti kalau kurang aku hubungi kamu lagi!" Ganjar tampak semringah.
"Empat, Jar. Kan aku juga mau ikut kerja," ucap Duki tersenyum dan berkata lirih.
Ganjar balas tersenyum. "Iya, Ki." Ganjar langsung bangkit. "Aku pulang sekarang ya, Ki," sambung Ganjar langsung pamit kepada sahabatnya itu.
Beberapa menit menjelang waktu zuhur, Ganjar sudah berada di kediamannya. "Nak, ayo kita makan!" ajak Bu Ratna lirih.
Ganjar langsung bangkit dan mengikuti langkah sang Ibu, Bapak ke mana, Bu?" tanya Ganjar sembari melangkah menuju ruang makan.
"Bapakmu sudah makan tadi dan sudah berangkat ke Musala." Bu Ratna sedikit menoleh ke arah putra semata wayangnya itu.
"Oh, Ganjar kira Bapak masih di ladang." Ganjar langsung duduk.
Bu Ratna hanya tersenyum dan langsung menyiapkan makanan untuk putranya tersebut. "Ini ikannya, tadi Ibu dapat beli dari Amin," ucap Bu Ratna mendekatkan piring yang berisi ikan mas yang sudah digoreng.
"Ibu sudah makan?" Ganjar menatap wajah ibu paruh baya yang tampak gesit menyiapkan makanan untuk putra semata wayangnya itu.
"Ibu sudah makan tadi bareng Bapakmu," ucapnya lirih. "Sudah kamu makan saja, Ibu mau ke belakang dulu!" sambung Bu Ratna tersenyum ke arah Ganjar.
"Iya, Bu." Ganjar langsung makan.
Dan Bu Ratna melangkah menuju ke arah belakang rumah untuk meneruskan aktivitasnya membersihkan singkong yang baru saja dibawa Pak Edi dari ladang.
Sore harinya selepas asar, Ganjar hanya duduk santai di beranda rumah.
Sore itu, ia menerima pesan singkat dari Aisyah. Bahwa esok hari Ganjar diminta datang ke kediaman Aisyah oleh orang tua kekasihnya itu.
Setelah membalas pesan dari Aisyah Ganjar langsung melangkah menghampiri sang Ibu yang saat itu sedang berada di ruang tengah, Ganjar duduk di samping ibu paruh baya tersebut. "Besok Ganjar diminta untuk datang ke kediaman Aisyah, Bu," terang Ganjar mengawali perbincangannya dengan sang Ibu.
"Aisyah yang minta atau orang tuanya?" Bu Ratna menatap tajam wajah putra kebanggaannya itu.
"Bapaknya Aisyah, Bu," jawab Ganjar lirih.
Ibu paruh baya itu tersenyum dan mengusap lembut rambut putra semata wayangnya. "Mungkin Pak Haji Mustofa ingin bertanya tentang hubungan kalian, Nak," ucap Bu Ratna menduga-duga.
Ganjar balas tersenyum dan meletakkan kepalanya di pangkuan sang Ibu. "Makanya dari sekarang kamu harus nabung!" sambung Bu Ratna penuh nasehat.
"Iya, Bu." Ganjar tampak bahagia dan merasa senang atas respon baik dari orang tuanya tersebut.
Selang beberapa menit kemudian, terdengar suara ketukan pintu. "Tok, tok, tok Assalamu'alaikum," ucap Pak Edi dari luar rumah.
"Wa'alaikum salam." Ganjar bergegas bangkit dan langsung melangkah untuk segera membuka pintu, setelah pintu terbuka tampak pria paruh baya berdiri di depan pintu tersebut. Ganjar langsung meraih tangan pria paruh baya itu. "Sudah pulang, Pak?" sambut Ganjar penuh rasa hormat.
"Iya, Nak." Pak Edi langsung melangkah masuk ke dalam rumah dan duduk di samping sang Istri.
Ganjar meraih uang dalam saku bajunya. "Ini, Pak. Uang hasil dari penjualan jagung dan cabai merah, semuanya ada dua juta!" Ganjar menyerahkan 20 lembar uang pecahan seratus ribu kepada sang Ayah.
"Bapak ambil satu juta saja, sisanya untuk kamu," jawab Pak Edi meraih uang tersebut dan mengembalikan sisanya kepada Ganjar.
"Tidak usah, Pak!" tolak Ganjar lirih.
"Sudah pegang saja, untuk kamu tabung!" tandas Pak Edi tersenyum manis ke arah putrnya itu.
Bu Ratna bangkit dan langsung melangkah ke arah dapur. "Ibu mau ke mana, tidak mau uang?" gurau Pak Edi tertawa kecil kepada sang Istri.
"Nanti saja, Ibu mau membuatkan kopi dulu!" Bu Ratna kembali melanjutkan langkah menuju dapur segera membuatkan kopi untuk suaminya yang baru tiba itu.
Tidak lama kemudian, Bu Ratna kembali melangkah menghampiri Pak Edi dan putranya yang sedang berbincang di ruang tengah rumah sederhananya itu, dengan membawa ubi bakar dan dua gelas kopi hitam.
"Nih dicoba ubi bakarnya!" Bu Ratna meletakkan piring yang berisi beberapa ubi yang sudah dibakar serta dua gelas kopi hitam di atas meja di hadapan suami dan putra semata wayangnya itu.
"Ubi dapat darimana itu, Bu?" Ganjar bertanya dengan menatap wajah sang Ibu.
"Dari pamanmu," jawab Bu Ratna lirih.
"Kapan Ibu ke rumah Syarif?" timpal Pak Edi meraih ubi bakar tersebut.
"Tadi diantar ke sini oleh Usep."