Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

GITA

Knisa
315
Completed
--
NOT RATINGS
116k
Views
Synopsis
Entah mengapa sepertinya Barra jatuh begitu dalam dengan perasaan sukanya itu? Seharusnya Barra tidak boleh mengikuti perasaan suka itu pada Gita. Usia mereka berbeda jauh dan Gita juga masih bersekolah. Tapi, menahan perasaan itu terus membuat Barra gelisah. Kalau yang seperti itu disebut jatuh cinta, ya, Barra setuju dan mengakui kalau Barra jatuh cinta pada Gita. Kenapa Barra berkata begitu? Gita bahkan menganggapnya seperti kakak laki-lakinya sendiri. Lagipula, Gita juga baru saja menerima perasaan teman sekelasnya. Lalu Gita harus apa? Gita terus resah menanggapi pernyataan Barra padanya. Saat cinta datang tanpa peringatan, tidak ada yang tahu kapan dan bagaimana, serta pada siapa akan berlabuh. Ini bukan kisah romansa berbau CEO ataupun Mafia dengan kehidupan kaya raya. Ini hanya kisah biasa dari Barra, pemuda 23 tahun yang jatuh cinta pada Gita, gadis remaja yang masih bersekolah. Tanpa pertanda apapun, Barra dipertemukan dengan Gita dan perasaan aneh menggelitik Barra rasakan pada pandangan pertama. Ya, Barra jatuh cinta. Dan anehnya, hatinya berlabuh pada Gita, si gadis remaja yang baru mengenal apa itu rasa suka pada lawan jenis. Kisah cinta mereka diliputi dengan banyak air mata hingga kisah ini berakhir, tanpa menghilangkan kebahagiaan Barra dan Gita dengan banyak tokoh lainnya. Kisah ini terinspirasi dari pernikahan dini yang marak di lingkungan sosial. Semoga dengan membaca kisah ini, kita semua dapat mengambil pelajaran bahwa pernikahan dini tidak seindah yang dibayangkan, namun juga tidak seburuk dan semenakutkan yang dipikirkan.
VIEW MORE

Chapter 1 - BARRA DWIKARYA SANJAYA

Suara azan bergema membelah kesunyian langit yang masih gelap. Tidak ada suara lain selain suara azan dari Masjid di dekat rumahnya dan kokok ayam jantan peliharaan Ibu sambungnya.

Pelan-pelan Barra membuka mata setelah mendengar suara merdu yang menjadi alarmnya setiap hari. Beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Tak lupa berwudhu sebagai persiapan untuk sujud paginya.

"Allahu Akbar!" ucap Barra mengumandangkan takbir sambil mengangkat tangan ke atas awal mula Shalat Subuhnya dimulai.

Bara Dwikara Sanjaya, pemuda 23 tahun yang lahir dari keluarga sederhana dengan seorang kakak perempuannya. Mereka tinggal bersama Pak Dani Sanjaya dan ibu sambung mereka bernama Wulan. Ibu kandung mereka meninggal dunia saat Barra menginjak kelas tiga Sekolah Menengah Pertama.

Empat tahun kemudian, Pak Dani menikah kembali dengan perempuan paruh baya yang masih gadis.

Ditinggal oleh ibu kandungnya, meninggalkan sedih yang mendalam. Belum lagi Barra dan kakaknya harus berada dalam satu rumah dengan istri baru ayahnya. Menjadikan Barra seorang pria yang mandiri, soleh dan gigih.

Tidak ada tumbuh dihatinya rasa sakit hati kepada ibu sambungnya yang selalu mengomel setiap hari. Dia sadar, semua yang dialaminya sampai saat ini adalah bagian dari rencana Allah yang baik bila ia mau ikhlas dan tetap berprasangka baik pada Allah.

Barra juga tidak pernah melawan perkataan ibu sambungnya walau setiap lontaran kata sangat menyayat hati dan begitu menyakitkan.

Barra selalu menanamkan dalam hatinya, 'Bu Wulan juga istri ayah, dia yang mengurusi keperluan ayah, jadi dia juga ibuku. Bila ayah bahagia, aku juga bahagia,'

Namun berbeda dengan sifat Barra, akak perempuannya, Bunga, sangat membenci Bu Wulan.

Dari awal mula pernikahan ayah mereka, selalu saja ada problem, selalu saja ada keributan dan pertengkaran.

Barra yang memang tumbuh di keluarga yang patuh beragama, menyibukkan dirinya dengan mengikuti pengajian setelah selesai bekerja.

Hatinya tenang bila berkumpul dengan orang orang tua yang membahas ilmu- ilmu agama daripada merebahkan tubuh lelah sehabis bekerja di rumah, dan mendengar kegaduhan kakak dan ibu sambungnya.

Bersama Sayuti, Ardi, dan Ando, teman sekolah dan sepermainannya. Empat sekawan ini tampak kusyuk mendengarkan cerita-cerita Islami yang diajarkan Guru pengajian mereka.

Seperti biasa, Kamis malam, Barra menghadiri pengajian bersama tiga temannya. Empat serangkai itu termasuk yang paling muda di antara para bapak dan orang yang lebih tua di sana.

Namun malam ini berbeda. Dilihatnya Pak Hasan bersama gadis kecil mungkin berumur belasan tahun. Gadis kecil yang tenang mendengarkan pengajian dan ikut solat berjamaah di belakang saf laki-laki.

Ya, karena memang pada saat itu para ibu tidak ada yang datang mungkin ada keperluan di rumah mereka masing-masing.

Di akhir acara, Pak Hasan berpamitan dengan para jemaah pengajian. Sambil bersalaman dan berpelukan yang menunjukkan kasih sayang antar jemaah.

Tak ketinggalan putrinya juga ikut menyalami para orang tua di sana. Dan sekarang giliran si kecil menyalami Barra.

"Namanya siapa dek?" tanya Barra.

"Gita, Mas, " jawab gadis itu.

"Semoga jadi perempuan solehah, ya Dek!" sambung Barra seraya mengusap kepala si kecil yang terbalut kerudung.

"Iya, Mas!" jawab gadis kecil itu kemudian pergi mengikuti langkah ayahnya.

Tak ada rasa apapun. Hanya rasa senang melihat remaja yang punya inisiatif ikut mengaji di tengah masa pergaulan yang bebas saat ini.

Di mana anak-anak yang lain sedang asik nonton tv atau bermain bersama teman sebayanya, gadis itu malah ikut pengajian bersama Ayahnya.

Unik? Ya, tentu saja.

Pengajian di hari Selasa diputuskan jatuh di kediaman Pak Hasan.

Seperti biasa sepulang kerja, Barra mencuci pakaiannya lalu mandi dan bersiap-siap untuk berangkat.

Dengan memakai baju koko, peci dan sarung yang dilipat dan disampirkan di bahu membuat kesan alim pada pemuda itu terpancar hingga meneduhkan hati siapapun yang memandang.

Tin tin tin!

Suara klakson sepeda motor Sayuti terdengar, yang menandakan tiga sahabatnya sudah tiba.

Dilihatnya dari jendela kamar, Ardi turun dari motor Sayuti, yang memang awalnya mereka berbonceng tiga.

"Bar! Yuk, buruan! Keburu azan magrib, nih! Entar kita masbuk lagi kalau kelamaan!" ajak Ardi yang melihat wajah temannya di balik jendela.

"Oke sebentar, aku tutup jendela dulu!" sahut Barra.

"Jangan dandan lagi loh, Bar! Ganteng-ganteng amat biar dilihatin siapa sih?" teriak Ando dari luar.

"Biar dilihatin dek Gita, mungkin!" sambil tersenyum Sayuti bercanda.

"Apaan sih, Yut? Anak kecil juga!" jawab Barra yang agak keberatan.

"Bu, Barra pergi ngaji, ya! Nanti malam kunci aja pintunya kalau Ibu mau tidur, Barra udah bawa kunci cadangan, kok! Assalamualaikum, Bu!" pamit Barra pada Bu Wulan yang langsung dijawab sang ibu dengan kalimat hati-hati.

Berangkatlah pemuda empat serangkai ke pengajian. Jarak yang mereka tempuh kurang lebih lima kilometer.

Sayuti berboncengan dengan Ardi. Sedangkan Barra mengendarai motornya membonceng Ando di belakang.

Tidak butuh waktu lama di perjalanan, lebih kurang lima belas menit. Itupun sudah santai sekali. Mereka tiba di kediaman Pak Hasan.

Dengan mengingat alamat yang sudah diberitahukan sebelumnya, mereka sampai di halaman rumah sederhana yg dimaksud, lalu memarkirkan sepeda motor mereka di bawah pohon sawo besar di ujung halaman rumah tersebut.

"Assalamualaikum!" salam empat serangkai secara bergantian seraya menyalami para orangtua yang duduk berjajar di dalam rumah.

"Yut, temenin aku ke wc gih, aku kebelet ini!" ajak Ardi pada temannya yang sedari tadi asik mendengar cerita seorang bapak di sebelahnya.

"Cek, apaan sih, lagi seru ni! Bapak itu cerita hantu! Bareng Barra noh! Dia melamun lagi tuh!" decak Sayuti sambil menunjuk ke arah Barra, yang sedari tadi duduk manis melamun.

Entah apa lamunannya. Mungkin saja Barra lelah masalah kerjaan, atau perseteruan kakak dan ibu sambungnya.

"Woi, Bar! Melamun aja, sih? Temenin aku gih, udah kebelet ni. Aku segan, baru pertama kesini, yuk!" sambil menepuk paha kiri Barra yang membuat Barra sadar dari lamunannya.

"Apaan sih? Ngagetin aja, barang mau pipis aja heboh amat! Yuk, ah buruan. Udah mau azan tuh! Aku juga mau wudu' lagi, tadi batal!" omel Barra.

Mereka menuju dapur rumah tersebut, namun bingung letak kamar mandinya ada di mana.

Diperhatikan oleh mereka, rumah bagian dalamnya cukup luas. Nampak ada tiga pintu yang tertutup. Mungkin saja itu kamar. Lalu nampak pintu yang agak berbeda yang diyakini adalah pintu kamar mandi.

Ketika hendak menuju kamar mandi, mereka dikagetkan dengan sapaan nyonya rumah itu.

"Cari apa dek?" tanya Bu Lela kepada dua pemuda tersebut.

"Mau numpang kamar mandi, Bu. Di mana ya, Bu?" jawab Barra segera.

"Oh, itu yang pintu biru, masuk aja kayaknya lagi kosong, itu!" tunjuk nyonya rumah.

"Iya, Bu. Numpang ya, Bu!" jawab Sayuti yang sudah hampir tidak bisa menahan lagi dan langsung masuk mengikuti Barra yang sudah lebih dulu masuk kamar mandi untuk berwudhu.